Sastra  

PERTEMPURAN TOBOALI, PULAU LEAT

BAB IX

Foto Pulau Leat_ https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:View,_Island_of_Pulo_Leat,_showing_the_Sinking_of_the_Alceste_in_1817.jpg

Oleh : Dwikki Ogi Dhaswara

 

Bekaespedia.com_Musim telah berubah, namun luka tetap menganga, menanti kesembuhan dalam pelukan hari. Hanya bisikan angin yang menari, mengusap lembut pipi yang basah, dan membawa pesan dari hati yang hampa.

Waktu terus bergerak tanpa henti, seperti angin yang tak pernah diam. Membawa langkah ke langit Desember yang temaram, tepatnya ditanggal 10 Desember 1816 Masehi di Kota Muntok. Serah terima kekuasaan telah terukir dalam satu peristiwa, ketika Inggris dan Belanda bertukar takhta di tanah yang permai, bagaikan bertemu dalam hembusan angin sejarah.

Dalam keramaiannya yang penuh formalitas, janji yang tersusun rapi, kekuasaan berpindah tangan dalam bisikan sunyi. Membawa tantangan yang besar dan berat, menguji jiwa-jiwa yang tegar dan kuat.

Raden Keling mengetahui hal itu, bagaikan angin kencang yang mengusik kedamaian. Menghadirkan kemurkaan yang membara di dadanya. Dalam hatinya berkobar hasrat untuk melawan, menolak kekuasaan asing yang datang silih berganti.

Disisa-sisa tahun ini yang penuh rintangan dan kenangan, Toboali dan Lepar bersinar dengan kekayaan alamnya. Timah yang melimpah di perut bumi, menjadi harta yang tak ternilai bagi pulau Bangka.

Produksi Timah  dari Toboali termasuk Kepoh cukup besar, Belanda ingin mengambil untung pada situasi ini. Dengan rencana licik dan tersembunyi, mereka datang dengan senyuman palsu.

Raden Keling berdiri tegap di atas Bukit Penyengat Pulau Lepar, memandang ke arah Toboali. Dua permata berharga di Pulau Bangka tercinta. Ia berseru kepada para pengikutnya di tempat itu “ Hasil timah saat ini sedang memuncak, parit-parit pertambangan di Toboali sudah menghasilkan tiga ribu lebih pikul timah, jangan mau harta kita dirampas oleh mereka”.

Disetiap sudut wilayah Toboali, Kepoh, hingga Lepar, Raden Keling mengumpulkan para pejuang setia. Mereka adalah Rakyat Toboali dan Lepar dengan hati yang berani, siap menghadapi segala ancaman yang mendekat.

Semua penjagaan diberbagai wilayah telah dilakukan, dengan setiap langkah di pasir putih yang hangat, mereka bersumpah untuk melindungi tanah ini. Setiap desir angin yang berhembus membawa pesan cinta dan dedikasinya, menyelimuti pulau dengan keamanan dan ketenangan.

Berhari-hari mereka berjaga dengan kesetiaan, ancaman pun datang silih berganti. Termasuk ancaman dari para Lanun, namun seperti ombak yang terpecah di karang, mereka dihadapi oleh keberanian para penjaga.

Hari demi hari berlalu, musim berganti dan tahun berikutnya pun tiba, tepatnya di tahun 1817 Masehi. Tahun dimana lembaran baru dengan cahaya fajar yang memancar, membawa harapan dan tantangan yang belum terbayangkan.

Raden Keling berdiri tegak, bagaikan seorang pemimpin yang penuh dengan keberanian. Disampingnya, kerabat yang setia Raden Machmoed, siap menyongsong setiap rintangan yang akan datang.

“Adinda, kita telah tiba di tahun yang penuh tantangan ini. Maka dari itu, aku sangat berharap besar padamu, terlepas anakku Ali masih terbelenggu oleh kesedihannya yang Ia rasakan sampai saat ini. Ajaklah dia untuk bergerak kembali, mengepakkan sayapnya, mengangkat tinggi pedangnya untuk berjuang di Tanah Bangka, bujuklah dia agar kembali menyinari seluruh pejuang di negeri ini!”. Ucap Raden Keling.

“Baiklah Kanda, akan aku coba semampu ku, dan aku sangat yakin bahwa Ali bukanlah ranting kering yang mudah patah, bukan juga batu yang keras dan tak berguna. Ia adalah air untuk kehidupan, Ia juga angin yang menyejukkan. Akan tetapi, bila ada yang mengusiknya, maka amarahnya akan menghancurkan benda apapun layaknya gelombang dan badai yang siap menerjang”. Jawab Raden Machmoed dengan tersenyum.

Raden Machmoed segera menemui Raden Ali yang pada saat itu menyendiri di bawah tebing Bukit Penyengat. Raden Ali diawasi oleh pengikut setianya dari kejauhan, Ia adalah Ambuk, sang pendekar Tanah Lepar yang sangat ahli dalam bertempur, terkhususnya taktik perang Hantu Laut.

“Sungguh indah dipandang Laut Lepar, tapi lebih indah lagi ketika aku melihat keponakan kecilku tersenyum kembali”. Seru Raden Machmoed.

Raden Ali terkejut dengan kedatangan mamangnya Raden Machmoed. Ia lekas bangkit dari duduknya yang bersandar dibebatuan pantai Lepar.

“Maafkan aku, Mamang!, aku tak tahu akan kedatanganmu untuk menemuiku disini”. Jawab Raden Ali.

“Tak usah kau hiraukan, aku datang kesini ingin menanyakan tentang sebuah pulau yang selama ini sudah kau ketahui lengkapnya”. Sambut Raden Machmoed.

“Pulau apa itu, Mamang?”. Tanya Raden Ali.

“Pulau Leat, pulau yang dimana tersimpan misteri yang belum terungkap, sungguh aku ingin mengetahuinya”. Jawab Raden Machmoed.

“Pulau itu sangatlah indah, pulau yang disekililing lautnya dipenuhi keindahan karang dan ikan-ikan yang berwarna-warni, pulau yang daratnya diisi oleh pohon-pohon yang tinggi dan tumbuh subur. Tidak ada misteri disitu, yang ada hanyalah ketakutan oleh mereka sendiri yang ingin berniat jahat saat menginjak tanahnya”. Ucap Raden Ali.

“Hari ini aku akan berangkat untuk melihatnya, apakah kau mau ikut denganku?”. Tanya Raden Machmoed.

“Maafkanlah aku, aku masih ingin disini! Sungguh aku ingin membuang sisa kenanganku kepada Halimah. Akan aku tuntaskan secepat mungkin demi semangat perjuanganku dengan Ayah, Mamang, Ibu, Anakku, Rakyat Lepar dan Rakyat Toboali disini, percayalah dalam waktu dekat rasa ini akan selesai. Akan tetapi, bawalah pengikutku bersama Mamang, Ia adalah Ambuk, Pendekar Laut. Dimana laut dan daratan adalah tempat ia mengeja dan mengasah pedangnya”. Jawab Raden Ali.

“Baiklah, jika itu mau mu. Aku berharap banyak padanya”. Sambut Raden Machmoed dengan tersenyum.

“Mendekatlah”. Seru Raden Ali kepada pengikutnya dari kejauhan.

Pengikutnya pun segera mendekat, dan merekapun lekas bergerak dengan penuh keberanian.

Raden Machmoed ditemani Ambuk dan para pengikut lainnya,  menetap di Pulau Leat untuk berjaga. Mereka mengenakan baju layaknya rakyat biasa, namun gerak-gerik mereka bagaikan bayangan dan tak terlihat secara nyata, bergerak diam-diam penuh dengan kewaspadaan. Layaknya hembusan angin yang menyatu dengan bisikan laut.

Perasaan Raden Machmoed mulai terasa tak biasa. Suara ramai dari kepakkan sayap burung keluar dari hutan rindang dan gelap yang berada di belakang mereka. Namun, tatapan waspada mereka ke arah laut tak mereka hiraukan sedikit pun.

Aungan hutan, suara-suara misterius yang menyelubungi mereka, menggema dengan kekuatan alam yang tak terduga. Keringat dingin menetes dari dahi pengikutnya, menyatu dengan kelembapan hutan, terkecuali Raden Machmoed dan Ambuk.

Nampak dari kejauhan, terlihat siluet kapal besar Inggris, dengan panji mereka yang berkibar, hadir didekat Pulau Leat.

Raden Machmoed dan Ambuk dengan wajah penuh tekad, memandang ke arah kapal tersebut. Dalam hatinya, janji setia itu tetap menyala. Para penjaga lainnya, dengan keberanian yang sama, berdiri teguh di sisinya.

Mereka adalah perisai hidup bagi pulau ini, setiap hati bergetar dalam irama yang sama. Mereka tahu bahwa ancaman Inggris bukanlah yang pertama, dan juga bukan yang terakhir, namun mereka yakin bahwa cinta pada tanah ini, akan memberi mereka kekuatan yang tak terukur.

Saat senja merangkak mendekati cakrawala, dan kapal Inggris semakin mendekat. Raden Machmoed dan Ambuk bersiap menjalankan strategi mereka. Keberanian dan kecepatan adalah kunci, dan mereka tahu akan waktu yang tepat untuk menghadapinya.

Ambuk, dengan keahlian taktik perang lautnya, memimpin pasukan dengan cermat dan cepat. Dengan langkahnya yang senyap, mereka menyelam ke dalam kegelapan laut yang dingin, mendekati kapal Inggris yang megah.

Dengan ketelitian yang sempurna, mereka berhasil menaiki kapal musuh tanpa menarik perhatian pasukan Inggris yang tak curiga. Sedangkan Raden Machmoed berjaga dari kejauhan, mengawasi dari bahaya yang akan mereka hadapi.

Pasukan Ambuk bekerja dengan cekatan. Mereka keluar dari kapal Inggris dengan selamat, berhasil menyalakan api di berbagai bagian kapal, dan membiarkan api menyebar, hingga menghanguskan kapal yang sebelumnya tampak gagah dan tak terkalahkan. Menciptakan pemandangan yang mengerikan saat kapal Inggris berubah menjadi lautan api.

Dalam kekacauan yang melanda, Pasukan Inggris menurunkan sampan kecilnya hingga ada beberapa yang melompat ke laut, berenang ke Pulau Leat dengan panik. Namun, keputusasaan pasukan Inggris nampaknya belum berakhir. Pulau Leat, yang tampaknya memberikan perlindungan, segera menjadi medan untuk teror baru.

Raden Machmoed dan Ambuk beserta pengikutnya, dengan keteguhan hati mereka dan persiapan yang matang, meneror kembali pasukan Inggris yang saat itu berada di Pulau Leat.

Dalam keheningan malam, mereka melancarkan serangan yang membuat para pasukan Inggris merasa terpojok dan semakin ketakutan. Pulau Leat menjadi arena di mana ketegangan dan ketakutan berpadu, dengan setiap sudutnya dipenuhi oleh jejak keberanian dan strategi yang cemerlang.

Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang-bintang, mereka menunjukkan keterampilan yang mengesankan, membuktikan bahwa taktik dan keberanian mampu mengubah jalannya pertempuran.

Dengan adanya teriakan ketakutan oleh pasukan Inggris, itu adalah tanda keberhasilan mereka, bahwa meski senja mengakhiri hari, semangat mereka untuk melindungi tanah air tak pernah padam.

 

Bersambung

Toboali, 23 Juli 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *