Batin Tikal (Bagian 8)

Batin Tikal (Bagian 8)

Oleh: Amiruddin Djakfar

 

Beberapa serdadu Belanda rubuh kena sundangnya, sumpai sebutir pelor melanda perutnya. Merahlah tubuhnya oleh darah. “Menyerahlah….hai perempuan!” teriak serdadu Belanda.

Serdadu-serdadu itu ingin menangkapnya hidup-hidup, srikandi itu menutup lukanya dengan tangan kirinya sambil undur ke tebing sungai….”byar….,” ia terjun ke dalam sungai, diantar oleh tembakan-tembakan bedil dari pinggir. Merahlah aliran air sungai yang dilalui jasadnya dia hanyut ke hilir….hanyut….terus hanyut ke muara, jasadnya hancur, namanya dilupakan, namun dia adalah srikandi utama, pejuang kemerdekaan yang rela mati daripada terjajah namun tak dikenal. Tapi membawa ceritera kepahlawanan yang gilang gemilang. Srikandi ini ahli silat lingkung empat puluh yang sesudahnya Belanda berkuasa dilarang mempelajarinya. Ilmu silat ini lenyap dari pulau Bangka. Tentara Batin Tikal berkejar-kejaran dahulu mendahului supaya lekas datang ke Bangkakota. Mereka sadar anak isterinya sedang mengalami pertempuran entah hidup entahkan mati. Dari jauh mereka melihat asap api berkepul-kepul. Seperti kerasukan setan mereka memasuki Bangkakota terjadilah pula pertempuran yang hebat. Mereka bertempur dengan sangat fanatik sebab mereka lihat kampungnyalah jadi puing, anak isteri mereka tentu sudah habis mati. Batin Tikal mengamuk, seperti padage (ular buas) hilang tangkapan mengamuk, menetak ke sana ke mari. Ia dikepung serdadu Belanda, ditembaki tapi beliau belum juga rubuh. Kulitnya berminyak-minyak, urat-uratnya timbul-timbul, terus mengamuk siapa dekat rubuh kena sundangnya. Beliau berteriak mengobarkan semangat anak buahnya. “Ayo ngehanak sudekkan asuk kumpeni, jangan ditinggal!”

Pahlawan ini tiba dimuka rumahnya. Dilihatnya hanya tinggal reruntuhannya saja dan api masih membara. Di sampingnya tampak rumah Tilim adik kandungnya tidak kurang apapun dan di halaman bendera putih serta bendera Belanda berkibar-kibar dengan megahnya dan di sekitarnya mayat-mayat dan puing-puing rumah bertumpuk-tumpuk. Rasa sedih, marah, kecewa menyelubungi jiwa beliau.

“Ah…alangkah pahitnya untuk ditelan…adik kandung sendiri…belahan diri mengkhianati perjuangan.”

Dengan gemas sambil memegang sundangnya yang berlumuran darah, beliau memasuki rumah adiknya. Di tengah rumah tampak olehnya Tilim masih memakai baju batinnya.

“Tilim, untuk memakai baju itu rupanya maka engkau berkhianat? Engkau jahanam…khianat, bedebah engkau harus segera dilenyapkan…keparat…ayo lekas cari senjatamu supaya segera ku tebas lehermu!”

Ayak, sabar…sabarlah dulu. Jangan selekas itu ayak bicara, ayak sudah terlalu jauh tersesat, apa yang ayak lawan terhadap Belanda? Lihatlah akibat keras kepalamu!”

Tilim membuka tabir, tampak jenazah bersusun-susun terbujur memenuhi ruangan.

Tilim mendekati susunan jenazah-jenazah itu. Tilim membuka tutup muka mayat-mayat itu, tampaklah oleh Batin Tikal wajah istrinya, wajah anak sulungnya, wajah anaknya, wajah anaknya. Tilim terus membuka, tampak wajah iparnya (istri Tilim) jenazah anak Tilim, jenazah kemenakan-kemenakannya. Dalam kemuncak marahnya Batin Tikal menggertak.

“Hai pengkhianat ambil senjatamu!”

“Baiklah…yak!”

Tilim melompat menyangkau senjatanya yang rupanya telah tersedia.

Terjadilah perang tanding yang hebat antara kakak beradik itu. Tetak menetak, tikam menikam sama-sama kuat, sama-sama sakti sementara pertempuran di luar berlangsung terus. Dalam desak mendesak itu Tilim terdesak ke dinding, sundang Batin Tikal pun menghujam dalam-dalam ke dadanya. Dia lemah terkulai kemudian jatuh tersungkur di kaki kakaknya, tangannya merangkul kaki Batin Tikal, pakaian angkatannya telah basah oleh darah. Batin Tikal berlutut, dibalikkannya tubuh adiknya itu dan mulut Tilim komat kamit, dari bibirnya keluarlah darah  bergumpal-gumpal. Ia dipangku Batin Tikal, sayup-sayup dan putus-putus sampai kedengaran suaranya.

Ayak, …am…pu…ni…lah aku…me…mang…ber…do…sa!”

Kepala Tilim tersentak-sentak kemudian tenang untuk selama-lamanya. Di pergi membawa noda dan dosa terhadap keluarga serta tanah airnya. Batin Tikal meletakkan mayat adiknya, suatu rasa yang paling mengharukan menyelinap ke dalam jiwanya. Istri dan semua putra-putranya sudah meninggal. Didekatinya mayat istrinya dibukanya tutup muka istrinya kemudian anaknya, anaknya dan anaknya. Airmatanya jatuh berderai, pahlawan yang keras seperti baja itu kini lemah sudah. Adik pergi, kawan seperjuangan sudah banyak yang gugur, rumahlah jadi puing, Bangkakota lah jadi padang terkuku, beliau sudah sebatang kara.

 

(Bersambung) 

 

Catatan: tulisan ini merupakan karya Amiruddin Djakfar yang ditulis tahun 1966 yang penulis peroleh dari Bujang KN (alm) saat Festival Batin Tikal 2019 di Desa Gudang. 

Penulis sudah mendapat izin dari keluarga almarhum Amiruddin Djakfar untuk mempublikasikan tulisan ini. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *