Oleh: Amiruddin Djakfar
Dia diantarkan oleh Kapten Becking dan Letnan Dieman hingga ke halaman tangsi, setelah gegading itu jauh kedua perwira Belanda itu berpandang-pandangan penuh arti.
“Jang…coba panggil Ibat suruh kesini!” teriak Gegading kepada anaknya setiba di rumah sambil membuka bajunya dan menyangkutkannya di tali perempai dalam rumah.
“Aok, Mo (singkatan Amo=ayah),” jawab anaknya sambil lari.
Gegading duduk di tikar, uncang uang dibukanya dan menghitung.
“Hemmm…40 Ringgit,” ia mendengus sendirian. Istrinya terkejut lalu menjenguk keluar. Dilihatnya tumpukan uang ringgit, rupiah, talenan di hadapan suaminya.
“Wiw…banyaknya duit, kak!” jeritnya.
“La…russ…russak…”
Gegading terperanjat, mulutnya latah, tangannya menutupi uang itu.
“Dari mana kakak dapat duit sebanyak itu?”
“Hisss…diam-diamlah kau, Cit!” desis Gegading.
“Ini rahasia, Cit, kalau tidak jadi bini Batin, ku harap kau diam-diam menutup mulut!” sambil Gegading meraup uang itu dan memasukkannya kembali ke dalam uncangnya. Dia berdiri menarik tangan istrinya ke dalam kamar.
“Dengarlah Cit, tadi aku dipanggil tuan besar ke tangsi aku diajak beliau berdagang, kalau untung aku diangkat jadi Batin, engkau tahu Cit? Pernahkah kau lihat Batin Pering, Batin Air Rangat jika mereka ke Pangkal Selan ini? Pakai sado, kan? Dan bajunya angkatannya hebat benar, Cit. Sebab itu sekali lagi ku minta padamu diam-diamlah jika kau ndak jadi istinya Batin dan naik sado kesana sini.”
“Aku akan diam-diam kak,” janji istrinya tersenyum puas.
“Mengapa Anjang (paman) memanggil aku?” tanya Ibat.
“Duduklah dulu Ibat kita berunding!”
Ibat duduk bersila di tikar dan Gegading duduk di hadapannya.
“Apa pekerjaanmu yang tetap sekarang ini, Bat?”
“Macam-macam saja, Njang, tidak ada kerjaku yang tetap dan tertentu. Kadang-kadang berjualan ikan, sebentar lagi ngulak tembakau.”
“Bagaimana hasilnya?”
“Jauh dari cukup, Njang, hanya sekadar membantu orang tua saja.”
“Ibat, kita ingin hidup senang, bukan?”
“Auk Njang.”
“Sekarang aku punya rencana yang baik sekali, jika berhasil kita akan dapat hidup senang tak usah kau jadi tengkulak lagi. Ku lihat dari dulu-dulunya engkau sering ke Bangkakota sebelum terjadi perang dengan Batin Tikal. Rencanaku begini, Ibat, engkau pergi ke Bangkakota, di sana engkau bertugas untuk mencari siapa yang suka bekerja sama dengan Belanda guna mengalahkan Batin Tikal. Tugas ini berat dan membahayakan jiwamu jika engkau kurang berhati-hati. Tetapi jika engkau berhasil kita pasti senang, Ibat karena tuan besar telah menjanjikan pangkat Batin padaku dan untukmu jika aku Batin Pangkal Selan, ini pangkat kerani satu di kantor ku hadiahkan padamu. Kita akan selalu memeriksa daerah takluk kita, Ibat, pakai sado yang dihela dua ekor kuda. Bagaimana rasanya sanggupkah engkau?”
“Aku sanggup mengerjakan tugas itu, tapi ku minta kawan seorang lagi yaitu, Abu. Kami menyamar seperti tengkulak tembakau.”
“Dapatkah Abu dipercayai?”
“Ku rasa dapat, Njang. Siang malam kami bergaul terus ke hilir kemudik.”
“Kalau begitu ajaklah, Abu. Tunggu dulu sebentar!”
Gegading masuk ke dalam kamar, agak lama Ibat menunggu.
“Nah…ini duit untuk ongkosmu berdua, rasaku lima ringgit ini cukuplah untuk bekalmu berdua selama sebulan.”
Dua orang laki-laki tampak berjalan seiring di tengah jalan yang lengang diapit oleh rimba belantara yang lebat. Mereka berjalan terbungkuk-bungkuk mendaki bukit. Kayu-kayuan rimba yang sebenar goni, tinggi-tinggi lampai serta dahan-dahan dan cabang-cabangnya menaungi jalan itu, menyebabkan kedua laki-laki itu merasa kesunyian yang menyeramkan bulu roma.
Suara burung yang beraneka ragam, suara kedudung berburu, pekik lutung, beruk dan kera, desau angin melanda rimba itu menambah rasa seram. Mereka telah melewati pendakian yang terjal di bukit itu dan sekarang menurun lagi. Mereka terpaksa berpegang pada kayu-kayu dan kepek (sebangsa tas terbuat dari pelepah rumbia dijalin halus-halus) tempat barang-barang yang disandang, kini dipikul ke pundak sampai akhirnya tiba di tanah yang datar, barulah seorang dari mereka membuka mulut.
“Aduh tinggi sekali bukit ini, Abu!”
“Baiklah kita istirahat di sungai ini!”
Kedua laki-laki itu yang tak lain dari Ibat dan Abu meletakkan kepeknya di tanah.
“Kita makan di sini, Abu, enak makan di jembatan ini. Lihatlah matahari sudah tegak betul!”
(Bersambung)
Catatan: tulisan ini merupakan karya Amiruddin Djakfar yang ditulis tahun 1966 yang penulis peroleh dari Bujang KN (alm) saat Festival Batin Tikal 2019 di Desa Gudang.
Penulis sudah mendapat izin dari keluarga almarhum Amiruddin Djakfar untuk mempublikasikan tulisan ini.