Oleh : Dwikki Ogi Dhaswara
Bekaespedia.com_Ada beberapa pemaparan tentang desa oleh para sosiolog dan antropolog, salah satunya adalah pandangan Clifford Geertz yang menitikberatkan pada desa sebagai sumber utama pelestarian identitas budaya. Ia menjelaskan bagaimana desa mempertahankan tradisi dan nilai budayanya di tengah perubahan sosial dan ekonomi. Perjuangan untuk melindungi identitas budaya seringkali dilakukan melawan asimilasi dan dominasi budaya asing. Desa adalah benteng terakhir, tempat di mana nilai-nilai terakhir dilestarikan dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Bangka Kota, meskipun saat ini lebih dikenal sebagai desa kecil di Kabupaten Bangka Selatan. Bangka Kota pernah memainkan peran penting di Pulau Bangka semasa Kesultanan Sriwijaya hingga Penjajahan Kolonial Belanda. Desa yang dikenal dengan nama Kute ini merupakan salah satu tempat/kota tertua di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung setelah Kota Kapur, ini dibuktikan dengan adanya literasi sejarah hingga keberadaan situs bersejarah seperti makam-makam, serta situs eksplorasi lainnya yang masih ada hingga saat ini.
Pada tanggal 13 Februari 1682 Masehi, Pangeran Aria, putera sultan Abdurrahman mendirikan Benteng di Bangka kota, dengan satu unit pasukan dari Makassar. Pembangunan Benteng ini bertujuan untuk mengamankan jalur sempit pelayaran dan perdagangan di Selat Bangka yang terletak dekat dengan Bangka kota.
Selat Bangka adalah salah satu jalur pelayaran paling vital di Nusantara pada abad ke-17. Menghubungkan berbagai pusat perdagangan di Asia Tenggara, selat ini sering kali menjadi sasaran perompak yang berusaha menguasai jalur perdagangan rempah-rempah. Penguasaan atas Selat Bangka adalah kunci untuk memastikan keamanan dan stabilitas ekonomi wilayahnya. Dengan mendirikan benteng di Bangkakota, tidak hanya melindungi jalur ini dari ancaman eksternal tetapi juga memperkuat posisinya dalam jaringan perdagangan regional.
Sejak masa lampau, Bangka kota juga memiliki nilai historis yang mendalam terkait dengan penyebaran agama Islam di Pulau Bangka. Beberapa peninggalan yang dikenal saat ini seperti makam karang panjang dan makam jati sari. Menurut sejarahnya mereka dikenal karena perannya dalam memperkenalkan dan menyebarkan ajaran Islam di pulau Bangka. Pengaruhnya tidak hanya memperkuat fondasi spiritual masyarakat lokal tetapi juga membantu membentuk identitas budaya dan sosial di Bangka kota.
Selain itu menurut Dato’ Akhmad Elvian, Koeboebangka (Kotabangka) atau Bangka kota yang kemudian disebut Belanda dengan Pankal Kotta memang menjadi lokasi yang strategis untuk “kubu” atau “kota” (benteng pertahanan) bagi perlawanan rakyat Bangka melawan pasukan kolonial Belanda. Untuk menumpas perlawanan rakyat di Koeboebangka atau Kotabangka, pasukan militer Belanda harus melakukan beberapa kali penyerbuan.
Serangan atau penyerbuan pertama terjadi pada 17 Agustus 1819, dilakukan melalui darat dan laut di bawah pimpinan Kapten Ege. Pada September 1819, serangan kedua terjadi, dengan pertempuran besar di Koeboebangka atau Bangka kota. Saat itu, Bangka kota diserang oleh pasukan Belanda dari darat, dipimpin oleh Kapten Laemlin yang membawa sekitar 230 prajurit dari distrik Pangkalpinang, memulai serangan pada 14 September 1819. Serangan dari laut dilakukan oleh pasukan Belanda dengan empat kapal perang di bawah pimpinan Kapten Baker.
Dalam serangan pertama dan kedua terhadap Koeboebangka atau Bangka kota, pasukan Belanda mengalami kekalahan memalukan dan harus mundur ke Kota Mentok dan Kota Pangkalpinang. Namun, karena minimnya persenjataan, pada bulan Oktober 1819, Koeboebangka (Kotabangka) atau Bangkakota akhirnya dapat dikuasai oleh pasukan Belanda. Koeboebangka (Kotabangka) kemudian dibumihanguskan oleh pejuang rakyat yang kemudian menyingkir ke arah utara, melewati Sungai Selan dan Sungai Menduk menuju Kotaberingin (Kotawaringin).
