Sastra  

PERTEMPURAN TOBOALI, RADEN KLING

BAB III

Ilustrasi_https://images.app.goo.gl/p5QtcAV8FfuJu5NR8

Oleh : Dwikki Ogi Dhaswara

Bekaespedia.com_Senja di Benteng Toboali, warna-warninya yang lembut merangkul cerita, seperti lukisan indah yang tak terduga. Dalam tatapan, terbaca keindahan dari reruntuhan yang tersisa.

Setelah badai perang mereda, bunga-bunga merekah di tanah yang dulunya terkoyak, mereka membangun kembali, merajut kisah kehidupan yang baru.

Bersama Rakyat Toboali, Raden Kling bersandar dipepohonan Benteng Toboali yang menatap langit, langit bertransformasi menjadi panggung magis, menyaksikan perkembangan Raden Ali yang sedang berlatih pedang bersama pasukannya.

Logam bersinggungan bak sebuah nyanyian perang dengan melodi gagah berani. Pedang-pedang menyilang, memancarkan kilatan cahaya, mereka berlatih dengan kepiawaian dan keberanian. Diiringi tepuk tangan dan sorak sorai di bibir pantai Tanjung Sabang saat senja itu.

Seseorang pasukan setia Raden Kling kembali menghampiri Raden Kling untuk mengajaknya bercakap-cakap.

“Aku melihat tuan dari kejauhan, hati ini ingin menjumpai dan menemani tuan, dan sengaja aku memberanikan diri kali ini, agar dapat belajar banyak dari tuan, mumpung ada kesempatan!”. Ucap pasukan.

“Terimakasih, Aku sedang melihat perkembangan anakku sampai saat ini! Aku berharap besar padanya”. Jelas Raden Kling sambil tersenyum.

“Aku percaya, tuan adalah sang penuntun, guru tanpa batas, ibarat kata bukan hanya memberi ikan, tapi juga memberi jala”. Tutur pujian dari pasukan itu.

Raden Kling tersenyum mendengar itu, “Mendidik bukan hanya memberi pengetahuan, tetapi membimbing mereka menemukan identitas dan tujuan”. Ujarnya

“Pepatah mengatakan, cinta ibu terasa sejak kita telahir di dunia, sedangkan cinta ayah terasa sejak ia pergi meninggalkan kita! Semua itu terbalik dengan apa yang terjadi pada kami, dari sejak kecil Ali sudah terbiasa ikut dengan ku.” Sambutnya.

“Pelajaran apa yang sudah tuan dapatkan selama ini, dan yang akan tuan berikan kepada tuan muda? Sungguh aku ingin belajar”. Tanya Pasukan.

“Kesejatian keluarga kami, yang pertama adalah kegagalan bukanlah akhir dari semuanya. Yang kedua, belajarlah dari kesalahan, karna mereka adalah guru terbaik yang membentuk karaktermu. Yang ketiga, jadilah pribadi yang gigih, ketika rintangan hadir, bersikaplah seperti air yang mengalir. Yang Keempat, jangan lelah untuk belajar, karna pengetahuan adalah senjata terkuat yang akan menuntunmu. Yang Kelima, lindungi hatimu, namun biarkan ia terbuka, karena cinta adalah kekuatan terbesar yang dapat mengubah dunia. Itulah yang diajarkan turun temurun oleh ayah ku Raden Prabu Jaya Bin Pangeran Adipati Peninjauan Bin Sultan Muhammad Mansur.” Jelas Raden Kling.

Angin senja berhembus menyudahi percakapan itu, Raden Kling adalah cerminan kebijaksanaan, dalam kata-kata yang diucapkan bijak dan tenang, kebijaksanaannya menciptakan harmoni di setiap percakapan. Matanya yang penuh wawasan, melihat melampaui kegelapan, menerangi jalan kebenaran.

Namun, dibalik kebijaksanaannya itu ada kehampaan yang tak terucap, sebuah kekosongan. Dalam sunyinya yang memayungi langit, ia menyadari bahwa kebijaksanaannya hanyalah kehampaan dalam keramaian.

Ibu Raden Ali adalah sosok yang begitu istimewa di ingatan Raden Kling. Dia adalah bagian dari cerita hidup, menemani dan menyusun lembaran-lembaran indah dalam buku perjalanannya.

Tak ada yang dapat merinci sejelas hatinya, terdapat sejuta kenangan, waktu bersama, tawa dan air mata, kini menjadi bagian dari sejarah yang berlalu.

Raden Ali telah tumbuh dewasa. Seorang anak kecil yang dulunya bermimpi tumbuh menjadi pendekar gagah. Bersama pedang kayunya yang menjadi sahabat setianya. Dia tumbuh menjadi sang surya, menyongsong kedewasaan.

Musim telah berganti, tahun bergulir, penuh kegembiraan dan tanya. Dia menjelajahi dunia yang terbentang luas. Dalam senandung riangnya terukir kenangan, bahagia, dan tawa. Matanya yang polos, terpancar mimpi-mimpi besar yang memikat.

Semua itu dilalui oleh Raden Kling dengan berbesar hati menyaksikan anaknya Raden Ali. Besar hatinya seperti gunung yang megah, menatap dunia dengan kebijaksanaan yang tulus. Seperti pohon yang bertahan di tengah badai, seperti pelaut yang menjelajahi lautan luas. Besar hatinya adalah pelayar kehidupan yang berani.

Ingatannya kepada Ibu Raden Ali hadir begitu nyata. Wajahnya terpahat dalam pikiran, seperti lukisan indah di balik kelopak mata. Begitu manis dan penuh makna, menyinari setiap sudut gelap dalam kenangan. Suara lembutnya dalam benak, menjadi pelipur lara di tengah kesepian.

Ingatan itu tetap hidup dalam jiwa. Begitu dalam, seperti kisah yang tak lekang oleh waktu, cintanya tetap menyala, abadi di dalam ingatan.

“Adinda, kau seperti kisah yang abadi, tertulis di antara garis-garis tangan kasih. Engkau adalah cerita yang takkan pernah usai. Bersamamu, kita tumbuh dan berkembang sebagai keluarga yang utuh”. Tutur Raden Kling dalam hatinya.

Bersama langit yang akan berganti malam, di bawah langit biru yang perlahan memudar, dalam peredaran waktu itu, mentari pun takjub dikala Raden Kling mengukir kenangan di buku hatinya, bersama malam yang membisikkan rahasia.

Tahun pun akan berganti, seperti halnya alam, bagaikan babak baru dalam panggung kehidupan. Di detik pergantian itu, mengukir kisah baru di halaman kosong. Dengan hati penuh syukur dan semangat yang membara, waktu berubah meninggalkan 1812 Masehi menjadi 1813 Masehi.

Bersambung.

 

20 November 2023

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *