Sastra  

Akibat Tidak Mau Mendengar Perkataan Akek Antak


Oleh : Kulul Sari

Tempat terjadinya peristiwa ini berada di sungai menduk, saat ini di kecamatan Mendo Barat kabupaten Bangka.

Suatu ketika Akek Antak pergi mandi ke sungai Menduk. Setiba di sungai itu, ia menyempen (menyangkutkan) kain cuken / telesan di pucuk pohon mangris yang tinggi dan cukup besar.

Ketika kain cuken disangkutkan, pohon Manggris itu tidak kuat untuk menahan berat beban kain cuken Akek Antak. sehingga pohon Manggris itu melengkung merunduk, dan ujung pohonnya hampir menyentuh air sungai.

Di saat Akek Antak mandi, dari sebelah hulu sungai muncul seorang nelayan dengan perahunya. Ia menuju ke arah Akek Antak yang sedang mandi, dan segera menambatkan perahunya serta mengikat ke ujung pohon Manggris yang menjuntai ke sungai, yaitu pohon yang digunakan Akek Antak menyangkutkan kain cukennya.

“Mang, perahu e jangan di kebet di ujung kayu itu mang. Kelak ku nek ngambik kain cuken yang di batang kayu itu”, pintar Akek Antak kepada orang yang menambatkan perahunya

” Imang e ngape kek ku dak boleh ngebet tali perahu ku di kayu ni ? “, tanya nelayan itu bertanya kepada Akek Antak.

” Tu di batang kayu tempet ka ngebet perahu itu ade kain cuken ku, kelak ku nek ngambik e”, jelas Akek Antak

“Kan dak hal kek, Akek langsung ambik bae”, ujar nelayan belum memahami maksud Akek Antak

” Kalau kain cuken tu ku ambik, kayu mangris ni akan bediri tegak agik, dan kalau tegak, kayu e ngibes, kelak perahu ka tekibes pacak melayang entah kemane”, jelas Akek Antak dengan mimik yang serius

“Dak kek mungkin cemya kek, masak kayu sebesak ni gara-gara Akek nyempen kain cuken pacak mentot”, bantah nelayan itu tidak percaya

Si nelayan tidak memperdulikan omongan Akek Antak dan segera merapatkan perahunya di darat. Namun sebelum nelayan turun dari perahunya, Akek Antak kembali menyuruh si nelayan untuk melepaskan tambatan tali perahunya dari pohon mangris itu.

“Mang, tolong lepaskan nian ok tali kebet perahu amang tu, dak kawa perahu amang tepelanting tekibes kayu ni mang”, tegas Akek Antak

Si nelayan sesaat memandang Akek Antak dengan pandangan kurang bersahabat. Bahkan ia tidak memperdulikan permintaan Akek Antak tersebut,

” Ape maksud Akek ngelarang ku ngebet tali perahu ku disitu, dak seneng padahal dak seneng, ku dak peduli terserah Akek. Ku dak kan ngelepas tali kebet perahu ku di situ kek”, tegas nelayan itu.

Mendengar kata-kata yang kurang bersahabat itu, Akek Antak tidak lantas marah. Bahkan Akek Antak meminta sekali lagi agar nelayan itu melepaskan ikatannya, atau ia akan menyesal,

“Mang, Akek mohon nian amang ngelepas kebet tali perahu ka, kalau dak Akek dak bertanggung jawab kalau perahu ka telempar kemane”, pinta Akek Antak

Walau sudah meminta dengan segala kerendahan hati, Tapi keputusan si nelayan sepertinya sudah tidak bisa di tawar lagi. Ia sedikitpun tidak bergeming untuk tetap menambatkan perahunya di ujung pohon mangris.

” Kek, terserah Akek nek nyuruh ku ngelepas kebet tali perahu ku, tapi ku dak akan melepaskan kebet e. Kalau Akek Antak ngancam, terserah Akek lah, ku dak akan menyesal, inget kek ok, terserah Akek, ku dak akan menyesal”, tegas si nelayan

Sejenak Akek Antak terdiam mendengar kalimat yang keluar dari mulut si nelayan. Ia berusaha menenangkan diri agar tidak terlepas bicara yang kurang pantas diutarakan.

Setelah beberapa saat, Akek Antak kembali memberitahu si nelayan,

” Mang, kalau amang dak nek ngelepas kebet tali perahu amang, amang jangan nyalahkan Akek ok. Yo lepas lah Mang”, pinta Akek Antak sembari bergerak mendekati pohon mangris.

“Terserah Akek lah, pukok e ku dak ngelepas e.”, kata si nelayan

” Aoklah pon Mang. Amang liat lah ape yang terjadi. Jangan salahkan ku Mang ok, yang jelas ku lah minta amang ngelepas kebet perahu amang”, kata Akek Akek sembari mengambil kain cuken nya.

Ketika Akek Antak menarik kain cuken dari pohon mangris, Tiba-tiba pohon itu tegak kembali. Namun daya dorong yang ditimbulkannya memberi energi yang cukup kuat, sehingga perahu si nelayan yang terikat di ujung pohon terangkat begitu kuat, dan perahu itu terlempar ke udara.

Si nelayan yang belum beranjak jauh dari tepi sungai ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Matanya terbelalak seakan-akan tidak mempercayai apa yang disaksikan. Namun semua nyata di depan matanya.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba si nelayan merasa lemas. Hampir saja ia pingsan menyaksikan peristiwa yang dihadapinya.

Setelah Akek Antak mengambil kain cuken dan mengenakannya, dengan santai dan tanpa memperdulikan si nelayan, Akek Antak berlalu dari tempat itu.

Konon kisahnya perahu si nelayan yang terlempar itu jatuh di wilayah mentok dan menjadi salah satu bukit, ( Allahu ‘a’lam bissawwab)

Catatan :
*Kain cuken adalah kain yang digunakan untuk menutupi tubuh saat mandi yang berpungsi juga sebagai pengganti handuk. Kala itu belum ada handuk seperti saat ini

*Dari beberapa sumber kisah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *