Karya : Rusmin Sopian
Di Kampung Kami, nama Matjago sungguh popular. Tak kalah populernya dengan para pesohor dan elite politik yang sering nongol di tivi. Semua warga yang berdiam dan berkehidupan di Kampung Kami, sangat kenal dengan lelaki setengah baya, mulai dari anak-anak kecil hingga kaum tua.
Maklum, Matjago di kenal sebagai biang keributan dan persoalan sosial lainnya di kampung kami. Mulai dari tukang mabuk hingga mencuri barang milik para juragan dan orang kaya di kampung kami. Hebatnya Matjago tidak pernah mengusik barang-barang milik milik rakyat jelata. Tak pernah sama sekali.
Lelaki itu hanya mencuri barang dan ternak milik para juragan dan orang kaya di kampung Kami hanya untuk mengisi perutnya. Maklum Matjago tidak punya pekerjaan tetap. Matjago mencuri barang dan ternak milik para juragan dan orang kaya di kampung kami bukan untuk memperkaya dirinya pribadi. Tidak sama sekali. Bahkan banyak kaum lemah dan fakit miskin di kampung yang dibantu beras, dan bahan sembako oleh Matjago secara diam-diam.
Matjago juga dikenal sebagai penjaga keamanan kampung kami walaupun tak resmi, dan dalam melakoni pekerjaannya sebagai penjaga keamanan Kampung, Matjago tak pernah dibayar. Kalaupun ada, itu sekedar sedekah dari beberapa warga kampung untuk Matjago.
Semenjak menjadi keamanan kampong, hampir dikatakan tak pernah ada maling yang berani melakukan aksi nakalnya di kampung kami.
Pernah suatu malam, rumah Pak Haji Udin dimasuki pencuri. Matjago yang meringkusnya saat semua warga terlelap dalam mimpi indahnya, dan tentu semua orang tahu, resiko yang diterima sang pencuri itu. Badannya bonyok dan mengalami patah tulang yang serius.
Matjago juga menjadi penyelamat ketika gudang beras milik Haji Imam hampir habis dilalap api, di saat semua warga terlelap dalam mimpinya, Matjago dengan kemampuannya mampu memadamkan api.
Di balik keberingasannya, Matjago dikenal sebagai seorang lelaki yang baik. Aku sebagai temannya semenjak kecil amat paham dengan perilakunya, dan bukan sombong, hanya aku satu-satunya warga di kampung Kami yang disegani Matjago.
Penyebabnya saat waktu kami masih remaja dan sama-sama berlatih silat di padepokan silat Kampung Kami, hanya aku yang mampu merobohkanya. Dan membuatnya bertekuk lutut.
Dan tak heran bila ada persoalan yang dilakukan Matjago, Pak Kepala Kampung biasanya meminta aku untuk sekedar menasehati Matjago.
“Mohon Bung. Nasihatkan Matjago untuk tidak membuat keributan di kampung kita ini,” pinta Pak Kepala Kampung. Aku pun mengangguk.
Demikian pula ketika ada barang dan ternak peliharaan milik para juragan yang hilang, biasanya para juragan itu mendatangi aku dan meminta tolong kepada kepadaku untuk menasehati Matjago agar tidak mengulangi lagi aksi jahatnya, aku pun mengiyakannya. Bahkan para tetua Kampung Kami pun meminta bala bantuan aku, ketika mereka mendengar Matjago berbuat keributan di kampung, dan aku pun mengangguk.
Senja itu, di saat gerombolan burung camar menari-nari di awan yang biru, aku berniat ke rumah Matjago yang berada dalam hutan kecil di kampung Kami. Sudah lama kami tak berjumpa, terakhir kami bertemu di sebuah acara kondangan warga.
Dan hanya dalam hitungan menit, aku sudah sampai di depan rumah Matjago. Pepohonan yang besar dan rindang menghiasi rumah Matjago. Dari kejauhan, aku melihat senyum sumringah memuncrat dari wajah Matjago saat melihat aku datang.
“Terima kasih Bro, engkau sudah mau datang ke rumahku,” sapanya sembari menyalami tangan.
“Justru sebaliknya. Aku yang berterima kasih. Engkau sudah mau menerima kedatanganku Bro, dengan kondisi aman dan terkendali,” balasku sembari bercanda. Matjago pun tertawa terbahak-bahak.
Dan kami pun berdiskusi berbagai macam persoalan hingga gerbang malam sudah tiba, aku pun pamit. Dan kami berjanji akan bertemu di masjid untuk mengawali malam pertama sholat Tarawih kami di malam bulan sejuta bulan itu.
“Ini sudah memasuki bulan puasa, Bro. Usia kita sudah tak muda lagi. Kadang kalau terpikir, aku terus terang, malu dengan segala perbuatanku selama ini, Bro. Sudah saatnya aku mengakhirinya. Sudah waktunya aku mengakhiri semua itu,” ujarnya.
“Alhamdulillah, Bro. Sampai jumpa nanti malam ya di masjid,” ujarku sembari meninggalkan rumah Matjago.
Malam itu, cahaya purnama menerangi alam raya. Cahaya indahnya menjadi penghantar para warga Kampung Kami menuju masjid untuk melaksanakan Solat Tarawih pertama di Bulan penuh pengampunan ini.
Dan saat hendak memasuki halaman masjid, dari kejauhan ku lihat, Matjago sudah ada dalam masjid. Badan kekarnya dan berambut gondrong, yang menjadi ciri khasnya sehingga amat mudah mengenalinya.
Ku lihat Matjago amat khusuk, kepalanya terus menunduk dan menunduk.
Pak Imam masjid kampung Kami telah mengakhiri sholat tarawih malam pertama di bulan suci ini.
Semua warga kampung mulai meninggalkan Masjid.
Di dekat pintu samping Masjid, tepatnya di dekat pintu keluar kiri, seorang jemaah masih bersujud, Lama sekali.
Menyaksikan kondisi ini, dan setelah bersepakat, akhirnya para jemaah yang belum pulang dari Masjid,mendatanginya.
Dan saat Pak Imam Masjid Kampung membangunkannya, tubuh lelaki itu langsung roboh ke sajadah.
“Matjago!” ucap Pak Imam Masjid dengan nada suara terkaget bercampur ketidakpercayaan, saat tahu lelaki yang roboh di dalam masjid itu adalah Matjago.
“Innalillahi wainnalillahi rojiun. Beliau sudah wafat. Mari kita doakan beliau agar segala amal baiknya di terima di sisi Allah, dan diampuni segala dosa-dosanya,” sambung Pak Imam Masjid Kampung kami sembari di sambut koor Amin dari jemaah yang ada di masjid.
Sementara aku masih melongo menatap tubuh Matjago sama sekali tak percaya. (*)
Toboali, 4 Ramadhan 1444H.