Sastra  

Cerpen : Rusak

Sumber : KASKUS

Karya : Risya Novelin (Siswa SMA N 1 Payung)

Guk..gukk..

Gonggongan anjing ricuh terdengar sumbang di telinga. Malam gelap yang menujukan hampir tengah malam bagai latar harmoni anjing-anjing yang ricuh. Kilatan dari langit dengan malu-malu mengintip beberapa kali. Mendung tak dapat terlihat oleh langit kelam malam. Ratapan sendu seolah-olah meminta hadirnya puluhan tetesan air jatuh ke bumi. Sunyi, sepi, sedih, hampa, dan gila menjadi campur dalam lebur rasa. Sosok laki-laki baru saja datang dengan kunci sepeda motor di tangannya.

“Hey, tak ikut temanmu di sana kah? Apakah kau tertinggal kawananmu? Hahaha” nyaring tawa memekakkan indra pendengar. Nanar  remeh, serta cemoohan di layangkan tanpa beban. Gelengan kencang menjadi jawaban dari tanya yang menyedihkan.

“Dasar, apa kau sedih sekarang? Utututu..” olok tak ada habisnya di layangkan pada sosok di depannya.

“Menyedihkan sekali dirimu ini, bukankah pembunuh sepertimu pantas mendapatkan ini, aku benar-benar puas dengan yang kau alami.”

“Aku bukan pembunuh!” belaan ia layangkan, lelah mendengar tuduh yang terus menikam perasaannya.

Mengapa harus menuduhnya, bahkan ia saja tak tahu apa yang dilakukannya pada sang ibu. Ia tak melihat sang ibu dari ia lahir, ayahnya tak pernah membahas sang ibu. Beliau memilih untuk memerankan peran ibu untuknya dan menyayanginya lebih dari cukup. Mengapa orang di hadapannya sekarang ini malah mengintimidasinya dengan tuduhan yang ia tidak tahu alasannya.

“Benarkah? Lantas kau sembunyikan dimana ibuku?!” darahnya seakan mendidih saat lawan bicaranya menaikkan suara. Amarah dalam dirinya seakan ingin meledak. Geram rasanya saat melihat keluguan yang memuakan dari orang di depannya ini. Entah h apa isi otaknya tapi ia sungguh membenci sosok ini.

“Bukan aku, tanya saja pada tuhan, jangan tanya aku!” lantang dalam jawabnya. Tak ingin disalahkan semata-mata oleh orang di hadapannya. Ia tak terima jika harus di tuduh menjadi tersangka menghilangnya sang ibu di keluarga mereka.

“Orang gila sepertimu mana bisa dipercaya, kau yang salah, kenapa menyalahkan Tuhan?” nada remeh terdengar dari caranya berbicara.

“Aku tidak menyalakan Tuhan, hanya saja memang Tuhan yang mengambil ibu.”

“Apa katamu, berani kau mengatakan itu dengan mulut berdosa mu, di saat alasan yang sebenarnya adalah dirimu!” emosinya tersulut, jantungnya bedegup kencang. Tangannya terkepal erat, jika tak ia tahan maka akan melayang di hadapan lawan bicaranya.

Tak ada habisnya rasa benci dalam diri saat ia melihat rupa seonggok rongsokan dalam keluarganya itu. Emosinya selalu tersulut, rasanya ingin ia cabik-cabik seluruh tubuhnya. Ia tahu, sangat jelas malah alasan yang sebenarnya. Tapi yang tertera dalam pikirannya hanya menyalahkan rongsokan itu sebagai pelaku. Pelaku sebenarnya adalah sang ibu, pelaku dimana adiknya rusak, serusak-rusaknya. Adiknya hancur, dari mental, fisik, psikis, dan juga hatinya. Adiknya di rusak oleh sanga ibu yang memaksa mempertahankan adiknya di tengah mentalnya yang hancur. Dia benci ibu nya, namun melampiaskan pada sang adik. Ia tahu dia salah, tapi entahlah. Sulit baginya menghilangkan perasaan itu.

Masuklah ia ke dalam kamarnya, meninggalkan adiknya sendiri di teras. Membanting pintu, mendengar gumaman sanga adik dari jendala yang terbuka tepat di depan teras.

“Kenapa aku alasannya? Apa salahku? Kenapa wanita itu mati dan menjadikanku sasaran bagi orang-orang yang menyayanginya? Ia meninggalkanku tanpa memberi kasih sayang dari orang lain untukku, dasar pelit.”

Hhh..” ia sedikit tertawa mendengar ocehan itu, lucu rasanya saat adiknya mencemooh saat ia kesal dan tak dapat ia salurkan dengan orangnya langsung. Nafasnya tercekat saat mendengar teriakan setelah ocehan adiknya, tergesa ia menuju teras melihat keadaan sang adik.

Tertegun, badanya terasa kaku saat melihat adiknya terduduk dengan luka sayatan pada nadi, dan darah yang mengalir ke mana-mana. Jiwanya terguncang, hatinya sakit, rasa sesal menyesakkan dadanya. Mati sudah ke rusakan yang ibu buat. Mati sudah sayangnya yang selalu di selimuti amarah. Mati sudah bungsu ayah yang ayah cintai.

“Mengapa kau hilang, mengapa kau pergi, sialan!” umpatan ia katakan pada seonggok mayat di hadapannya. “Dasar pembunuh sialan, siapa yang berani melakukan ini padamu?!”

Sedarnya teralih pada carter pada tangan adiknya. “Hh, bodoh, pembunuh bodoh!” umpatan demi umpatan ia layangkan.

“Adikku, mengapa pergi, hum?”  lirihnya dalam sedih.

Tak ada jawaban, sampai dimana kerumunan orang mengelilinginya, dan membawa keduanya menuju rumah sakit. Pemakaman dilangsungkan, dihadiri banyak kerabat dan tetangga, juga ia. Setelah pemakaman maka, tibalah ia di rumah barunya, yang akan menjadi tempatnya mati dengan keadaan sama rusaknya dengan sang adik.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *