Karya : Rusmin Sopian
“Jika Ibu sudah meninggal, kamu harus menjadi seorang penari sebagai pengganti ibuu. Kamu harus menari untuk menghibur orang. Para warga yang butuh hiburan. Berikan mereka kebahagiaan walaupun cuma setetes,” pesan Ibunya.
Perempuan muda itu terdiam. Matanya memerah menahan kesedihan melihat ibunya yang tinggal tulang belulang. Wajah Ibunya layu bagaikan daun kering yang dilahap cahaya matahari. Mata sedihnya menatap keluar jendela. Tatapannya menjalang ke arah sebuah manggis yang rindang yang tumbuh di belakang rumah mereka.
Malam itu, perempuan penari itu mengguncangkan pentas hiburan di acara pernikahan anak Pak Kades. Semua penonton memandang ke arahnya. Tangannya berayun-ayun. Kakinya menghentak. Sementara pinggulnya bergetar dengan sangat indah. membuat para penonton makin terlarut dalam emosi jiwa yang menerawang kemana-mana. Hamparan peluh membalur tubuhnya. Dan tepuk tangan dari penonton terus membahana. Ramaikan malam
” Terus….Terus…,” teriak para enonton dengan koor yang bergemuruh.
Cahaya rembulan mulai makin bangkrut. Di ruang tamu sebuah keluarga,, suara penghuninya terus bergema. Mengalahkan suara pembaca berita yang terdengar di televisi.
” Dia penari,” ujar seorang lelaki setengah baya dengan nada intonasi suara yang meninggi.
” Apa haram, aku menikah dengan seorang penari,” tanya seorang anak muda dengan nada suara intonasi yang eninggi pula.
” Kita ini keluarga terhormat,Nak. Tolong,jangan kawini dia. Jangan rendahkan martabat keluarga besar kita. Masih banyak perempuan lain di kampung ini. Apa perlu Bapak mu ini mencarikan perempuan untukmu sebagai istri yang baik dan dari keluarga yang baik pula,” ujar Bapaknya.
Anak muda itu mengelus dadanya yang bidang. Tatapan matanya menatap tajam ke arah Bapaknya. Tatapan mata yang membersitkan kesedihan dalam hatinya sebagai seorang lelaki sejati yang pernah mengucapkan janji.
Tiupan angin laut senja itu membelai rambut perempuan penari itu. Hembusan angin laut senja itu juga membelai rambut lelaki muda yang tampak kusut. Kicau camar yang terbang melayang di angkasa biru mengundang sejuta keindahan. Sementara hamparan keindahan pasir pantai makin menenggelamkan keduanya dalam emosi jiwa.
” Engkau tidak usah risau. Saya akan menikahimu. Saya tak peduli dengan omongan orang. Saya ingin bahagia. Saya bahagia bersamamu,” ucapnya.
Perempuan penari itu terdiam. Matanya menatap ke arah pelangi. Sementara matahari mulai menidurkan diri. Menenggelamkan cahaya garangnya. Seiring hadirnya cahaya emas dari rembulan yang mulai datang dengan terbata-bata. Sementara linangan airmata mengalir dari kelopak matanya yang terlihat lembab.
Dari arah timur, bentangan cahaya purnama muncul dengan sejuta cahayanya yang mempesona. Orang-orang berduyun-duyun menuju kesebuah acara pesta kampung. Malam ini kembali warga kampung jiwanya terbahagia. Perempuan penari itu kembali tampil di panggung hiburan Kampung.
Jemari lentik perempuan penari itu berayun-ayun. Dadanya naik turun. Sepasang kakinya yang indah terus bergerak dan bergerak. Menapak panggung yang terbuat dari papan.
Mata muda anak muda itu tak berkedip menatap sang penari. Tubuhnya pun ikut bergoyang. Sementara jiwa mudanya terus bergejolak. Ingin diraihnya tangan perempuan penari itu. Tapi tak mampu. Dia hanya menatap perempuan penari itu dari jauh. Sementara para penonton disamping kiri kananya terus mendesis suara kagum.
” Penari itu sangat piawai dalam menari,” ujar seorang penonton.
” Dan dia juga sangat cantik,” sambung penonton yang lain.
” Sungguh berbahagialah lelaki yang mendapatkannya. Bahagia lahir batin,” sambung penonton yang lain.
Lelaki muda itu hanya bisa menelan ludah mendengar ocehan nakal para penonton. Telinganya tak tahan mendengar suara emosi jiwa penonton yang memuji pesona penari itu. Dadanya bergemuruh layaknya genderang yang ditabuh untuk mengobarkan semangat perang. Hatinya teriris-iris. Luka pun menganga dalam jiwa mudanya. Dan tiba-tiba dia merasa matanya menggelap. Menggelap.
Toboali, jumat barokah, 9 Juni 2023