KISRUH KHUTBAH JUM’AT BERBAHASA ARAB DI BANGKA AWAL ABAD 20

Oleh: Suryan Masrin(Pemerhati Manuskrip Lokal dan Pegiat Sejarah Lokal)

 

Bekaespedia.com _Pada awal abad 20, yakni tepatnya pada tahun 1927 telah terjadi sebuah kisruh yang menghebohkan di pulau Bangka. Kisruh ini terjadi ketika ada perselisihan perihal khutbah Jumat berbahasa Arab. Perselisihan makin menjadi panas ketika seorang guru agama (Haji Bakri) menjelaskan dalam khutbah Jumatnya di Mesjid Mentok, bahwa “Jika orang yang mendengarkan khutbah itu tidak mengerti artinya, itu sama saja dengan mendengarkan suara kodok.

 

Pernyataan Haji Bakri itu mendapat tantangan dari masyarakat, karena di masyarakat masih dianut pendapat bahwa khutbah Jumat harus dalam bahasa Arab.

Karena memang dari dulu sejak Islam masuk ke pulau Bangka masih meyakini bahwa khutbah Jumat itu menggunakan bahasa Arab.

 

Peristiwa yang semirip sebelumnya telah terjadi pad paruh kedua abad 19 masehi, yang merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam di Nusantara atau lebih tepatnya di Palembang. Peristiwa besar tersebut terkait pendirian shalat Jum’at di masjid yang baru didirikan (baca: Salat Jumat di Palembang Akhir Abad 19: Kronologis Sejarah dan Polemik Antara Sayyid Usman Betawi dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau).

 

Persoalan itu berawal ketika seorang tokoh di Palembang bernama Masagus Abdul Hamid –selanjutnya disingkat dengan Masagus- pada tahun 1890-an mendirikan Masjid Jamik Baru di Palembang yang menjadi tempat salat Jum’at di samping masjid lama bernama Masjid Agung Kesultanan. Tentunya, pendirian masjid ini setelah ada informasi sebelumnya tentang persetujuan beberapa ulama terkait keabsahan shalat Jumat yang pada awalnya dibangun untuk salat fardu.

 

Pijper mencatat bahwa upaya memakai bahasa Indonesia dalam khotbah Jumat yang dilakukan oleh Haji Bakri merupakan langkah awal dari upaya- upaya-upaya lainnya di tanah air. Kejadian di Bangka ini terjadi hanya setahun setelah Mustafa Kemal di Turki melarang khutbah dalam bahasa Arab.

 

Selain masalah kisruh khutbah berbahasa Arab yang ditentang oleh Haji Bakri, beliau juga ikut terlibat dalam perselisihan arah kiblat di Mesjid Sungailiat sebagai pendukung kelompok Haji Usman. Lengkap kisah ini hingga tulisan ini dipublikasikan, penulis belum menemukan secara keseluruhan. Berharap dari tulisan singkat ini menjadi gerbang informasi untuk muncul cerita versi lengkap dari informasi yang belum terpublikasikan.

 

Sumber: Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam; Studi tentang pejabat agama masa kesultanan dan kolonial di Palembang, Jakarta: Logos, cet. Pertama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *