Mata tua Buk Mansur menatap halaman koran lama yang ada di hadapannya.
Halaman koran lama yang sudah terpotong itu, bekas bungkusan terasi yang dibungkus penjual terasi di pasar tradisional.
Mata tuanya menatap sebuah judul berita yang ditulis dengan huruf kapital yang teramat besar.
” Pejabat Jangan Mansur, demikian tulisan narasi berita di halaman belakang koran yang berkode advertorial.
” Kok nama aku dibawa-bawa,” ucapnya dalam hati.
Dengan sepeda kunonya, Abuk Mansur mendatangi Kantor Kades. Lelaki tua itu ingin mendapatkan penjelasan. Harus mendapat penjelasan dari sumber resmi yakni Pak Kades.
Cahaya panas matahari yang menghantam tubuh tuanya tak dihiraukannya sama sekali.
Sementara keringatnya mengalir deras dari sekujur tubuh rentanya.
Abuk Mansur terus mengayuh pedal sepedanya. Seiring sinar matahari yang mengiringinya sesepuh Kampung itu tiba di Kantor Desa.
Kedatangan Abuk Mansur membuat para pegawai Kantor Desa terkejut.
Seribu tanya menggelayut dalam nurani mereka.
Sejuta tanya menghampiri otak cerdas mereka.
Pak Kades Desa Gagal langsung menyambut kehadiran sesepuh Kampung dengan wajah penuh kegembiraan.
Maklum, susah sekali untuk mengajak Abuk Mansur untuk hadir di kegiatan di Kantor Desa.
Abuk Mansur selalu berdalih sibuk bila ditanya kenapa tak pernah hadir diacara rapat di Kantor Desa.
” Silahkan duduk, Buk,” sapa Pak Kades Gagal sembari mempersilahkan sesepuh Kampung untuk merebahkan punggung di kursi tamu ruang kerja Pak Kades.
“Abuk mau minum kopi atau teh,” tanya Pak Kades
“Terserah. Saya ke sini bukan mau ngopi dan minum. Saya datang ke sini cuma ingin klarifikasi,. Ingin minta penjelasan” jawab Abuk Mansur dengan suara ketus yang mengagetkan Pak Kades.
Pak Kades heran. Seherahan dirinya yang tak pernah diperiksa KPK soal dana Desa yang pernah digelapkannya.
” Abuk ingin minta klarifikasi apa? Apakah ada pegawai Desa yang menipu Abuk? Atau ada pegawai Desa yang mempermainkan Abuk,” tanya Pak Kades dengan penuh keheranan.
” Bukan itu. Saya hanya ingin minta klarifikasi soal nama saya yang disebut petinggi Negeri di koran ini,” jawab Abuk Mansur sembari menunjukkan sehelai koran lama yang sudah kumal. Bahkan aroma terasi tercium di hidung Pak Kades.
Tiba-tiba, Pak Kades tertawa terbahak-bahak. Tubuh tegapnya berguncang menahan tawa yang tak terbendung.
” Kenapa Pak Kades tertawa,” tanya Abuk Mansur.
” Apa ada yang lucu,?” lanjut Abuk Mansur dengan wajah keheranan.
” Buk Mansur. Yang dimaksud Petinggi Negeri dalam koran ini bukan nama Abuk Mansur. Itu singkatan,” jelas Pak Kades.
“Singkatan,” tanya Abuk Mansur dengan wajah penuh keheranan.
” Iya. Mansur itu singkatan dari makan surang. Gurauan khas daerah kita ini,” jelas Pak Kades.
” Makan surang?,” tanya Abuk Mansur lagi penuh selidik.
” Iya, Buk,” jelas Pak Kades.
Abuk Mansur meninggalkan Kantor Desa dengan sejuta pertanyaan. Sejuta tanya terlampir dalam otak tuanya.
Sembari kakinya mengayuh pedal sepeda, mulut Abuk Mansur terus berdesis.
” Jangan-jangan yang menarasikan mansur itu justru yang menikmati makanan seorang diri tanpa malu,” desisnya dalam hati.
Cahaya matahari diatas kepala mengiringi kepulangan sesepuh Kampung.
Sinar matahari siang itu menghantarkan Abuk Mansur pulang ke rumah tuanya dengan penuh tanya.
Sebagai mana tanya Abuk Mansur soal akronim namanya yang tiba-tiba dipelesetkan menjadi makan surang.
Aek Aceng, 31 Januari 2023. (DM)