0leh: Saidun Derani
Mukaddimah
Jati diri adalah gambaran atau keadaan khusus seseorang yang meliputi sifat, karakter, watak, dan kepribadian yang bersangkutana. Bisa juga jati diri diartikan sebagai identitas, substansi, inti, jiwa dan semangat juang seseorang.
Jati diri seseorang merupakan bagian dari identitas diri seseorang yang muncul secara alami sejak lahir. Sifat bawaan seseorang dapat terpengaruh oleh lingkungan tempat ia dibesarkan.
Menemukan jati diri merupakan perjalanan yang penuh makna dan tidak mudah. Dan ketika berhasil menemukan jati diri, seseorang akan menjadi lebih percaya diri, tahu apa tujuan hidup dan bisa lebih berdampak bagi lingkungan sekitar.
Konsep jati diri ini pada dasarnya adalah bagian dari identitas diri seseorang. Setiap manusia memiliki latar belakang, ciri fisik, sifat, karakter, identitas sosial, minat, bakat, dan kemampuan masing-masing.
Tipikal jati diri ada 4 yaitu
- Confusion/diffusion yakni tidak melakukan ekplorasi dan tidak juga membuat komitmen,
- Foreclosure yakni tidak melakukan eksplorasi akan tetapi melakukan komitmen dan biasanya hal ini dipengaruhi oleh orang tua,
- Moratorium yakni melakukan eksplorasi akan tetapi tidak membuat komitmen,
- Achievment adalah sebuah pencapaian seseorang yang didapat degan tidak mudah. Bisa pula diartikan dengan upaya seseorang untuk mencapai sesuatu tujuan.
Contoh jati diri adalah semangat juang yang tinggi dan selalu percayas diri.
Yang penting dipahami bahwa jati diri ini bisa berubah karena faktor lingkungan; bisa lingkungan sekolah (pendidikan) dan juga lingkungan keluarga. Ada faktor dipengaruhi teman ketika masa-masa pubertas. Sedangkan bagi seseorang yang sudah dewasa biasanya kondisi keluarga yang baru dibentuk maupun lingkungan pekerjaan yang ditekuni ikut memberi pengaruh pada jati diri seseorang atau kelompok orang.
Sedangkan jati diri bangsa adalah identitas keperibadian yang telah melembaga dalam hati nurani dan pikiran bangsa, Demikian juga jati diri bangsa merupakan kekuatan bangsa yang berakar dari identitas karakter atau ciri bangsa itu.
Tentang masalah ini contoh yang mudah kita lihat pada jati diri orang Jepang jika gagal melakukan suatu tugas yang diberikan atau korupsi maka mereka melakukan hara-kiri (bunuh diri). Begitu juga rasa malu yang dimiliki bangsa Korsel jika melakukan satu kesalahan dalam tugas publik dengan sukarela pejabat itu mengundurkan diri.
Fungsi jati diri adalah sebagai penanda keberadaan atau eksistensi suatu bangsa atau kelompok masyarakat serta cerminan kondisi bangsa atau kelompok masyarakat itu yang menampilkan konsep diri, identitas, perilaku, kematangan, daya juang, dan kekuatan bangsa atau kelompok masyakrakat itu yang menjadi pembeda dengan bangsa atau kelompok masyarakat lain.
Fungsi dari identitas nasional ini yaitu sebagai landasan negara, sebagai pembeda dari negara lainnya dan juga sebagai alat untuk mempersatukan bangsa. Fungsi sebagai landasan negara yaitu dapat membantu negara tersebut untuk berkembang serta dapat mewujudkan cita-cita bangsa tersebut. Sedangkan untuk kelompok masyarakat tertentu dapat dijadikan rujukan untuk melihat diri kebelakang dan menata masa depan kelompok tersebut lebih baik dalam konteks persaingan antar berbagai kelompok bangsa yang ada.
Menjadi Wong Palembang
Kata “menjadi” dapat dimaknai dengan proses pembentukan jadi diri Wong Palembang sebagai sebuah kelompok bangsa atau masyarakat. Bukankah kita ketahui dari latar belakang sejarahnya bahwa Kota Palembang adalah kota yang pertama muncul di Nusantara sebagai pusat pemerintahan ibu kota Kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-7 (650 M) didirikan oleh Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa dan berakhir pada abad ke-14 (1377 M) seiring dengan muncul kekuatan baru Kerajaan Majapahit di Jawa.
Di Nusantara ini pusat pengembangan Islam pada abad ke-16-17 berada di Aceh Darussalam dengan tokoh ulamanya adalah Hamzah Fansuri (abad ke-16) dan Nuruddin ar-Raniri (w. 1658), Syaikh Abdurrauf as-Singkili (1615-1693). Ketika Aceh merudup sebagai basis pengembangan intelektual Islam, lalu muncul Kesultanan Palembang Darussalam sebagai pusat peradaban Islam pada abad ke-18 dan ke-19 sebelum pindah ke Jawa Awal abad ke-20 sampai sekarang dengan tokoh ulamanya antara lain Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani (1704-1789 M), Masagus KH. Abdul Hamid dikenal dengan sebutan Ki Morogan (1811-1901), Kyai Saleh Lateng (1862-1952 M).
Pada awalnya Sriwijaya ini merupakan pusat penyebaran agama Budha terbesar dan terkenal di Asia Tenggara. Dikatakan bahwa bagi pelajar yang ingin mendalami agama Budha di India maka mereka harus nyantri dulu dengan ulama Budha yang ada di Kota Sriwijaya. Demikianlah Kota Palembang selain sebagai pusat kekuasaan ternyata memang sejak semula sudah merupakan pusat studi agama. Dan keadaan ini terus belanjut ketika Sriwijaya berubah menjadi Kesultanan Palembang Darussalam. Sedangkan Kesultanan Palembang Darussalam berdiri abad ke-17 (1659 didirikan Sri Susuhan Abdurrahman) dan berakhir karena dihapus Belanda pada abad ke-19 (Oktober 1823).
Studi Saidun Derani (2013) menemukan bahwa karakter utama ulama itu adalah mendalami bidang keagamaan sebagai tugas keilmuan, kedua, membimbing masyarakat (ummat) dalam menjalankan dan mempertahankan agama sebagai tugas sosial. Sedangkan Prof. Darwis Hude (Direktur Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta sekarang) menyebutkan bahwa tugas pokok ulama adalah membaca dan menyampaikan ajaran Islam (2: 129, 151), kedua, menjelaskan ajaran-ajaran Islam dan membersihkan jiwa, ketiga, memutuskan dan mengajarkan persoalan yang dihadapi masyarakat, dan keempat, memberi contoh dan teladan dalam mengamalkan ajaran Islam.
Karakter keulamaan inilah yang diwariskan elite agama dan Raja Kesultanan Palembang Darussalam kepada anak cucu dan murid-muridnya yang dikenal dengan sebutan Wong Palembang sekarang ini. Karakter cinta ilmu artinya selalu mencari kebenaran dan meningkatkan kualitas diri, sikap peduli dan menjaga harga diri dari perbuatan yang negative karena malu kepada Sang Pencipta, dan berani membela kebenaran, dan selalu berupaya mengembangkan masyarakat ke arah yang lebih baik di bawah naungan Cahaya Ilahi.
Kisah Perjalanan Antropolog
Tulisan Tjik Arman (nama lengkapnya adalah H. Muhammad Syarman Chusmarawan) tentang “Martabak HAR dan Selayang Pandang Sumatera Selatan Kekinian” (Ika Kamsri, Tembok Batu, 25 Oktober 2024) cukup menarik dilihat dari aspek Jati Diri Wong Palembang. Penulisannya dengan gaya bertutur ini memperlihatkan bahwa penulisnya begitu menguasai jiwa dan haru biru alam bawah sadar orang-orang dari Bumi Sriwijaya ini yang begitu beliau cintai. Luar biasa nasionalisme ke-sumselan-nya.
Kalimat pertama dimulai dengan prasa bahwa masyarakat Sumsel now merasa cemas dan kecewa -kalau boleh menyebutnya dibohongi penguasa- lantaran banyak jalan-jalan berlobang (bukan lobang banyak berjalan-jalan seperti ceramah yang pernah disampaikan Da’i Sejuta Ummat KH. Zainuddin MZ) dan daya beli masyarakat melemah (menurun) yang bisa dilihat di ruas-ruas jalan provinsi yang berdekatan dengan ibu kota Sumsel Kota Palembang.
Dikisahkan misalnya jalan dari arah Plaju atau Jakabaring menuju ke Kecamatan Rambutan dan terus sampai memasuki perbatasan wilayah Ogan Komering Ilir, Trans Lingkis atau Jejawi lanjut ke Kayuagung Oki. Begitu juga kondisi jalan menuju Maryam, Sebokor, Prajen ke jalur 16-20 daerah eks transmigrasi. Daerah jalur ini yang dulu wilayah gersang dan tidak menarik sekarang kelihatannya cukup membanggakan karena pertanian dan perkebunan tumbuh subur melambangkan kemakmuran. Satu sisi menyenangkan dan menggembirakan.
Persoalannya adalah jalannya sempit dan berlobang ini tetap saja dilalui mobil besar, truck Fuso dan lainnya berlalu lalang membuat pengguna jalur ini semakin rusak parah. Kualitas jalan yang kelihatannya asal-asalan karena menomor-duakan aspek kualitas. Tampak sekali kebanyakan pasir krikil dan pengaspalannya tidak sesuai spek yang dibutuhkan. “Dasar mental pecundang yang hanya mengejar keuntungan semata”, tegas Tjik dengan geram.
Demikianlah kondisi jalan dan infrastruktur termasuk trotoar di pusat kota pada rusak dan jebol layaknya seperti kota yang tidak terurus dan tidak bertuan. Belum lagi wilayah Sumsel secara keseluruhan. Benarlah apa yang pernah disampaikan KH. Zainuddin MZ di atas bahwa aspal dimakan, semen dimakan, pasir dimakan, akhirnya yang terjadi adalah kualitas infrastruktur sangat menjijikkan hasil kerja para kontraktor, pengawas dan Pemda secara umum. Rusak mental mereka kata yang pas diberikan melihat dan memperhatikan tata cara kerja para pemborong ini.
Survey Pasar
Jika Anda berjalan-jalan di sepanjang jalan protokol jalan Jenderal Soedirman Kota Palembang, maka Anda menyaksikan begitu banyak ruko/pertokoan yang tutup. Pergerakan ekonomi melambat yang membuat para pedagang tidak mau mengambil resiko untuk menyewa tempat dagang itu.
Sebagai tolok ukur adalah adanya indikasi bahwa rumah makan atau Restoran Martabak HAR (Haji Abdul Razak) sekurang-kurangnya ada satu sudah tutup berlokasi di jalan Kolonel Atmo. Sedangkan yang di jalan Soedirman di samping kanan Mall IP kelihatannya mulai megap-megap kayak ikan mas kekurangan air. Hidup segan mati tidak mau karena dalam satu hari hanya dikunjungi sekitar 10 palanggan yang datang. Tekor alias taidak menutup modal operasional kerja dan upah karyawan.
Sementara yang tetap eksis dan masih banyak penggemarnya adalah Martabak HAR khas India yang disesuaikan dengan lidah Wong Palembang Indonesia ini menjadi daya tarik tersendiri berlokasi di depan Masjid Agung Palembang arah Jembatan Ampera. Melihat kondisi ini bagi penulis merupakan indikator adanya sinyal negative bahwa betapa suasana perekonomian di Sumsel sedang mengalami lesu darah atau mati suri.
Yang disesalkan adalah Jembatan Ampera sebagai icon Kota Empek-empek ini sekarang tampaknya tidak seindah dan semenarik dulu. Apalagi kalau dilihat dari arah jalan Soedirman dari depan Restoran Martabak HAR, maka jelas sudah kehilangan sebuah pamandangan yang memikat dan mempesona.
Menara indah Jembatan Ampera hilang lenyap karena tertutup jalan atau jalut LRT. Seharusnya bagian perencanaan perkotaan Pemda Sumsel cerdas melihat kepentingan masalah ini. Mengapa jalan LRT tidak dibelokkan ke arah Pasar 16 Ilir agar tidak menutup dan menjadi penghalang pemandangan yang bagus itu.
Apa lacur sehingga Pembangunan LRT tersebut menutup Jembatan Ampera sebagai icon Kota bersejarah Sumsel yang sekaligus monumental historis dari hasil pampasan perang yang tiada duanya. Bukankah ketika jalur LRT berdampingan dan berdempetan dengan Jambatan Ampera maka yang tampak dan kelihatan adalah kesemrawutan (pabaliut-kacau). Ini artinya Kota Palembang telah kehilangan sebuah simbol yang gagah, megah dan indah. Sayang nasi sudah menjadi bubur. Mau marah kepada Pemda mungkin saja orang yang menjabatnya sudah dipanggil pulang ama Sang Pemiliknya.
Dengan kegalauan yang membuncah penulis mencoba jalan-jalan masuk ke dalam Pasar 16 Ilir dengan harapan ketemu pedagang yang menjual ikan betok, tebakang, betutu, lampam, ikan lais habitat biota Sungai Musi. Sepanjang lorong pasar tidak ditemukan ikan-ikan yang dimaksud dan yang ada hanya ikan patin ternak, baung dan gabus yang kecil-kecil.
Lalu penulis memantau Pasar Cinde yang masih berantakan itu. Hanya ditemukan beberapa ekor ikan jerawat dan ikan Belido yang beratnya sekitar 4 kg. Sebenarnya ikan Belido ini dilarang dikonsumsi sesuai dengan Perda. Kenyataan jadi aneh masih saja ikan Belido dijual-belikan. Kurang ajar pengawas dan penjual serta penangkapnya.
