Pilkada Yang Tidak Mubadzir

Ditulis oleh : H. Johan, M.Pd

  • Ketua DMI Kota Pangkalpinang

Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah telah melaksanakan pengundian nomor urut pasangan calon (paslon) pemimpin daerah. KPU RI mengungkapkan ada 1.553 paslon yang berkontestasi dalam pilakada serentak 2024. Jumlah yang tidak main-main dan teramat sayang jika dijalankan dengan main-main.

Tidak sedikit paslon yang menganggap nomor urut yang didapatkan memiliki keberuntungan tersendiri. Tak jadi soal. Yang terpenting ialah setiap paslon menjalankan kontestasi dengan bersih, sehat, dan berkualitas.

Hal itu harus benar-benar mereka tunjukkan pada masa kampanye yang telah dimulai sejak 25 September. Bukan hanya para paslon, penyelenggaran pilkada, yakni KPU dan Bawaslu, harus ketat memastikan kampanye berlangsung secara sehat hingga nanti selesai pada 23 November.

Itu penting karena kualitas kampanye akan semakin menentukan jumlah partisipasi pemilih. Saat ini, partisipasi di daerah tertentu dikhawatirkan turun karena apatisme warga akan demokrasi Indonesia.

Betul, kita menyadari bahwa pilihan untuk tidak menggunakan hak suara atau menolak memberikan suara untuk salah satu paslon ialah bagian dari demokrasi. Sikap itu harus dihormati.

Namun, kita juga menyadari bahwa negara dan para paslon punya kewajiban untuk meminimalikan hal tersebut. Itu disebabkan demokrasi yang minim partisipasi bukanlah kondisi yang benar. Walau pemerintahan daerah tetap dapat berjalan, sejarah telah membuktikan bahwa lebih banyak program akan sia-sia tanpa dukungan rakyat.

Karena itu, kampanye yang sehat, bersih, dan memikat akan membuat partisipasi rakyat bisa digaet. Kampanye yang sehat mesti menghindari kampanye hitam. Kampanye negatif jelas berbeda dengan kampanye hitam. Kampanye negatif berbasis fakta dan data, kampanye hitam menjurus ke insinuasi, bahkan fitnah.

Hal lain yang menandakan bahwa pilkada berlangsung sehat ialah menghindari politik uang dan segala bentuk kecurangan lainnya. Soal politik uang, misalnya, baik masyarakat maupun paslon harus sama-sama cerdas. Program-program yang menjanjikan uang seusai pemilu bisa mengarah ke bentuk politik uang. Di beberapa praktik semacam itu sudah muncul dengan bentuk janji-janji politik yang belum tentu jadi kenyataan.

Memang, regulasi yang berlaku saat ini belum memasukkan janji anggaran sebagai politik uang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) baru mendefinisikan politik uang sebagai pemberian uang yang bersifat tunai.

Celah itulah yang digunakan para paslon untuk melakukan politik uang dalam bentuk janji alias pascabayar. Celakanya, taktik itu justru dipuji sebagian orang. Mereka mengganggapnya sebagai janji pro rakyat.

Padahal, jelas-jelas definisi politik uang secara prinsip ialah penjanjian/pemberian uang atau barang lainnya untuk memengaruhi pemilih. Sebab itu, pemberian seusai pemilu pun bisa masuk kategori politik uang. Ketika paslon masih memasukkan janji-janji seperti itu pada masa kampanye, rakyat harus menolak. Rakyat bahkan pantas menunjukkan sikap protes kepada paslon yang menjanjikan seperti itu. Dengan begitu, para paslon dapat melihat bahwa mereka sudah menuai sendiri kekalahan tanpa perlu menunggu hari pencoblosan.

Sebaliknya, terhadap kampanye yang berkualitas, yang memiliki program tanpa gimik, masyarakat mestinya membuka hati. Apatisme jangan sampai menjadi kebencian.

Bahkan, ketika program yang ditawarkan itu penting dan diyakini membawa perubahan, kelompok-kelompok masyarakat yang masih sangsi dapat bersatu meminta surat komitmen dan semacamnya. Hal itu jauh lebih baik daripada tidak memberikan suara atau membuang hak suara. Dengan menjadi pemilih, masyarakat pantas menjadi yang terdepan menuntut pertanggungjawaban dari pemimpin pilihan mereka.

Hal-hal itulah yang harus kita dorong pada tahapan lanjutan pilkada ini. Seusai mendapatkan ketetapan dan nomor urut, paslon jangan semata membuat jargon-jargon sesuai dengan nomor itu. Terpenting ialah mematangkan program yang nyata dan berkualitas. Tanpa itu, mereka hanya akan membuat pesta demokrasi ini sebagai pemborosan uang negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *