Bekaespedia.com_Bangun tidur ku terus mandi, pagi ini kumulailah bersih-bersih rumah, kerja bakti rumah sendiri. Membersihkan rak buku, yang sudah tebal sekali debunya maupun sarang laba-laba.
Ku seduh kopi sendirian tanpa gula.
Ditengah kesibukan membersihkan segala macam yang ada di ruang tamu, atau tepatnya ruang “TBM Lilach Jayanti,” istriku berteriak memanggilku dengan kasar.
Ada yang nyari tuh. Aku bergegas dengan jantung berdegup kencang, Kirain istriku kenapa-napa, eh ternyata cuma dicari Pak Muji tukang rosok belakang rumah yang ngontrak rumah Iparku.
Badan terasa demam, gak enak dan terasa pegal-pegal, pikiranku langsung ingin mengambil Parasetamol di almari obat,/ PPPK.
Namun hatiku berbicara lain: gak usah ambil obat, cuma gak enak badan dikit aja langsung mau ambil obat. Teruskan aja bekerja dengan riang gembira, nanti rak sembuh sendiri, jangan aleman, nanti tubuhmu jadi lemah. Akhirnya ku menangkan hatiku.
Sambil beberes ruang TBM Lilach Jayanti, tiba-tiba jantungku berdesir, bulu kudukku meremang, sampai pergelangan tangan.
Ada seseorang melewatiku tanpa permisi membelakangiku langsung duduk di sofa yang barusan ku bersihkan tadi.
Aku pun langsung berhenti beberes mendekati sosok yang membelakangi ku tersebut.
Ah, ternyata Bp. Bapak Djojo Perwito yang ku rindukan sepanjang siang malam tidurku, sangat ku rindukan hadirnya ketika hatiku merasa sangat sedih. “Sugeng siang Bapak, langsung saja kucium tangannya dengan penuh semangat dan hormat. Sambil tersenyum lembut mengelus kepala ini berkali-kali.
Begitu bahagianya diriku saat ini,
“teruskan apa yang engkau cita-citakan dan warnailah keluarga mu dengan penuh cinta dan kasih. Agar kelak engkau dapat mewarnai pula negeri mu dengan karya-karya mu.”
Dengan lembut dia menarik tanganku untuk digenggam nya dengan kuat dan menarik ku sambil berkata “yuk ikut bapak.”
Aku pun langsung berdiri dan ngestoaken Dhawuh beliau. Diajaknya keluar berjalan perlahan, lantas mengikuti terus kemana pergi, yang kurasakan hanya menuju tempat yang lurus lagi lapang dan teduh. Lama-lama menuju jalan yang sangat lurus, luas serta di kanan kirinya penuh dengan kabut putih samar-samar lembut.
Akhirnya ada Lingga Yoni di depan mata dan berhenti lah beliau mengajakku duduk.
Dengan khidmat beliau duduk bersila di depan Lingga Yoni tersebut, memejamkan mata sambil telapak tangannya dibuka antara jari telunjuk dan ibu jari bertemu membentuk lingkaran, aku pun bersikap sempurna seperti seseorang yang sedang bermeditasi. Lama, lama sekali sampai aku ingin membuka mata, tapi setiap kubuka mata, bapak masih terpejam dan nafasnya begitu teratur lembut tanpa suara sama sekali.
Begitu sampai berkali-kali, akhirnya setelah kubuka mata sampai yang ketujuh kalinya, beliau pun membuka matanya pula dengan tersenyum penuh kewibawaan yang ku kagumi.
Dia mengulurkan tangannya sambil membawa sebuah pulpen emas bertuliskan “Jaya Kawijayan” di gagang batang atas pulpen tersebut yang bermerek “Parker” menyodorkannya kepadaku sambil berkata,”Lanjutkan hobimu membaca dan menulis, yang sudah bapak tau sejak kau lahir.”
Tak usah kau hiraukan orang-orang yang tidak suka, terutama dari orang terdekatmu dengan kegembiraan serta kegemaranmu untuk menulis setiap momen penting dalam kehidupanmu dengan sentuhan intuisi mu yang tajam dan tepat sesuai keadaan.
“Sendika Rama, Keng putra namung ngestoaken Dhawuh, mugia dados jimat penambah semangat lan kiat nampi kewajiban menika, nwn.” “Nyuwun tambahing Donga Pangestu nipun Rama.’
Ketika mendongak ke atas, ternyata bapak sudah tidak ada di hadapanku.
Aku tergetar dan mata ku pun langsung nanar berputar melihat sekitar, ternyata aku berada di “Puncak Garuda,” kulihat awan putih bergumpal-gumpal berjalan perlahan mengelilingi tubuh.
Ada rasa dingin, lembut dan segar menyentuhi pori-pori kulit Ari ini.
Sejenak terlupa perjumpaan dengan almarhum bapak, karena ketakjubanku melihat pemandangan yang begitu indah esomakamku, baik lahir maupun batin ini.
Mengisi amunisi kekuatanku untuk berjuang dalam senyap untuk negri ini.
Jogja, 2024