Oleh : Kulul Sari
Warga dan Buk Terang
Zaman dulu, umumnya di kampung-kampung dipastikan ada pendekar dan orang sakti yang menjadi panutan dan tempat warganya berlindung dari serangan musuh dari luar, juga tempat mengadu dan meminta pertolongan saat warganya memerlukan bantuan.
Namun kadang ada juga orang sakti dan berilmu tinggi, tapi ia hadir ditengah masyarakat dan tidak menampakkan dirinya sebagai orang yang punya kemampuan dan kesaktian. Ia lebih cenderung menyembunyikan kelebihannya dan bahkan nampak seperti manusia biasa pada umumnya.
Demikianlah yang berlaku di kampong Kurau pada masa lalu. Peristiwa yang diperkirakan terjadi pada masa bajak laut atau yang dikenal dengan Lanon merajalela dan mengganas di pulau Bangka.
Pada masa itu kampung Kurau hanyalah terdiri dari beberapa bubung rumah. Warganya mendirikan rumah panggung di dua sisi pinggiran sungai. Sehingga untuk saling mengunjungi, warga harus membuat titian penyeberangan. Pada saat itu belum ada jembatan seperti saat ini, hanya ada titian atau juga disebut gertak yang terbuat dari kayu-kayu besar yang digunakan untuk menyeberangi sungai.
Kayu- kayu besar yang digunakan dan disusun menjadi titian atau gertak ini disebut warga dengan nama kayu kurau. Menurut penuturan Pak Cik Kario yang ia dapat kisah dari orang-orang tua belasan atau puluhan tahun silam, dikatakannya ada yang berpendapat berdasarkan nama kayu inilah kampung ini disebut dengan nama kampung Kurau. Namun ada juga yang mengatakan nama kampung Kurau ini diambil dari nama ikan, yaitu ikan Kurau.
Pada suatu masa warga yang berdomisili dipinggiran sungai Kurau, dihebohkan dengan kabar yang mengejutkan. Tersiar kabar dari mulut ke mulut bajak laut yang dikenal dengan sebutan Lanon akan mendarat dan hendak menjarah di kampung Kurau.
Mendengar kabar itu warga Kurau sangat gelisah. Mereka sudah lama mendengar keganasan dan kekejaman Lanon.
Lanon udah sangat dikenal dan sangat ditakuti warga Bangka. Dimana saja rombongan Lanon hadir, dipastikan menimbulkan bencana dan nestapa yang mendalam bagi penduduk kampung itu.
Kehadiran Lanon pasti memakan korban jiwa dan harta. Mereka tidak segan-segan menculik gadis & wanita cantik, bahkan perempuan yang sudah menikah, pasti akan mereka bawa guna memuaskan syahwat mereka.
Kabar tentang akan datangnya Lanon membuat warga Kurau gelisah. Rasa khawatir dan takut membayangi disetiap benak warga. Sebagai salah satu cara untuk menghindari Lanon tiada pilihan lain selain sembunyi di hutan-hutan yang agak jauh dari kampong.
Ketika warga sudah banyak mengungsi untuk menyelamat jiwa, salah seorang warga Kurau yang tidak mau mengungsi, ada seorang abok atau kakek pandai besi atau biasa di sebut tukang tempe (ahli tempa besi) pembuat pedang, parang, keris dan pisau. Abok ini biasa di sapa dengan panggilan Buk Terang. Ia tidak berniat untuk ikut bersembunyi. Ia memang berniat untuk menghadang dan menghadapi Lanon seorang diri. Namun Ia menyuruh warganya pergi mengindar.
Ia nampak seperti warga biasa. Kelebihan yang nampak padanya hanyalah membuat pedang, parang, keris, ia menggunakan tangan kosong tanpa menggunakan alat bantu. Namun pada diri Abok ini merupakan seorang yang sakti tiada tanding.
Ia memiliki ilmu membuat keris yang ia dapatkan dari gurunya seorang sakti, kemudian ilmu itu di wariskannya kepada Buk Terang. Dan dari gurunya ini Buk Terang diwariskan juga sebuah keris kecil yang sangat mematikan yaitu ‘keris sekenyeng laket’.
Walau kerisnya kecil dan nampak tiada gunanya, namun pada keris ini memiliki Kelebihan. Bila seseorang terluka sedikit saja oleh goresan keris ini, dipastikan nyawanya akan berpisah dari raga, tiada seorangpun yang bisa menyelamatkan hidupnya, kecuali sangat pemilik keris berbaik hati untuk menawarkan racun yang menyerap di tubuh orang yang tergores itu.
Ketika Buk Terang membuat pedang, besi di bakar atau di masaknya pada api yang membara hingga besipun merah membara. Kemudian ia gunakan jemarinya untuk membentuk pedang, keris dan lain-lain sesukanya, sesuai dengan permintaan pemesan. Tiada sedikitpun tangannya cacat terbakar api. Seakan-akan api tiada panas bagi Buk Terang.
Karena kebiasaannya itu, Sehingga lama kelamaan warga kampung Kuraupun melihat kebiasaan Buk Terang itu seperti hal yang biasa-biasa pula. Buk Terang mampu menyembunyikan jatidirinya yang merupakan seorang pendekar sakti yang tiada tandingan.
Tentang akan datangnya Lanon untuk menjarah di kampong Kurau, tidak lepas dari perhatian Buk Terang. Telinganya yang tajam selalu Ia gunakan untuk mendapatkan informasi tentang kehadiran Lanon. Ia sudah lama ingin menumpas gerombolan perompak yang meresahkan dan menimbulkan bencana ini.
Namun ia tidak pernah mengkhawatirkan tentang dirinya, ia lebih mengkhawatirkan tentang warga Kurau yang lain. Hanya saja Buk Terang tidak menampakkan ke khawatiran itu, ia mampu menyembunyikan perasaan dan suasana hatinya.
Benar saja, tidak beberapa pekan kemudian rombongan Lanon dengan satu kapal besar sudah dekat di perairan Kurau. Warga berlarian berusaha bersembunyi ke tempat yang jauh dan aman untuk menyelamatkan keluarga dan dirinya dari keganasan Lanon. Mereka berusaha membawa apa saja yang bisa di selamatkan.
Beberapa orang warga melihat Buk Terang tiada berkemas dan tetap melakukan rutinitasnya membuat pedang, mengajaknya untuk segera pergi,
“Bok, ayo kite pergi dari kampong ini sebelum Lanon merapat ke dermaga”, ajak salah seorang warga
Buk Terang yang sedang membuat keris di penempan (tungku dan tempat menempa pedang dll) menanggapi ajakan itu dengan alasan yang sangat halus. Ia tidak berniat untuk mengungsi dan bersembunyi, bahkan ia bermaksud menghadang rombongan Lanon di kampong Kurau agar kampong Kurau aman dari gangguan pihak luar.
” Kalian pergilah bersembunyi, Abok sudah tua tidak sanggup lagi berjalan jauh. Abok biarlah tinggal dikampung “, jawab Buk Terang santai
Dengan alasan usianya yang sudah renta, Buk Terang sengaja menolak ajakan warganya. Namun sebenarnya Buk Terang sengaja tidak mau mengungsi dan hendak menghadang dan menghadapi para Lanon agar tidak merajalela di tanah Bangka, terutama di kampung Kurau.