Sastra  

Cerpen : Ode Mang Kumis

Kumpulan Cerpen Karya Rusmin Sopian

Foto : strict cartoonish mustachioed man in a gray suit threatens with a finger
Karya :  Rusmin Sopian
Mang Kumis,
demikianlah kami memanggil ponakan ayah itu. Entah bagaimana ceritanya sehingga kami semua ponakannya bisa memanggil lelaki itu dengan sebutan Mang Kumis, hingga kini belum terjawab.
Hanya yang membuat panggilan itu terasa pas mengingat ponakan ayah itu memang memiliki kumis yang tebal dan hitam pekat bak warna kopi yang menghiasi wajah gantengnya.
Dimasa mudanya, Mang Kumis dikenal sebagai pemain musik, dia seorang gitaris ternama di Kota Kami. Dia bergabung bersama sebuah kelompok band, mereka memainkan lagu-lagu top era itu dalam setiap pertunjukannya.
Tak heran di era mudanya, Mang Kumis sangat terkenal sebagai gitaris hebat lewat kepiawaian memainkan snar gitar diatas freet gitarnya. Aksi panggungnya sangat atraktif yang membuat nama sangat populer, terutama di kalangan kaum hawa Kota kami. Ditopang dengan wajah flamboyan, menambah nilai plus bagi Mang Kumis. Hampir semua wanita di Kota kami mengenalnya. Mengidolainya. Memujanya bahkan mengiginkan dia menjadi pendamping hidupnya.
” Jelek- jelek begini dulunya mamangmu ini pernah juga jadi idola,” ujarnya pada suatu ketika.
” Wow,” seruku dengan nada kaget bercampur bangga.
” Tapi itu masa silam yang hanya tinggal kenangan. Sebatas sebuah memori saja. Sebagai pengalaman hidup,” jawabnya sembari menghela nafas panjang yang penuh arti.
Aku sebenarnya ingin menyambung dengan sebuah pertanyaan, kenapa mang Kumis tak beristri? Bukankah dulunya dia jadi idola. Namun aku enggan mengajukan pertanyaan itu. Khawatir melukai hatinya sebagaimana pesan Ibu kalau aku mau berkunjung ke rumahnya. Walaupun ku tahu Mang Kumis takkan tersinggung. Mang Kumis selalu menyenangkan.
Tak heran kami sebagai ponakannya senang bermain ke rumahnya. Selain bisa mendengarkan ceritanya, kami bisa menikmati buah rambutan yang ada di belakang rumahnya yang luas. Cuma hingga kini belum pernah kami ponakannya mendengarkan suara indahnya. apalagi melihatnya bermain gitar. Tak pernah sama sekali.
Dan setiap ditanya kenapa Mang Kumis tak pernah memainkan gitarnya, Mang Kumis dengan jenaka menyatakan bahwa dirinya sudah gantung gitar.
” Mamangmu ini sudah gantung gitar. Sudah tua,’ ujarnya dengan nada terkekeh-kekeh.
Menurut cerita Ibu, Mang Kumis bukankah tak mau menikah. Namun wanita yang idolainya tak mau menikah dengannya karena dia seorang pemusik yang selalu bersentuhan dengan dunia malam dan minuman keras. Dalam pikiran wanita itu kehidupan seorang pemusik amat dekat dengan dunia hura-hura. Padahal mang Kumis tak identik dengan yang distigmakan wanita idolanya itu.
Dan menurut aku pun demikian. Tak ada tanda-tanda itu. Tak pernah ku lihat mang Kumis merokok. Apalagi minum minuman keras. Tak ada kulihat bekas botol minuman di rumahnya.
Masih menurut cerita Ibu, sebelum tampil dalam sebuah pertunjukan musik, Mang Kumis selalu menjalankan ibadah magrib. Setelah itu baru dia meninggalkan rumah menuju lokasi bandnya bermain. Dan pulang dari pertunjukan musik yang biasanya larut malam, mang Kumis selalu berusaha untuk sholat Isya.
” Mang Kumismu lelaki yang taat beribadah walaupun profesinya dekat dengan dunia malam,” cerita Ibu kepadaku. Aku pun seolah mengamininya.
Lelaki berkumis tebal itu tertegun saat medengar suara seorang wanita mengaji. Malam  itu lelaki itu baru saja pulang dari pertunjukan musiknya. Suaranya sangat indah. Mengalun indah bersama ayat-ayat suci yang dibacanya. Tenangkan jiwa. Bahagiakan hati. Malam pun terasa sangat religius. Mang Kumis mencari siapa wanita yang mengaji malam itu. Ingin dia berkenlaan dan kalau bisa mengajaknya untuk menjadi pendamping hidupnya.
Gitaris itu berpikir, tak mungkin wanita itu tak mau menikah dengannya. Tak mungkin. Siapa sih wanita di Kota ini yang tak kenal dengan Mang kumis. Gitaris idola wanita yang bukan hanya mampu memainkan dawai-dawai senar gitar dengan indah dan penuh energisitas yang tinggi kalau di panggung. ” Tak mungkin dia tak mau menikah denganku,” pikir Mang Kumis dengan jiwa optimistis.
Mang Kumis menelan ludah saat ingin mengajak wanita itu menjadi pendamping hidupnya. Wanita yang pandai mengaji itu enggan menjadi pendamping hidupnya. Alasannya belum siap setiap Mang Kumis mengajaknya menikah.
” Mohon maaf bang. aku belum siap untuk menikah. Anak-anak didikku masih banyak yang belum khatam Al-Quran,” elaknya.
” Kalaupun kita menikah, adik masih bisa untuk mengajar ngaji anak-anak didikmu,” jawab mang Kumis.
Wanita yang pintar mengaji itu tetap menolak. Seribu apologi digemuruhkannya hingga membingarkan malam dan hati muda Mang Kumis. Gitaris itu mati kartu. Keflamboyanannya sebagai lelaki tak berarti. Kepopuleritasnya sebagai gitaris tak laku dimata wanita itu. kepiawaiannya jemari memainkan snar gitar diatas fret-freet gitar seolah tak bernada.  Dia seolah-olah patah arang.
Hingga memutuskan pensiun dari panggung hiburan, Mang Kumis tetap sendiri. Bukan karena tak laku. Bukan sama sekali. Banyak wanita yang mengidolaknnya ingin menikahinya. Tapi Mang Kumis selalu menolaknya. Seolah lelaki itu ingin sendiri. lelaki yang garang dipanggung bersama gitarnya itu menyongsong hari tuanya dengan berkebun. Kesibukannya berkebun membuat dirinya seolah melupakan masa silamnya. Mengamnesiakan kisah asmaranya.
” Bukannya saya menolak ajakanmu menikah, bukan sama sekali. Saya hanya ingin sendiri saja,” elak mang Kumis setiap ajakan wanita pengidolanya untuk berumah tangga. Tak heran banyak pula wanita di Kota Kami yang patah hati atas apologi Mang Kumis.
Malam itu, usai sholat magrib aku disuruh Ibu mengantarkan makanan untuk mang Kumis. Dengan kendaraan roda dua ayah, dalam tempo singkat aku sudah berada di halaman rumah Mang kumis. Saat hendak mengetuk pintu rumah,  terdengar suara dentingan gitar yang indah yang memainkan sebuah lagu. Syair lagunya amat indah. Suara ang pelantun pun amat akrab di telingaku. Suara pelantunnya amat ku kenal. Ya, itu suara Mang Kumis.
Cinta yang tulus di dalam dihatiku
Telah bersemi karenamu
Hati yang luka
Kini tiada lagi
Telah bersemi  karenamu
Semua yang ada padamu,
Oh….
Membuat diriku tiada berdaya
Hanyalah untukmu
Hanyalah bagimu
Seluruh hidup dan cintaku
Malam makin meninggi. Cahayanya terang benderang.  Suara Mang Kumis masih terdengar merdu hiasi malam dengan iringan dentingan gitarnya. Sebuah suara kesedihan yang terus dinyanyikannya hingga baitnya berakhir.
Dan aku pun belum juga berniat untuk mengetuk pintu rumah mang Kumis . Aku masih terbuai dalam alunan suara Mang Kumis yang indah berbalut sebuah kelukaan hati.
Aku amat menikmatinya. Baru kali ini aku mendengar Mang Kumis menyenandungkan kagu bersama gitarnya.
Dan kini aku baru paham.

Aek Aceng, 27 Mei 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *