Opini  

Bilal, Muadzin yang berhati Mulia

 

Oleh H.Johan Muhammad Nasir, M.PdKetua DMI Kota Pangkalpinang

“Ya Rasul, Apakah sudah waktunya untuk Iqomat?” tanya Bilal kepada Rasulullah. Rasulullah mengangguk

Bilal pun Iqomat. Sholat berjamaah dilakukan. Rasulullah yang menjadi Imamnya.

Tapi suatu hari kebiasaan bilal adzan dan Iqomat hanyalah menjadi kenangan. Kenangan yang membangkitkan kesedihan. Sejak Rasulullah wafat, Bilal tak pernah adzan lagi. Bilal sudah mencobanya tapi tak bisa. Mulutnya tercekat, suaranya hilang ketika tiba di kata “Muhammad”

Tak tahan dengan segala kenangan. Bilal pun pergi meninggalkan Madinah. Mungkin begitulah cara mengobati kesedihan. Karena bukan kehilangan yang berat tapi kenangan.

Lama Bilal pergi. Hingga kepemimpinan berganti. Dari Abu Bakar ke Umar. Umar rindu dengan adzan Bilal. Umar pun menemui Bilal yang kini telah tinggal di Syam. Umar merayu Bilal agar kembali lagi dan adzan lagi.

Mata pria berkulit hitam, legam dan kekar itu berkaca-kaca. Air mata deras menetes di pipinya. Dengan suara lirih dia berkata, “Aku tak bisa, Umar. Aku tak akan mampu melakukannya lagi.”

Umar sampaikan bahwa penduduk Madinah merindukan Bilal. Mereka ingin mendengarkan adzan Bilal.

Sekali lagi Bilal berkata lirih,”aku tak akan sanggup Umar.” Air mata kian deras mengalir di pipinya. Sesekali, Bilal memejamkan mata, dia tarik napasnya dalam-dalam.

“Tapi, muslim di Madinah sedang membutuhkanmu, Bilal. Mereka ingin mendengarkanmu mengumandangkan adzan. Mereka rindu suaramu. Mereka rindu lantunan adzanmu, wahai muadzin Rasulullah!” kata Umar memohon.

Mata Bilal kian berkaca-kaca, dia menangkap harapan Umar yang begitu besar agar dia mau mengumandangkan adzan lagi di Madinah. Apalagi Umar sampai menempuh jarak yang begitu jauh dari Madinah ke Syam.

Namun, berat bagi Bilal, dia tak sanggup menanggung rindu teramat dalam jika mengingat Madinah dan mengumandangkan adzan. Bilal tak mampu menanggung rasa rindu terhadap Rasulullah yang teramat berat. Rindu itu berat. Ya sangat berat bagi Bilal.

Umar pulang dengan tangan hampa. Bilal tetap tak mau pulang ke Madinah. Malam hari dalam tidurnya Bilal mimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Dalam mimpi tersebut, Rasulullah menyapa Bilal, “Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? Mengapa sampai seperti ini?”

Bilal pun terbangun, tanpa berpikir panjang ia segera mempersiapkan perjalanan ke Madinah. Sambil merasakan kerinduan yang teramat dalam dan besar, Bilal pergi untuk menziarahi makam Rasulullah SAW.

Di Raudhah, Bilal tak mampu lagi menahan haru, dia menangis, rindu pada Rasulullah SAW, Lelaki yang telah meninggikan derajatnya. Saat itulah datang dua pemuda yang mulai beranjak dewasa menemui Bilal bin Rabbah, yang matanya sembab karena tangis.

Mereka berdua adalah cucu kesayangan Rasulullah, yakni Hasan dan Husein. Bilal yang semakin termakan usia, mencoba memeluk kedua cucu kesayangan Rasulullah tersebut.

Husein berkata kepada Bilal, “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek.”

“Baiklah, aku akan melakukannya” Jawab Bilal. Bagaimana mungkin Bilal akan menolak permintaan cucu kesayangannya Rasulullah ?

Tatkala waktu sholat tiba, Bilal naik ke tempat dahulu ia terbiasa mengumandangkan adzan pada masa Rasulullah masih hidup. Ia mengambil nafas dalam-dalam, kemudian suara merdunya yang sangat khas itu terdengar kembali. Dihempas oleh angin padang pasir ke seluruh penduduk Madinah.

Ketika lafadz “Allahu Akbar…” dikumandangkan oleh Bilal, mendadak seluruh Madinah senyap. Segala kegiatan terhenti. Semua orang terkejut. Suara yang telah bertahun-tahun hilang, dan begitu dirindukan itu, telah kembali. Suara yang mengingatkan pada sosok Rasulullah nan agung.

Suara lantang sang “Muadzin Rasul” menggema ke semua penjuru kota. Seketika orang-orang yang mendengar lantunan adzan itu terdiam. Mereka terhenyak, serasa kembali ke masa Rasulullah. Dan bertanya “Apakah Rasulullah kembali?”

Saat Bilal mengumandangkan lafadz “Asyhadu alaa ilahaillallah,” seluruh warga Madinah berlarian ke arah sumber suara itu, sambil berteriak histeris. Sewaktu Bilal sampai pada lafadz “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah ” Suaranya yang menggema menjadi terdengar parau. Dadanya bergetar, dan hatinya bergemuruh penuh kerinduan. Bilal terisak menyebutkan nama orang yang paling dirindukannya.

Air matanya mengalir begitu saja, sambil terlintas sebuah kenangan dalam ingatan Bilal, yang teringat sosok Rasulullah SAW. Semua ingatan itu, membuat Bilal tak sanggup melanjutkan adzan pada lantunan lafadz tersebut.

Di atas menara Nabawi, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Suasana itu kemudian membuat seantero Madinah pecah oleh tangisan

Sang Khalifah Umar bin Khattab, menangis paling keras di antara yang lain. Mereka semua menangis, teringat masa-masa indah ketika Rasulullah masih ada bersama mereka

Allahumma sholli ‘alaa Sayyidina Muhammad

Semoga kelak kita bisa berjumpa dengan Rasulullah SAW tercinta. Aamiin Aamiin Allahumma Aamiin (Ujo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *