Karya : Rusmin Sopian
Suara azan subuh terdengar sangat merdu, merelegiuskan jaga raya, menerobos masuk ke dalam telinga orang-orang yang masih terlelap dalam mimpi. Suara azan subuh yang merdu lewat pengeras suara Masjid mengetuk gendang telinga Matgagah dengan keras.
Lelaki tua itu terbangun dan Langsung menyegerahkan diri mendatangi masjid Kampung dengan langkah kaki yang tergopoh-gopoh, seolah takut tertinggal. Melihat kehadiran Matgagah di masjid, membuat para jemaah Masjid terperangah. Namun sejuta kebahagian terselip dalam jiwa mereka.
“Alhamdulillah. Subuh yang indah ini, kita kedatangan jemaah istimewa. Sebuah hidayah dari Allah buat masjid kita,” sapa Pak Imam masjid saat melihat Matgagah tergopoh-gopoh masuk masjid.
Pertemuan secara tak terduga dengan seorang lelaki setengah baya, seumuran dengannya di warung kopi di ujung Kampung membuat Matgagah berubah seribu derajat. Pertemuan tiba-tiba itu telah mengecutkan jiwa raganya. Bagaimana tidak takut, ketika lelaki itu menyebutnya sebagai orang yang akan masuk neraka.
“Bapak akan masuk neraka,” sebut lelaki setengah baya itu sembari tangannya menunjuk ke arah Matgagah. Tentu saja sebutan itu membuat lelaki yang terkenal di kampung itu terkaget-kaget. Kopi yang baru masuk masuk kerongkongannya hampir tersembur keluar.
“Bapak belum tahu siapa Matgagah ini?,” terang seorang pengunjung warung kopi
“Saya sangat tahu siapa lelaki itu, lelaki yang akan masuk neraka,” ulang lelaki setengah baya itu dengan nada suara tenang.
Ucapan lelaki setengah baya itu tentu saja membuat suasana hening melanda sekujur tubuh para pengunjung warung kopi. Mereka semua membisu, tak ada yang menjawab dan memenggal ucapannya. Tak ada pembelaan untuk Matgagah, warga kampung yang terkenal sangat garang dan beringas.
Tak ada pengunjung warung kopi yang membantah ucapan lelaki setengah baya itu yang menelanjangi Matgagah dengan narasinya yang sangat kejam.
“Sudah Mat, Tidak usah diambil hati omongan Bapak tua tadi,” kata seorang warga.
“Benar sekali, memangnya dia Tuhan yang bisa memutuskan seseorang masuk neraka atau surga,” sambung warga yang lain.
“Siapapun dia, apakah dia terkategori manusia sakti sekalipun, dia tak berhak untuk memvonis seorang manusia masuk surga atau neraka,” celetuk seorang warga yang lain.
Semenjak di vonis sebagai orang yang akan masuk neraka, kegelisahan melanda sekujur tubuh Matgagah. lelaki yang paling ditakuti warga kampung itu, kini menjadi layu bak bunga yang tak disiram air. Tak ada lagi kegagahan dalam jiwanya, tak ada lagi. Hanya ketakutan yang melanda sekujur tubuh gagahnya.
Usai sholat subuh berjemaah, Matgagah melangkahkan kakinya ke sebuah rumah di ujung Kampung. Sebuah rumah yang halaman belakangnya bertengger sebuah pohon manggis yang besar dan tinggi dengan desah dedaunannya yang kerap memainkan lagu bak sebuah simponi.
Di bawah pohon manggis itulah Matgagah dulu mendapat kehangatan sebagai seorang manusia, terhargai dan dihargai oleh orang-orang yang berada di sana.
Ya, mereka, sekelompok warga kampung yang menghabiskan waktunya dengan minum minuman keras, main kartu hingga mencuri hewan ternak milik warga. Mereka yang diberi stempel para warga kampung sebagai biang keladi keonaran di kampung. Mereka yang selalu mendapat sumpah serapah dari warga kampung karena sering menyusah warga kampung dan membuat kegelisahan di hati warga kampung dengan aksi liarnya.
“Assalamualikum, kawan-kawan semua,” sapa Matgagah kepada teman-temannya yang masih asyik bermain kartu.
“Waalaikumsalam, tumben Mat. Kamu pagi-pagi sekali ke markas,” jawab seorang temannya.
“Kamu habis dari masjid,ya?,” tanya seorang teman yang lain.
“Iya.Dari masjid aku langsung kesini,” kata Matgagah.
“Aku cuma ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian semua, bahwa mulai hari ini, aku bukan bagian dari kelompok ini lagi. Aku mundur sebagai bagian dari kegiatan kotor dan berdosa ini,” ujar Matgagah.
Tentu saja penyataan Matgagah disambut dengan rasa terkejut dari para teman-temannya. Selama ini mereka mengandalkan Matgagah sebagai pemimpinan meskipun tak resmi. selama ini mereka mengandalkan keberanian Matgagah dalam melakukan operasi nakal dan liar mereka.
Kalau Matgagah tak ada lagi, maka tak ada yang bisa memimpin kelompok ini. Teman-teman yang lain hanya pengikut.
“Kamu serius, Mat?,” tanya seorang temannya dengan nada suara setengah tak percaya.
“Serius sekali kawan. Di sisa usia ku yang makin menipis ini, aku ingin mencari surga. Aku ingin menjadi penghuni surga,” ucap Matgagah.
Cahaya matahari mulai menerangi alam raya. Sinar terangnya mengiringi langkah kaki Matgagah menuju rumahnya sebagai manusia baru. Ya, sebagai manusia baru dengan catatan kehidupan yang baru pula. Lelaki yang berniat mencari surga, ingin menjadi penghuni surga.