Kuat dugaan Pemda dan elite Sumsel lambat mengantisipasi pasca Covid yang mengakibatkan bukan hanya disektor ekonomi dan perdagangan dampaknya akan tetapi termasuk masalah lingkungan hidup yang kian rusak parah. Benarlah Firman Allah yang menyebutkan bahwa manusia biang kerok perusak lingkungan hidup flora dan fauna di muka bumi ini.
Pemimpin Sumsel ke Depan
Kisah seorang Tjik Arman sampaikan seputar Sumsel di atas menjadi sebuah pembelajaran (Ibroh) bahwa ke depan dalam memilih pemimpin harus realistis dan tanggap serta peduli kepada kepentingan public dan rakyat kebanyakan. Bukan hanya memikirkan perut sendiri dan keluarga serta kelompoknya. Karena Sumsel ini merupakan warisan para ulama dan tokoh masyarakat yang berkuah darah dan air mata menegakkannya sejak Kerajaan Sriwijaya ampe zaman Republik sekarang.
Hemat penulis sudah seharusnya elite Sumsel sekarang ini mulai dari Ulama, Biksu, Pendeta, Cendikiawan, pengusaha, birokrasi, politisi, penegak hukum, para premannya, tokoh adatnya, dan rakyat kebanyakan untuk mengubah sikap hidup dari malas menjadi rajin, dari bodoh menjadi cerdas dan pintar, dari tidak peduli menjadi peduli, dan memiliki rasa malu karena mengurus yang diwariskan saja tidak bisa apalagi kalau diminta menciptakan yang baru. Alangkah bodohnya selama ini para pejabat dan elite sumsel yang ada.
Kepada siapa rakyat Sumsel berharap. Yang jelas mimpi ini disematkan kepada para pemimpin mulai Gubernur, Bupati, Wali kota, yang sebentar lagi 27 Nopember 2024 mengadakan Pilkada serentak yang akan digelar. Tentulah momen dan hajat lima tahunan ini jangan sampai melahirkan orang-orang dengan sikap mental murahan yang kemenangannya hanya mengandalkan kertas “warnah merah dan hijau” ditaburkan kepada masyarakat akar rumput. Jadi masih menganggap rakyat Sumsel ini bodoh kayak hewan yang cukup diberikan makan sedikit lalu mengikuti apa yang diinginkan kepada yang memberi makan.
Pada sisi lain para tokoh agama dan cendikiawan serta intelektual untuk mencerdaskan masyarakat diharapkan dapat berperan penting bahwa menerima suap dalam konteks pilkada sama saja memasukkan api neraka kedalam perut.
KPU dan Bawaslu juga ikut berperan aktif dalam konteks Pilkada ini. Jika membiarkan hal-hal yang di luar aturan karena kepentingan kelompok dan uang, maka semua jajaran KPU dan Bawaslu ikut juga dijebloskan ke dalam api neraka sebagaimana sering diingatkan KH. Dr. Das’at Latif, Ph. D dalam berbagai ceramahnya.
Pilihan hanya satu saja Sumsel ke depan harus maju dan sejahtera, kejayaan dan marwah kota tertua di Indonesia ini kudu dikemnbalikan ke arah yang benar dan baik. Dalam konteks inilah sebenarnya Sumsel membutuhkan pemimpin yang berani dan tegas serta manusiawi.
Penutup
Ada kesan dari paparan di atas bahwa selama ini Wong Palembang semacam kehilangan jati diri sebagaimana terlihat dari pemimpin yang mereka pilih. Indikasi ini terlihat sebagaimana informasi perjalanan yang dikisahkan Tjik Arman di atas mulai adari aspek politik, ekonomi, budaya, dan akhlak mengalami penurunan.
Rasa malu semakin berkurang bahkan mungkin tidak punya harga diri ketika menerima amanah akan tetapi tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Kuat diduga sumpah dan janji sebagai pemimpin Sumsel yang terpilih (DPRD, Gubernur, Bupati-Wali Kota) hanya sebatas retorika dan tidak sampai menghunjam dihati yang paling dalam.
Kalaulah mereka masih memegang jati diri sebagai Wong Palembang dengan kuat insyaAllah maka Sumsel akan berjaya kembali sebagaimana pernah dialami pada abad ke-18 dan ke-19 dan awal abad ke-20 sebagai pusat kemajuan dan peradaban serta pusat kekuatan politik (kekuasaan).
Kampus, 0411024
Penulis adalah Dosen Pascasarjana UM-Surabaya dan UIN Syahid Jakarta