Oleh: Sutiono, S.Pd. Kim., M.M
Kepala SMKN 1 Tukak Sadai
Di kaki perbukitan yang megah dan ditumbuhi pepohonan rimbun nan hijau berbetuk seperti pagar yang melindungi , berdirilah sebuah desa yang asri dan damai yang di beri nama Desa Bukit Pagar. Desa ini terkenal dengan ladang subur dan kebun buah-buahan yang tumbuh subur. Di antara kebun-kebun yang menghampar, ada sebuah kebun tua milik Abuk Rohid, seorang petani hebat dan bijaksana yang telah merawat kebunnya selama puluhan tahun. Di kebunnya, berdiri pohon mangga tua yang menjadi kebanggaan Abuk Rohid.
Namun, tidak semua orang di desa tersebut yang menghargai kebun tua itu, terutama Rajusing, seorang pemuda desa yang ambisius dan penuh semangat modernisasi. Rajusing, dengan kebun barunya yang berisi pohon-pohon muda dan segar, sering merasa bahwa metode tradisional seperti yang diterapkan Abuk Rohid sudah ketinggalan zaman.
Suatu pagi yang cerah terdengar kicauan burung kutilang beryanyi dan membuat suasna hati lebih damai. Mentari pagi mulai naik di balik bukit dan embun pagi pun mulai meneteskan airnya ke tanah, Abuk Rohid sedang memetik buah mangga di kebunnya. Atiw, seorang pemuda desa yang sering membantu Abuk Rohid, turut membantunya mengumpulkan buah mangga yang sudah matang. Tidak jauh dari mereka, Putri, gadis kecil yang imut dan cantik dari desa sebelah, sedang bermain riang bernyayi dengan ciri khas anak seusianya dan sambil sesekali memetik bunga liar yang tumbuh di sekitar kebun.
Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara derap langkah kaki yang mendekat. Rajusing datang dengan wajah serius, membawa cangkul di pundak dan parang di pinggannya. Abuk Rohid, panggil Rajusing dengan nada tegas, Mengapa Kakek masih merawat pohon mangga tua ini? Lihat, buahnya sudah tidak sebanyak dulu dan bahkan buahnya semakin kecil. Sudah waktunya Kakek menebang dan menggantinya dengan pohon yang lebih muda dan produktif. Abuk Rohid berhenti sejenak bekerja, memandangi pohon mangganya yang rindang, kemudian tersenyum lembut. Pohon ini mungkin sudah tua, Rajusing, tapi lihatlah dan perhatikan dengan seksama buahnya. Meski sedikit, rasanya tetap manis dan segar. Usia tidak selalu menentukan kualitas.
Rajusing menghela napas panjang, tampak tidak setuju. Buahnya memang manis, Kek, tapi jumlahnya sedikit. Di kebun saya, pohon-pohon muda menghasilkan lebih banyak buah dalam kurun waktu yang sangat singkat. Saya rasa Kakek hanya membuang-buang waktu dan tenaga saja dengan pohon tua ini.
Atiw, yang sedari tadi diam sambil memtik buah mangga, akhirnya angkat bicara. Hai Rajusing kawan ku baik, tidak semua hal diukur dari jumlahnya. Pohon mangga ini sudah memberi hasil selama bertahun-tahun, bahkan sebelum kita lahir. Ada nilai yang lebih dari sekadar jumlah buah.
Rajusing menatap Atiw dengan tatapan tajam dan wajah memerah. Kamu selalu berbicara tentang tradisi dan nilai-nilai lama, ingat bro dunia sudah berubah. Kita harus bergerak maju, bukan berpegang pada hal-hal yang sudah ketinggalan zaman.
Konflik antara mereka semakin memanas. Rajusing, dengan pemikirannya yang praktis dan modern, merasa bahwa pohon tua seperti milik Abuk Rohid seharusnya sudah ditebang. Sementara itu, Abuk Rohid dan Atiw percaya bahwa nilai dari pohon tersebut bukan hanya pada buahnya, tetapi juga pada sejarah dan cinta yang terikat di dalamnya.
Putri, yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka, tiba-tiba berkata, Abuk Rohid, bolehkah aku mencoba satu buah mangga itu? Abuk Rohid memetik satu buah mangga kecil dan memberikannya kepada Putri. Gadis kecil itu sambil menggigitnya dan matanya berbinar. lalu berujar, Manis sekali! Dan terima kasih, Kek. Rajusing melihat itu dan terdiam sejenak. Meskipun ia tidak mau mengakui, ia tahu bahwa rasa manis dari mangga itu memang Istimewa dan sudah terkenal sejak dulu.
Abuk Rohid mendekati Rajusing, lalu berkata, Rajusing, kamu benar bahwa pohon muda bisa berbuah banyak dalam waktu singkat, tapi meski ingat, ada yang lebih penting juga yaitu bukan hanya jumlahnya, melainkan kualitasnya. Pohon ini telah melalui banyak musim dan tetap bertahan. Setiap buahnya adalah hasil dari perjalanan panjang, penuh kesabaran dan ke ikhlasan dalam merawatnya.
Rajusing mulai melunak. Tapi, Kek, bagaimana jika pohon ini nanti mati? Siapa yang akan menggantinya?Abuk Rohid tersenyum lagi. Itulah tugas generasi selanjutnya, Rajusing. Pohon ini akan mati suatu hari nanti, tapi sebelum itu, kita harus belajar darinya. Bukan sekadar menanam pohon baru, tapi juga menghargai apa yang telah diberikannya selama hidupnya. Pohon tua ini mengajarkan kita tentang kesabaran dan ketekunan.
Atiw menambahkan, Kadang, kita terlalu fokus pada apa yang baru dan menguntungkan secara cepat, tapi melupakan nilai yang lebih dalam. Bukan pohonnya yang penting, tapi buah yang dihasilkannya, buah yang dihasilkan dari waktu, cinta, dan perawatan yang penuh dengan kesabaran.
Rajusing, yang sebelumnya keras kepala, mulai memahami apa yang dimaksud oleh Abuk Rohid dan Atiw. Ia terdiam, merenungkan kata-kata mereka. Meskipun ia masih yakin dengan pohon-pohon mudanya, ia mulai menghargai nilai dari pohon mangga tua itu.
Hari itu, di bawah pohon mangga tua yang rindang dengan tiupan angin yang sepoi-sepoi, mereka bertiga berdamai dengan pemahaman yang baru. Rajusing menyadari bahwa meski dunia terus berubah, ada hal-hal yang tidak lekang oleh waktu dan seperti kebijaksanaan alam dan orang-orang tua yang telah lebih dahulu melalui perjalanan hidup.Terima kasih, Abuk Rohid, kata Rajusing akhirnya. Saya akan tetap menanam pohon-pohon muda, tapi saya juga akan belajar untuk lebih menghargai apa yang sudah ada dan menjaga kearifan lokal kita.
Abuk Rohid mengangguk, senang melihat Rajusing mulai memahami makna sebenarnya dari pohon itu. Hari pun semakin siang, matahari sedikut malu-malu mengintip di balik awan, suara nyanyian lagu Si Putri terdengar sayup-sayup dari kejauhan yang di bawa angin dan di bawah bayang-bayang pohon mangga tua itu, mereka semua belajar satu pelajaran penting dalam hidup, bukan pohonnya yang paling penting, tapi buah yang dihasilkan, buah yang tumbuh dari kesabaran, ketekunan, dan cinta.