Bangka Kota juga dikenal sebagai markas para pejuang Bangka seperti Depati Bahrin, Batin Tikal, Juragan Selan, dan tokoh-tokoh lainnya. Kota ini merupakan lokasi strategis yang dijadikan “kubu” atau “kota” (benteng pertahanan) untuk perlawanan rakyat Bangka melawan pasukan kolonial Belanda.
Keletakan strategis Bangka Kota digambarkan dengan jelas oleh residen Inggris untuk Palembang dan Bangka, M.H. Court: “Beberapa mil Barat Laut dari Gunung Permisan merupakan muara atau pintu masuk ke Sungai Banca Cotta. Sungai ini, walaupun tidak sangat lebar, namun merupakan sungai yang bagus untuk dilewati karena lebar sungainya tetap sama dari muara hingga ke kota (benteng) yang terletak sembilan mil dari muara sungai.”
Menghargai sejarah dan perjuangan di Bangka Kota adalah usaha penting untuk melestarikan identitas dan warisan sejarah. Ini harus disertai dengan tindakan yang mendalam dan kompleks, serta menyentuh berbagai aspek identitas budaya, sosial, dan ekonomi. Di tengah gelombang modernisasi dan urbanisasi, desa-desa yang kaya akan sejarah dan perjuangan sering kali terlupakan.
Bangka Kota juga merupakan cerminan dari dinamika sosial dan perjuangan yang membentuk karakter masyarakatnya. Setiap batu bata yang tersisa, setiap ritual yang dipertahankan, dan setiap cerita yang diwariskan adalah potongan puzzle dari identitas kolektif yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Mengabaikan atau meremehkan nilai-nilai ini adalah sama dengan kehilangan memori kolektif yang membentuk fondasi masyarakat.
Dalam lanskap yang terus berubah ini, di mana modernisasi dan urbanisasi sering kali menggeser jejak sejarah, Bangka Kota yang kaya akan sejarah dan perjuangan menjadi oase dari identitas budaya yang harus tetap terjaga. Penghargaan terhadap desa ini bukan hanya tentang merayakan masa lalu, tetapi tentang mengakui dan menghargai perjuangan yang membentuk masa depan.
Penghargaan harus dimulai dengan pendidikan dan kesadaran. Mengintegrasikan sejarah lokal dalam kurikulum pendidikan dapat membantu generasi muda memahami dan menghargai warisan budaya mereka. Selain itu, kampanye kesadaran yang efektif dapat menarik perhatian publik dan media terhadap pentingnya pelestarian tempat-tempat bersejarah.
Penghargaan yang nyata juga harus melibatkan upaya pelestarian dan restorasi yang berkelanjutan. Ini termasuk perawatan bangunan bersejarah, perlindungan situs-situs penting, dan pemeliharaan tradisi yang masih ada. Bantuan dari pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan sektor swasta sangat penting dalam hal ini.
Yang terakhir, mari kita bersama-sama mengakui dan menghargai Desa Bangka Kota sebagai desa bersejarah dengan jejak perjuangan besar di Bangka Selatan. Menghargai desa ini berarti menghargai nilai-nilai perjuangan, keberanian, dan solidaritas yang telah diwariskan oleh para leluhur kita. Ini adalah sebuah tindakan yang tidak hanya akan memberikan penghormatan kepada mereka yang telah berjuang, tetapi juga akan menginspirasi generasi muda untuk memahami dan mengambil pelajaran dari sejarah.
Dengan menghargainya juga, kita bersatu dalam semangat penghargaan terhadap sejarah, kita dapat memastikan bahwa Desa Bangka Kota akan terus dikenang dan dihormati sepanjang masa.
Oleh sebab itu, hal ini bukanlah sebuah tindakan sesaat, tetapi sebuah komitmen berkelanjutan untuk melestarikan dan merayakan warisan sejarah dan budaya. Ini memerlukan pemahaman mendalam tentang nilai sejarah, pengakuan terhadap tantangan yang ada, dan tindakan nyata untuk mendukung pelestarian.
“Kute Besiok”
Toboali, 30 Juli 2024