Sastra  

Cerpen : Lelaki Pantai Ketapang yang Melabuhkan Hati di Tanjung Kalian

Kumpulan Cerpen karya Rusmin Sopian

Foto : Pixabay

Karya : Rusmin Sopian

Senja mulai hadir. Senyumnya menyapa kawasan terminal yang mulai sepi dari aktivitas keramaian. Tak ada orang berlalu lalang. Tak ada teriakan para penjual oleh-oleh. Tak terdengar pula suara indah  yang keluar dari mulut para pengasong. Tak ada. Sepi. Seolah-olah senyap ketika senyuman senja hadir di sana.

Di kawasan terminal yang sangat luas itu, hanya terlihat satu kendaraan oto bus yang terparkir. Ya, hanya satu bus yang terparkir. Teriakan dari kernet oto bus mengisyaratkan bahwa bus akan segera berangkat. Para penumpang mulai bergegas menaiki bus.

Seorang lelaki muda dengan langkah kaki yang tergopoh-gopoh, masuk ke dalam bus yang  mesinnya mulai dihidupkan sang sopir. Sebuah isyarat bahwa bus akan segera berangkat meninggalkan terminal dengan segala pernak perniknya kesepiannya.

Dan benar, saat  lelaki muda itu baru saja menghenyakkan pantatnya ke kursi bus, sopir langsung menancap gas. Bus meninggalkan terminal yang sudah sangat sepi. Membawa penumpang dengan segala pernak pernik masalahnya menuju Kota tujuan.

Bus melaju dengan kecepatan tinggi. Setidaknya, ratusan kilometer akan ditempuh Bus ini dan para penumpangnya untuk mencapai Kota itu. Sebuah Kota kecil yang terletak diujung barat Pulau yang penuh dengan catatan sejarah. Sebuah Kota kecil yang namanya tercatat dalam sejarah bangsa ini. Sebuah Kota kecil yang menjadi pusat peleburan timah dunia. Sebuah Kota kecil yang menjadi penghubung dua pulau. Pualau Bangka dan Sumatera.

Tanpa terasa sudah tiga jam, lelaki muda itu berada dalam bus bersama para penumpang. Selama perjalanan, lelaki muda itu tertidur pulas di kursi Bus. Matanya baru terbuka lebar, saat Bus sudah mulai memasuki sebuah Kota. Itu terlihat dari megahnya sebuah tulisan ” Selamat Datang ” yang terpampang pada gapura yang berdiri kokoh sebagai ornamen Kota saat kita mulai memasuki kota itu.  Lelaki muda itu tersenyum saat membaca tulisan itu.

Ada sejuta optimisme dalam jiwa mudanya. Narasi adiknya bahwa Lala masih jomblo menghantarkannya ke Kota ini. Lelaki muda itu ingin melabuhkan cinta dan hatinya untuk Lala. Wanita yang pernah dilihatnya saat lala masih bersekolah guru di Ibukota Kabupaten. Walaupun tak ada narasi saat mereka bertemu saat itu, namun dalam hati lelaki muda itu, Lala adalah cintanya.

” Bang, turun dimana,” tanya sang kernet bus dengan nada suara penuh keramahan.

” Tanjung Kalian,” jawab lelaki muda itu dengan nada suara mantap.

Bus berhenti disebuah rumah yang berhalaman luas.  Usai mengucapkan terima kasih kepada kernet mobil yang telah menghantarkannya hingga ke rumah tujuan, lelaki muda itu berjalan dengan santai. Kakinya terasa ringan. Sangat ringan. Seolah-olah ada sapaan selamat datang dari pohon-pohon mangga yang menghiasi halaman rumah yang luas itu.

Seakan-akan ada sebuah lambaian semangat penuh persahabatan dari para penjaga halaman rumah itu. Hijaunya dedaunan yang menjadi ornamen halaman rumah itu membuat lelaki muda itu kian mantap melangkah menuju rumah yang pintunya depannya masih terbuka.

Sementara suara azan magrib mulai terdengar dengan sangat religius. Mensakralkan alam. Seorang lelaki tua terlihat menuju pintu depan rumah yang masih terbuka lebar. Ada sesuatu keheranan yang melanda sekujur tubuhnya dan jiwanya saat melihat seorang lelaki muda menuju rumahnya.

” Oh, Elo. Mari masuk,” sapa seorang lelaki tua dengan penuh nada suara penuh keakraban saat lelaki itu memperkenalkan diri. Dan lelaki muda yang dipanggil Elo itu langsung menyalami tangan lelaki tua yang masih terlihat gagah. Sementara seorang gadis cantik berkulit putih tampak melirik dari arah dapur. Kecantikannya masih sama seperti saat lelaki muda itu melihatnya di rumah kosan, ketika gadis itu bersama adiknya kos dalam satu rumah.

Kerupawanan wanita muda itu masih seperti saat lelaki muda itu melihatnya, saat wanita muda itu pernah berkunjung ke rumah mereka di kawasan Tanjung Ketapang. Dan wanita muda itu melihat ke arah lelaki muda yang sudah duduk di sofa ruang tamu rumah mereka itu dan sembari menjelaskan siapa lelaki itu kepada bapaknya.

” Abangnya Juki,” jelasnya kepada lelaki tua itu. Dan lelaki muda yang bernama Elo itu pun menyapa wanita cantik berkulit putih itu.

” Apa kabar? Sudah berapa putranya,” sapa Elo.

Wanita cantik itu hanya terdiam. Matanya menerawang. Ada sesuatu yang tersimpan dalam hatinya. Ada sesuatu yang mengunci bibir indahnya untuk  tidak menjawab pertanyaan itu.

” Lala belum menikah,” sambung Sang Bapak.

Jawaban Sang Bapak lala, membuat darah muda yang mengalir disekujur tubuh Elo merah bahagia. Kebahagian terpancar dari dalam jiwanya. tak ada tanda-tanda kelelahan usai menempuh perjalanan hampir 3 jam ke Kota ini. Senyum bahagia larut dalam jiwa mudanya. Dan kebahagian itu mengalir dalam oksigen yang membalut sekujur tubuhnya menjadi energi .

Ada kegembiraan dalam jiwa mudanya yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Tak bisa ditulis dalam bentuk narasi oleh para kolumnis di koran. Tak bisa diungkap dalam bentuk puisi-puisi para sastrawan.

Setidaknya apa yang diceritakan adiknya bahwa lala masih jomblo terbukti. Dan niatnya untuk menjadikan Lala sebagai Ibu dari anak-anaknya tak terbendung.

Malam itu Elo dan Lala menyusuri jalanan Kota yang mulus dengan kendaraan roda dua. Membelah malam dengan keceriaan. Lalu lalang kendaraan tak begitu ramai menyusuri jalanan Kota malam itu. Sinar rembulan mengiringi perjalanan dua sejoli muda itu hingga memampirkan mereka ke sebuah warung bakso di pusat keramaian Kota. Dua sejoli anak muda itu sangat menikmati malam dengan suasana batin yang  bahagia.

Mereka tampak akrab dengan ditemani semangkok bakso dan minuman ringan. Tak ada sekat dan jarak. Padahal mereka baru bertemu. Narasi percakapan mengalir deras. Sederas cinta yang ingin direguk Elo. Lelaki itu seolah menemukan cinta yang selama ini tak di temuinya di luasnya laut  Tanjung Ketapang .Ya, malam itu Elo sebagai lelaki telah menemukankan cinta sejatinya.

Tak sabar, mulutnya ingin segera menyatakan cintanya pada Lala, wanita berkulit putih itu. Ya, Elo ingin dengan segera menarasikan apa yang ada dalam jiwa mudanya kepada Lala bahwa dirinya ingin segera meminang wanita itu sebagai Ibu dari anak-anaknya dengan disaksikan lambaian dedaunan pohon-pohon mangga.  Dan tak sabar pula, Elo ingin segera mengabarkan kepada orang tuanya untuk segera meminang Lala.

Diterbitkan Kompasiana.com Toboali, 19 maret 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *