Bekaespedia.com _ Setiap lelaki berbaju safari itu ngomong, orang-orang yang berada disekitarnya selalu mendesiskan diksi bebulak.
Bebulak?
Kata bebulak tidak ada dalam kamus besar bahasa Indonesia. Frasa itu hanya ada di Kampung Kami, Toboali Bangka Selatan yang berarti berbohong.
Entah kenapa, narasi buruk itu dihujamkan ke arah lelaki yang memiliki jabatan itu.
Terkadang, narasi yang diantarkannya berbalik arah. Tak sesuai dengan kenyataan.
Pernah pada suatu pertemuan dengan para guru Sekolah Menengah Atas di Kampung yang dipimpinnya, lelaki yang selalu berpakaian putih itu dengan tegas menyatakan bahwa anaknya silahkan tidak diterima di sekolah menengah atas itu, bila nilainya tidak memenuhi syarat.
” Saya ingatkan kepada Kepala Sekolah dan guru-guru di sini, untuk transparan. Jangan ada titip-menitip untuk masuk sekolah di sini. Utamakan yang memenuhi syarat. Tidak terkecuali anak saya. Jangan diterima kalau tidak memenuhi syarat,” tegasnya dengan narasi keras.
Para guru di Sekolah Menengah Atas itu bertepuk tangan. Bangga. Maklumlah, sudah menjadi kelaziman setiap tahun ajaran baru, selalu ada yang menitipkan anaknya untuk bersekolah di sana.
Padahal persyaratan para pewaris masa depan negeri yang mereka titipkan untuk bersekolah di sana tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan Panitia penerimaan siswa baru.
Baru dalam hitungan langkah lelaki itu meninggalkan sekolah yang terletak di ujung Kampung itu, seorang bawahan Lelaki tadi yang disebut oleh publik dengan sebutan Pak Pemimpin itu, langsung bertemu dengan Kepala Sekolah dan menyampaikan pesan khusus dari Pak Pemimpin tadi.
Tentu saja Pak Kepsek Sekolah Menengah Atas itu kaget. Jantungnya mau copot.
” Pak Pemimpin memang selalu begitu. Lain di mulut, lain kenyataannya. Dan ini surat dari beliau untuk meloloskan anaknya sekolah di sini,” kata bawahan Pak Pemimpin sembari memberikan selembar kertas kepada Pak Kepsek. Pak Kepsek cuma terdiam seribu bahasa. Terpaku menatap surat sakti dari Pak Pemimpin.
Bukan hanya kali itu saja, Pak Pemimpin beraksi seperti itu. Tidak sinkron antara ucapan dan realita. Tidak harmoni antara narasi dan kenyataan.
Pernah pula pada suatu ketika, dihadapan warga Kampung yang membanjiri kantornya, Pak Pemimpin itu menyampaikan narasi bahwa penerimaan pegawai di Kantornya tidak ada titipan dan uang pelicin.
” Saya tegaskan bahwa penerimaan pegawai di Kantor ini tidak ada titip-menitip. Tidak ada uang pelicin. Yang terbaik nilainya yang kita terima,” tegasnya yang disorak sorai kegembiraan oleh para warga.
” Hidup Pak Pemimpin. Hidup Pak Pemimpin,” teriak warga dengan nada gembira berbungkus kebahagiaan.
” Kalau ada bawahan saya yang meminta uang, laporkan segera dengan saya. Akan saya pecat, ” tegasnya lagi.
Gemuruh tepuk tangan dari warga bergemuruh. Menakutkan burung hantu yang sedang berlindung di dedaunan pohon nangka di dekat Kantor itu.
Maklumlah sogokan menjadi momok yang menakutkan bagi warga Kampung ketika mendengar ada penerimaan pegawai.
Bukan sesuatu yang aneh, bila penerimaan pegawai di Kantor selalu identik dengan orang dalem dan uang pelicin.
” Ini baru pemimpin,” ungkap seorang warga memuji.
” Kita lihat saja nanti,” balas seorang warga yang berkopiah dengan nada ketus.
” Betul. Kita lihat ujungnya. Apakah UUD. Ujung-ujungnya duit,” sambung warga yang lainnya.
Para pegawai yang lulus seleksi menjadi resah. Beberapa bawahan Pak Pemimpin meminta mereka untuk menyetorkan uang.
” Ini perintah Pak Pemimpin kepada kami, bawahannya,” cerita seorang bawahannya.
” Tapi omongan Pak Pemimpin kan sudah jelas. Sangat tegas. Tidak ada uang pelicin. Tidak ada uang sogokan,” seorang peserta yang lulus berargumentasi.
” Ini suratnya,”
Seorang bawahan Pak Pemimpin memperlihatkan sebuah surat yang ditulis Pak Pemimpin kepada bawahannya untuk meminta peserta yang lulus menyerahkan sejumlah uang.
Bukan hanya deretan peristiwa di atas yang membuat publik yang dipimpin Pak Pemimpin sudah tidak percaya dengan Pak Pemimpin mereka.
Tidak heran bila dalam kegiatan yang dihadiri Pak Pemimpin, warga yang datang makin sedikit. Mereka para warga yang datang hanya untuk menikmati berbagai sajian dan hiburan saja.
Omongan Pak Pemimpin mereka yang mereka pilih dengan hati nurani tidak pernah mereka dengarkan lagi.
Narasi Pak Pemimpin yang dulu mereka eluk-elukan bahkan bela dengan segenap jiwa , kini tidak pernah mereka dengarkan.
Mereka menganggap omongan Pak Pemimpin mereka sebagai angin lalu yang menebarkan aroma busuk.
Dan setiap Pak Pemimpin bernarasi, selalu bergemuruh diksi pembulak dari warga. Menghujam raganya.
Pembulak
Pembulak
Pembulak…
Toboali, Oktober 2024
Mantap Jiwa Pendekar Literasi Nuswantara, Mas Rusmin Toboali. Bagus sekali dan cocok dengan situasi yang mendekati Pilkada sebagai sosialisasi pemilihan. Yang sebenarnya merupakan tugas pemimpin-pemimpin partai. mksh