Pasien di Kamar Mayat

Pasien di Kamar Mayat

Penulis: Yoelch Chaidir

Sirine ambulance memasuki ruang pelataran instalasi gawat darurat sebuah rumah sakit yang kini telah berubah menjadi pasar dan terminal.

Aku yang masih terjaga melirik jam dinding pada sebuah ruangan yang terdapat tidak kurang dari delapan ranjang besi dengan kasur dan bantal yang terbungkus sprei berwarna putih bertuliskan cendrawasih sebuah nama untuk memastikan bahwa seprei dan bantal tersebut milik ruangan di mana malam itu aku menjaga kerabat yang sudah 2 hari dirawat inap.

Pasien yang telah ditangani dokter dan perawat piket di IGD malam itu telah memasuki ruangan khusus luka bakar sebab sekujur tubuhnya melepuh akibat lampu petromax yang dinyalakannya pada sore hari menjelang Maghrib meledak dan serta merta minyak tanah bercampur api menyambar tubuhnya yang asyik sedang memompa lampu petromax yang pada masa masa itu masih menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat di ujung selatan kota Toboali dikarenakan banyak rumah rumah yang belum dapat menikmati penerangan listrik dari diesel milik PT Timah.

Hiruk pikuk terjadi saat menjelang subuh. Keluarga pasien luka bakar yang terjaga dari lelapnya tidur bergegas ke ruang piket jaga rumah sakit melaporkan bahwa pasien yang ia jaga telah hilang dari ruangan.

Sontak seluruh pegawai rumah sakit menuju ke ruangan di mana pasien luka bakar yang tak bisa bergerak dalam keadaan pingsan dengan selang infus tertancap pada lengan kiri tak lagi ada pada ruangan bersama besi ranjang tempat pasien diistirahatkan.

Akal sehat semua orang menerawang dan berkata mana mungkin seorang pasien dengan luka bakar yang parah dan tak mampu bergerak dalam keadaan pingsan bisa hilang tanpa ada yang mendorong dan membawanya keluar ruangan.

Seluruh ruangan diperiksa hingga ke pelataran dan sekeliling rumah sakit namun pasien tak pula dijumpai keberadaannya.

Rasa khawatir pihak rumah sakit dan keluarga pasien bertambah saat azan subuh menggema dari balik teropong tua di sebuah musala memecah kegaduhan dengan rasa cemas yang tak lagi bisa ditutupi oleh beberapa orang yang sedari tadi mencari keberadaan pasien.

Sebut saja Pak Harun seorang lelaki tua yang telah lama mengabdi di rumah sakit sebagai tukang kebun yang rumahnya tak jauh dari tempat beliau bekerja setiap setelah salat subuh sudah datang dengan mengendarai sepeda ontel menyandarkan sepedanya di teras dapur ujung rumah sakit bagian belakang.

Sejurus langkah pak Harun terhenti tepat saat melewati sebuah ruangan yang dipisahkan oleh lorong beratap tanpa dinding dan bertiang beton berlantaikan ubin setelah memalingkan wajahnya ke arah ruangan yang biasa tertutup rapat namun pagi itu sedikit terbuka sehingga nampak jelas sebuah ranjang besi lengkap dengan seprai putih yang semestinya ada di sebuah ruangan rawat inap namun beliau samar melihat dari jarak yang tak seberapa jauh dari keberadaan Pak Harun pagi itu.

Rasa penasaran membuat pak Harun melangkah mendekati ruangan yang bertuliskan KAMAR MAYAT pada kusen pintu ruangan tersebut.

Dan benar ternyata salah satu pasien yang masih menggunakan infus terbaring kaku tanpa selimut dengan kondisi memprihatinkan sekujur tubuhnya mengelupas memerah mengeluarkan cairan laksana keringat.

Dengan sigap Pak Harun segera berlalu dengan langkah sedikit cepat menghampiri ruang jaga perawat yang memang pagi itu tak seperti biasanya karena di luar ruangan orang orang berkerumun dengan raut wajah cemas dan gelisah.

Setelah menceritakan kejadian yang barusan beliau alami, perawat jaga serta keluarga pasien langsung menuju ke ruang kamar mayat untuk memindahkan pasien yang memang belum di vonis meninggal oleh dokter.

Butuh 4 hari pasien dalam penjagaan ekstra ketat dan dibawah pengawasan dokter barulah bisa siuman setelah pingsan dan sedikit bisa menceritakan dengan terbata-bata bahwa dia (pasien) sebenarnya tahu bahwa ada seseorang yang mendorongnya ke ruang kamar mayat dan dia tahu juga bahwa orang orang sibuk dan cemas mencari keberadaannya namun apa daya tanpa bisa berkata hanya memperhatikan dan mengingat kejadian kejadian yang dia alami selama beberapa hari di rumah sakit.

Lalu siapa yang mendorongnya masuk ke ruangan kamar mayat?

Dia sendiri pun tak tahu sebab tanpa kekuatan untuk berkata dan berteriak atau bergerak saat itu.

“Apakah tidak merasakan sakit?” tanya perawat.

“Tidak, setelah saya diberi segelas air jampi dari seorang nenek,” jawabnya singkat.

Seorang Nenek?” tanya perawat dalam hati sambil berlalu meninggalkan ruangan khusus luka bakar pada sebuah rumah sakit yang kini telah berubah menjadi pasar dan terminal namun masih jelas dalam ingatan ruangan dan bangunan bangunan yang dulu pernah ada di wilayah tersebut dengan dibatasi oleh tembok tak kurang dari dua meter tingginya mengelilingi rumah sakit tersebut.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *