Batin Tikal (Bagian 5)

Batin Tikal (Bagian 5)

Oleh: Amiruddin Djakfar

 

Keduanya lalu mengambil bekal lalu duduk makan di atas jembatan yang dibangun dengan lima batang kayu sebesar-besar pokok nyiur. Sesudah makan mereka mandi, dan duduk-duduk lagi di tepi sungai itu.

“Sudah lima hari dengan hari ini kita berjalan, Ibat!” sela Abu sambil mengembuskan asap rokoknya.

“Apakah akan berhasil usaha kita ini? Badanku terasa letih sekali.”

“Semoga berhasil, Bu. Perkara letih jangan dipikirkan dulu, kita harus letih-letih dulu baru senang-senang. Ingatlah, Bu, pangkat kerani dua untukmu telah menunggu jika usaha kita berhasil. Mari kita berangkat lagi!”

Kedua mata-mata itu mengangkat kepeknya meneruskan perjalanannya. Hari telah rembang petang dan mereka semakin berhati-hati sebab sudah masuk ke garis pertahanan Bangkakota.

“Hei…siapa? Ayo berhenti di situ!”

Suara bentakan bercampur ancaman menerbangkan semangat Ibat dan Abu. Dua orang bersenjata bedil, tombak, dan sundang (pedang panjang) tiba-tiba keluar dari balik sepohon kayu besar, lalu mengacungkan senjatanya ke perut Ibat dan Abu.

Ngehanak (saudara) lepaskan kepekmu dan duduklah di tanah!” perintah orang yang bersenjata itu. Ibat dan Abu menurut dengan patuh.

“Kami pasukan Batin Tikal dan kami harus memeriksa ngehanak, tiap-tiap orang yang ingin ke Bangkakota kami geledah dulu.”

Kedua prajurit itu memeriksa seluruh kepek, badan Ibat dan Abu tak luput pula. Didapatinya hanya tembakau bersusun-susun dan pakaian.

Ngehanak dari mana?”

“Kami dari Pangkal Selan.”

“Tujuannya ke mana?”

“Hendak ke Bangkakota ngulak tembakau.”

“Hati-hati menjawab ngehanak, sebab jika dusta nyawamu akan hilang. Siapa nama ngehanak?”

“Saya Ibat dan ini Abu.”

“Kalau dari Pangkal Selan kenapa tidak jalan perahu?”

“Kami tidak punya perahu.”

“Baiklah jika begitu, tetapi karena ngehanak berdua ini dari daerah Belanda kami terpaksa menahan ngehanak. Sebelum mendapat izin dari tuanku Tilim kepala penjaga di sini, tidak boleh ngehanak terus ke Bangkakota!”

Abu dan Ibat digiring ke rumah pos penjagaan tempat Tilim tinggal selaku komandan. Gubuk ini beratap kulit kayu binot tersembunyi dalam semak-semak yang kelindungan.

“Siapa itu?” Tegur Tilim tatkala ia melihat anak buahnya membawa Ibat dan Abu.

“Keduanya dari Pangkal Selan, tuanku.”

“Sudah digeledah?”

“Sudah tuanku.”

“Apa kata mereka?”

“Dia tengkulak tembakau.”

“Baiklah, masukkan ke dalam kandang, besok pagi ku periksa dan beri nasi untuk mereka!”

Ibat dan Abu dimasukkan ke dalam kandang yang sengaja dibuat untuk tawanan. Kandang yang kokoh dari kayu-kayu besar ditanam ke tanah, dalam-dalam.

Keesokan harinya matahari sudah agak tinggi tatkala kedua tawanan itu dihadapkan ke muka Tilim. Ibat dan Abu duduk dengan takzim dimuka komandan perbatasan itu.

“Menurut laporan, kamu berdua ini bernama Ibat dan Abu, bukan?”

“Ya tuan, saya Ibat dan ini Abu.”

“Apakah betul kamu berdua ini tengkulak tembakau? Jawab sebenarnya jangan berbohong!”

“Betul tuan, kami tengkulak tembakau dari Pangkal Selan.”

“Coba buka kepekmu itu!”

Ibat dan Abu membuka kepeknya lalu menguraskan isinya. Tembakau bersusun-susun mereka keluarkan, demikian pula pakaian mereka dikeluarkan pula. Ketika itu tersingkaplah alas kepek Ibat, maka tampaklah uang bersusun-susun.

“Ee…apa itu? Uang?”

“Uang…ya tuan untuk bekal di jalan.”

“Kamu bohong, tengkulak biasa tak mungkin menyimpan uang sebanyak ini!”

“Betul tuan, di daerah pendudukan selalu mudah mencari uang. Pakaian-pakaian mudah dibeli.”

“He kamu mata-mata Belanda, memuji daerah pendudukan.”

“Pang…”

Tinju Tilim bersarang di dagu Ibat dan Abu hingga keduanya tertelentang.

“Hayo mengaku atau tidak?”

“Kami bukan mata-mata tuan, hanya…”

“Hanya apa?” Tinju komandan perbatasan itu bersarang lagi di mulut Ibat dan Abu.

“Hanya apa? Kalau ku hadapkan kamu ke depan Batin Tikal nyawamu takkan sampai sehari lagi, lebih baik mengaku saja, terus terang!”

“Ampun tuan…kami akan mengaku dan berterus terang saja, tapi ku harap tuan jangan memukul dulu sampai ceritera kami habis!”

“Baiklah, tapi jangan coba-coba berbohong!”

“Sebenarnya kami ini bukan mata-mata hanya utusan dari Gegading Pangkal Selan atas nama pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda ingin berdamai karena tidak ada gunanya berperang, rakyat sengsara nyawa melayang sia-sia. Jika di sini sudah berdamai, pemerintah Belanda akan menyusun dan mengatur daerah ini dengan mengangkat Batin yang baru. Menurut Belanda, daerah ini takkan lama lagi dapat bertahan, sebab cuma daerah Bangkakota saja lagi yang berontak di seluruh Bangka ini.”

“Hem…bagus janjimu itu, he…tapi mana tanda yang kamu bawa jika betul Belanda ingin berdamai?”

“Tanda-tanda itu sukar dibawa, tuan, kami hanya bertugas mencari calon Batin yang akan mengepalai daerah ini.”

Tilim termenung bagaikan ada yang dipikirkannya.

“Ya…simpanlah barang-barangmu ini, Ibat!”

“Kalau prajurit-prajurit tuan ingin menghisap tembakau itu suruh ambil saja, tuan!”

 

(Bersambung) 

 

Catatan: tulisan ini merupakan karya Amiruddin Djakfar yang ditulis tahun 1966 yang penulis peroleh dari Bujang KN (alm) saat Festival Batin Tikal 2019 di Desa Gudang. 

Penulis sudah mendapat izin dari keluarga almarhum Amiruddin Djakfar untuk mempublikasikan tulisan ini. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *