Batin Tikal (Bagian 3)

Oleh: Amiruddin Djakfar

Beliau hanya memusatkan perhatian, tenaga dan pikiran dalam meneruskan perjuangan dan cita-cita panglima besarnya, Depati Amir. Pertahanan beliau bagi dua bagian, pertahanan laut dengan membuat fron pertahanan dekat kuala sungai Bangkakota dan pertahanan darat membuat pos penjagaan di perbatasan Payung – Bangkakota. Komandan pos ini dipertukarkan sebulan sekali, salah seorang komandan pos ini ialah Tilim, adik kandung beliau. Di sekeliling pos-pos ini digali lobang-lobang yang ditanami dengan bambu-bambu runcing kalau musuh terperosok kedalamnya, ia akan disambut oleh tusukan bambu yang mengerikan.

Pagi telah menjelma kembali menyusuri setiap insan dan segala makhluk yang hidup, laksana suatu pawai maha besar menuju ke arah satu titik tumpuan abadi, meninggalkan dunia fana ini memulai hari baru dalam dunia lain yang gaib tetapi pasti ada. Dan itulah pohon-pohon beringin tegak megah dengan kerimbunan daun-daunnya tumbuh berbaris laksana memagari markas tentara Belanda di Pangkal Selan. Berkicauan burung di atasnya, burung pergam, punai, tiung dan aneka burung riang gembira memakan buah pohon beringin itu. Beringin dan unggas-unggas itu tidak akan mengetahui bahwa di bawah mereka ada tiga manusia sedang berunding mengatur tipu muslihat untuk menjajah bumi tempat mereka hidup subur. Di sinilah dalam sebuah ruangan kecil di markas tentara Belanda, tampak Kapten Becking, Letnan Dieman dan Gegading Pangkal Selan sedang berunding.

“Apakah gegading mengetahui sebabnya maka gegading kami undang kemari?” kata Becking memulai perundingan.

“Tidak mengetahui, tuan besar, apakah kiranya maka hamba dipanggil kemari?”

“Gegading, kami mendapat penghormatan dapat mengundang Gegading ke sini atas nama Seri Baginda Raja Belanda di Nederland, agar ikut bersama kami mengatur siasat untuk mengalahkan musuh kita, Batin Tikal. Gegading sudah bersumpah atas nama Tuhan, tetap setia kepada Koningin der Nederlanden sewaktu menerima jabatan serta dilantik menjabat Gegading dulu, bukan?”

“Hamba tuan besar.”

“Apakah yang terlukis dikancing tembaga pada tiap-tiap lubang kancing baju ini?”

Becking menunjukkan kancing baju seragamnya.

“Itu lukisan mahkota Seri Baginda di Nederland tuan besar!”

“Bagus…bagus kalau gegading sudah paham. Tulisan di bawahnya ini dikaki singa…je maintiendraijak…kita pertahankan kira-kira artinya.”

“Gegading sudah dapat surat yang ada cap mahkota Kerajaan Belanda, tiap-tiap orang yang sudah mempunyai tanda itu, haruslah pula mempertahankan dan bersedia untuk sehidup semati demi mahkota Koningin der Nederland.”

“Hamba siap sedia tuan besar, siap sedia menurut kesanggupan hamba.”

“Bagus…bagus…gegading!”

Becking menepuk-nepuk pundak gegading itu.

“Gegading sudah maklum bahwa musuh kita Batin Tikal harus ditumpaskan sebab dia pengacau menyengsarakan rakyat. Sudah dua kali dia kita gempur tetapi dia kali pula kita gagal. Kegagalan ini bukan karena kita takut dengan Batin Tikal hanya kita belum mengetahui bagaimana letak kelemahan-kelemahan pertahanan pengacau itu. Jadi kami sangat mengharapkan usaha gegading jika kita berhasil Gegading kita lantik sebagai Batin Pangkal Selan dan daerah takluknya, ditambah pakaian angkatan beluderu merah yang pada lengannya dihiasi benang mas kuning berlingkar-lingkar, pada leher dan dada benang mas pula kuning melingkar-lingkar. Tidak hanya begitu gegading ditambah pula dengan sado dengan dua ekor kudanya untuk gegading turun ke desa-desa.”

Gegading itu tersipu-sipu, lubang hidungnya kembang kempis penuh harapan tetapi Kapten Becking serta Letnan Dieman pura-pura tak tahu saja.

“Terima kasih atas kepercayaan tuan besar kepada hamba, selekas mungkin akan hamba usahakan. Hamba punya seorang kemenakan yang hamba percayai akan hamba suruh dia ke Bangkakota untuk menjalankan siasat mencari orang yang ingin bekerja sama dengan pemerintah kerajaan, yang bisa diupah untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan Batin Tikal.”

“Ya…bagus…bagus gegading, itulah siasat yang paling jitu. Usahakanlah selekas-lekasnya, Gegading, makin lekas makin baik. Mari kita minum untuk keselamatan raja dan kita semua. Angkat gelas, gegading, acungkan, temukan dengan gelas saya dan gelas tuan Letnan. Ya bagus!”

Dengan kaku gegading mempertemukan gelasnya dengan kedua gelas Belanda itu.

“Tuan besar, saya ingin lekas pulang supaya rencana kita ini lekas dilaksanakan.”

“Boleh…boleh, gegading, tunggu sebentar!”

Tuan Becking membuka laci meja mengeluarkan seuncang penuh berisi uang.

“Bawalah uang ini, gegading. Gunakan untuk ongkos pesuruh kita itu ke Bangkakota!”

“Terima kasih tuan besar, terima kasih banyak.”

Gegading menerima uang itu dengan terbungkuk-bungkuk sambil memasukkan uang itu ke dalam saku teluk belanganya.

(Bersambung) 

 

Catatan: tulisan ini merupakan karya Amiruddin Djakfar yang ditulis tahun 1966 yang penulis peroleh dari Bujang KN (alm) saat Festival Batin Tikal 2019 di Desa Gudang. 

 

Penulis sudah mendapat izin dari keluarga almarhum Amiruddin Djakfar untuk mempublikasikan tulisan ini. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *