Sastra  

Beraksi Di “Berkelana 1” (Bag : 1)

Aswandi As'an

Oleh : Aswandi As’an

Dulunya, sebelum bangunan itu berdiri tempat itu adalah kebun karet. Letaknya tepat di pojokan sebelah timur pertigaan arah ke Kampung Kota Kapur. Oleh pemiliknya, kebun karet itu ditebang diganti dengan bangunan papan tanpa atap berbentuk persegi empat ukuran 20 x 15 meter. Di dalamnya ada deretan bangku kayu panjang sebanyak 30 baris. Di belakang deretan bangku itu ada meja tinggi yang diberi atap di atasnya. Di bagian depannya ada dua tiang terpasang di masing-masing sudut. Warga kampung menyebut bangunan itu dengan “Panggong” karena iidentik dengan tempat pertunjukan. Sejarahnya dulu, ketika film masuk ke kampung itu, sering disebut sebagai pertunjukan sehingga spontan warga kampung menyebut tempat pertunjukan itu dengan Panggong.

Panggong itu kini diikelilingi oleh ilalang dan belukar. Hanya di depan pintu masuknya saja yang agak bersih karena sering dilewati dan disiangi jika akan ada pemutaran film. Waktu pemutaran film tidak menentu, kadang seminggu kadang dua minggu sekali. Kalau ada film yang akan main, seminggu sebelumnya, poster kain dengan lukisan cat minyak selebar 3 x 5 m sudah terpasang di depan Panggong itu. Penontonnya tidak hanya warga kampung tetapi juga datang dari kampung tetangga. Sekali masuk harga tiketnya Rp. 125. Harga yang cukup mahal untuk anak-anak apalagi yang tak pernah dapat uang jajan dari orang tuanya. Namun hampir separo penontonnya adalah anak-anak. Dan lebih dari separo anak-anak itu nonton gratis. Caranya mereka membuat “pintu” masuk sendiri dengan menjebol dinding papan atau membuat lobang dengan menggali tanah di bawah dinding.

Dua hari lalu poster “Rhoma Irama Berkelana” dengan gambar Rhoma Irama dan Yati Octavia telah terpasang di depan Panggong itu. Berarti lima hari lagi filmnya akan segera main. Film Rhoma Irama adalah film yang paling digemari dan sudah ditunggu oleh warga. Seperti film-film Rhoma sebelumnya, semisal “Penasaran”, “Darah Muda”, dan “Gitar Tua” tidak hanya ditonton oleh warga kampung tetapi juga oleh warga dari kampung-kampung tetangga. Anak-anak yang biasa nonton gratis pun sudah siap-siap menyiapkan “pintu” masuk. Masing-masing kelompok punya pintu sendiri. Sehingga lobang-lobang galian di bawah dinding Panggong itu mirip lobang Trenggiling di dinding bukit mencari semut.

“Jangan sekarang menggalinya, nanti saja sehari sebelum pertunjukan,” Wan mengusulkan pada ketiga temannya yang mau segera membuat lobang masuk.
“Kenapa tidak sekarang? Nanti kita tidak kebagian tempat,” kata Didi khawatir.
“Kalau dibuat sekarang percuma, ketahuan akan ditimbun lagi oleh Mang Dulamid,” Wan beralasan.
“Iya juga, ya,” Tanodi membenarkan.
“Terus bagaimana? Kapan kita akan gali,” Romli minta kepastian.
“Filmnya malam minggu. Jum’at sore kita ke sana liat keadaan.” Wan memberi kepastian yang disetujui teman-temannya dengan anggukan. (Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *