Budaya  

KEPON KOPIKO?

H. Sarnubi, Ketua Lembaga Adat Melayu Bangka Kab. Bangka

Oleh : H.A. Syarnubi (Ketua Lembaga Adat Melayu Kab. Bangka)

bekaespedia.com, BANGKA_Kepon atau kepun/kepunan dapat diartikan dengan pamali sangat ingin memakan sesuatu tetapi tidak jadi dipenuhi keinginan itu karena kelupaan. Kepon sering diingatkan oleh orang tua kepada anak-anaknya agar jangan sampai lupa memakan atau meminum yang telah disediakan, sehingga gara-gara kepon terjadi kecelakaan atau musibah yang menimpa. Dalam bahasa dan pengetahuan warga kampung bahwa kepon berarti, ke artinya arah atau tujuan, dan pon berarti pohon atau diri sendiri. Maksudnya apabila seseorang lupa memakan atau meminum (mencicipi atau nyabet bahasa kampungnya) sesuatu makanan atau minuman, apabila terjadi musibah maka akan dirasakan oleh yang bersangkutan sendiri.

Sedangkan kopiko terdiri dari dua kata yaitu kopi dan ko. Kopi adalah minuman di pagi hari yang biasa disuguhkan oleh sang istri untuk suaminya, terdiri dari adukan gula, kopi, dan air panas. Umumnya minum kopi di pagi hari ditemani rebus ubi, keladi, bijur, atau hasil kebun lainnya. Ko artinya ku, aku, atau saya. Jadi makna kopiko adalah kopiku. Kopiko yang dibicarakan di sini tidak ada kaitan sama sekali dengan gula-gula kopiko yang banyak dijual di toko.

Peristiwa yang akan penulis ceritakan ini adalah pengalaman pribadi pada saat masih bersekolah di sekolah dasar (SD) dulu. Penulis bersekolah SD di Sungailiat, tetapi ketika libur panjang diizinkan oleh orang tua untuk pulang kampung dan bergabung dengan teman-teman sepantar/seusia untuk bermain bola, metet burung (menggunakan ketapel), mancing, mandi di memandin (pemandian umum), dan kesibukan anak-anak lainnya di masa itu. Di sini penulis punya seorang teman akrab yang bernama Japri (bukan nama sebenarnya). Kami selalu makan bersama, juga tidur, main bola, mancing, metet burung, ke kebun, dan yang lainnya.

Pagi ini kami sepakat akan pergi ke kebunnya di belakang kampung sambil mancing dan metet burung. Setelah meneger (sarapan pagi) di rumah, penulis langsung ke rumahnya. Dari kejauhan tampak dia telah menunggu di depan rumahnya. Dia tinggal bersama ibunya di rumah, sedangkan sang ayah sudah tiada. Alat pancing dan betet telah disiapkannya.

Untuk memancing diperlukan umpannya yakni cacing, sedangkan untuk metet burung diperlukan batu-batu kecil sebesar ujung jari telunjuk untuk pelornya. Sambil berjalan ke arah belakang kampung, kami mengamati di mana banyak tai geleng (tahi cacingnya). Jika di permukaan tanah banyak tahinya berarti cacingnya juga banyak. Kami mulai menggali menggunakan ujung kayu dan memang benar, banyak cacingnya. Cacing yang didapat ditaruh di dalam cipek (batok kelapa) dan diisi dengan sedikit tanah agar dia betah di situ, pada saatnya nanti menjadi santapan ikan-ikan. Setelah itu kami beranjak mencari batu-batu kecil untuk pelor betet, batu-batu ditaruh di keruntong kecil (keranjang terbuat dari rotan yang talinya dikaitkan di bahu). Betetnya dikalungkan di leher. Setelah semua lengkap, kami pun langsung berjalan menuju ke arah kebun.

Di pinggir kebunnya memang ada sungai yang tidak terlalu besar yang airnya berwarna seperti air teh. Air berwarna seperti ini mungkin dikarenakan di hulunya terdapat lelap atau rawa yang banyak ditumbuhi tanaman air seperti pelawan, gelam, reriang dan lainnya. Untuk menyegarkan badan, kami berdua mandi dulu di memandin/pemandian, di situ sudah disiapkan kain cuken/basahan. Hari masih pagi, air terasa dingin dan terdengar burung-burung bercuat-cuit dari ranting ke ranting lainnya.

Selepas mandi kami sepakat untuk mencari spot memancing masing-masing. Dia ke arah hilir, penulis ke hulu. Geleng mulai dikaitkan di mata pancing. Bismillah memulai aktivitas ajaran guru mengaji di kampung. Spot yang penulis pilih adalah sebuah cerukan lubuk yang cukup dalam. Baur (gagang) pancing jika dipegang terlalu lama tentu akan letih, oleh karena itu ditancapkan saja di tanah tebing. Apabila baurnya bergerak berarti ada ikan memakan umpannya. Sambil menunggu pancing, penulis menengadah ke pohon-pohon. Benar saja banyak burung beterbangan. Ada burung perebak, mensuit, punai, dan entah apa lagi. Mereka asyik bercengkrama dan beterbangan ke sana ke mari. Penulis mulai melepaskan betet dari leher, mengambil batu pelor dan mengendap perlahan di dekat pohon. Pancing dan ikan ditinggalkan dahulu. Setelah berada di posisi yang bagus, penulis mulai memicing (membidik) burung perbak yang tidak terlalu jauh. Dan … tas, kena. Burung pun jatuh. Secepat kilat penulis langsung berlari ke arah jatuhnya. Di rimbunan semak-semak belukar tampak si burung tergeletak dan menggelepar kesakitan. Penulis membawa burung ke dekat pancing untuk memantaunya, mengambil daun lelaet (tananam air yang daunnya agak tajam) sebagai pengganti isok/pisau untuk proses penyembelihannya.

Au, tulong!”, tiba-tiba terdengar suara Japri (au, tolong!).

Apa hal?!”, tanya penulis dari kejauhan (kenapa?).

Tanpa menunggu lama penulis langsung berlari ke arah sumber suara. Penulis dapati Japri duduk di tanah dalam semak belukar, memegang kakinya yang berdarah. Rupanya dia metet burung juga dan berlari untuk memungut burung hasil bidikannya. Ketika sedang berlari, kakinya tepagok/menyepak tunggul kayu di tanah. Kuku ibu jari kaki kanannya mengeluarkan darah, agak terkoyak sedikit. Dia langsung menyobek sedikit baju bawahnya dan digunakan untuk membalut luka kakinya. Penulis membimbingnya untuk berdiri, dan dengan tertatih-tatih menahan sakit, kami berjalan menuju ke pundok/pondok kebunnya. Sang ibunya juga ada di kebun, sedang membersihkan rumput liar dengan kediknya (alat untuk merumput) di arah tepi kebun. Penulis menyambangi dan memberitahu bahwa kaki Japri terluka. Ibunya bergegas berjalan ke pondok.

Ngapa kaki, Pok?”, tanya ibunya (kenapa kakimu?).

Tepagok, Mak”, jawabnya (tersepak, Bu).

“Ko, kepon kopiko, Mak”, katanya (aku kepunan kopiku, Mak).

Ibunya mengangguk mengiyakannya. Sebelum berangkat ke kebun tadi, sang ibu melihat kopi yang dibuatnya belum sempat diminum oleh Japri. Lupa meminumnya atau nyabet/mencicipi sedikit saja. Padahal ibunya sudah berkali-kali menyuruhnya meminum kopi tersebut. Inilah akibatnya apabila nasehat orang tua tidak dipatuhi atau faktor kelupaan, kepon atau kepun/kepunanlah jadinya dan resiko ditanggung sendiri. (DM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *