Sastra  

Cerpen : Sisa Penyesalan (1)

Ilustrasi (Sumber : Liputan6.com)

Karya : Azza Auliya. Q (Siswi SMPN 2 Toboali )

“Kenapa?” tanya Jihan dengan suara kelu. Jihan dibangunkan di tengah malam oleh orang tuanya hanya untuk mendengar kabar bahwa kedua orang tuanya memutuskan akan berpisah. Ia pikir ia akan mendapatkan kejutan dari mereka karena memang hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu sejak tujuh belas tahun lamanya. Ya, ini adalah ulang tahunnya yang ke tujuh belas.

“Maafkan Ibu, Nak. Ibu sudah tidak tahan dengan sikap ayahmu yang semena-mena terhadap Ibu Nak” ujar wanita paruh baya yang merupakan ibu Jihan.

“Kenapa menyalahkan aku? Ini semua karena kamu. Tidak pernah becus dalam mengurus rumah dan satu orang anak!” bentak ayah Jihan pada ibunya.

“Jaga omonganmu! Kau tidak pernah tahu rasanya menjadi seorang ibu rumah tangga! Kau pikir mudah, hah?!” balas ibu Jihan setengah berteriak di hadapan suaminya.

“Dasar kurang ajar,sahut Ridwan sembari mengangkat satu tangannya, bersiap menampar sang istri.

“Cukup..!” teriak Jihan seraya memegang tangan Ridwan yang hendak mendarat di pipi Yuni, ibunya.

“Kalian tahu? Perbuatan kalian berdua ini akan merugikan anak kalian,” ujar Jihan. Setelah itu ia pergi meninggalkan pasutri tersebut.

Kejadian pada malam itu membuat Jihan mengurung diri di kamar selama lima hari. Tidak pergi sekolah, tidak makan, bahkan dirinya tidak menyentuh ponselnya sekali pun.

Karena kejadian itu juga ia kehilangan sosok ibu yang dulu. Sosok ibu yang selalu memperhatikannya, yang selalu menjadi tempat ia bertukar cerita, dan yang selalu memberikannya kehangatan.

***

Hampir sepuluh bulan sudah berlalu. Jihan pun sudah kembali bersekolah seperti biasa. Namun yang tidak biasa adalah perubahan sikap dan perilaku Jihan yang sangat drastis pada dirinya sendiri. Sosok Jihan yang dulunya rajin, baik hati dan ceria, kini berubah menjadi sosok yang dingin dan keras kepala. Perubahan tersebut tentunya membuat teman-teman Jihan merasa sedih sekaligus bingung. Terlebih Clarissa, sahabatnya dan Irsyad, kekasihnya.

Sedangkan Jihan sendiri, ia menyadari perubahan tersebut tapi ia tidak mempedulikannya. Bahkan setelah perceraian orang tuanya, kehidupannya menjadi tidak teratur. Benar-benar tidak teratur. Tindakannya itu mengakibatkan penyakit yang seharusnya tidak ada pada tubuhnya. Dan Jihan pun malah mengabaikan itu dan beranggapan bahwa itu hanyalah sakit biasa.

Hingga sampai pada suatu saat Jihan menyadari bahwa rasa sakit itu mulai sering timbul dan semakin terasa sakit dari sebelumnya. Akhirnya ia memutuskan untuk memeriksa kesehatannya ke rumah sakit. Betapa terkejutnya dia ketika mengetahui hasil pemeriksaannya itu menunjukkan bahwa dirinya mengidap penyakit yang cukup serius. Sejak saat itu, pendirian Jihan yang selalu tak acuh dengan penyakitnya mulai berubah. Ia mulai mau mengikuti saran dokter untuk melakukan pengobatan rutin, mengingat sakitnya yang tidak biasa dan tidak bisa dianggap remeh tersebut.

***

Malam begitu dingin. Hujan yang cukup lebat masih enggan berhenti. Jihan berjalan pelan ke arah ibunya yang sedang sibuk berkutat dengan laptopnya. Ia menghampiri ibunya dengan satu tangan yang memegang amplop berwarna putih.

“Ibu,” panggil Jihan seraya meletakkan amplop putih tersebut di atas meja kerja ibunya.

Yuni menoleh, menatap putri tunggalnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Lalu ia melirik amplop itu, mengambilnya dan membukanya.

Di lembar itu tertampang jelas bahwa itu adalah surat panggilan orang tua. Sang wali kelas

memberikan itu pada Jihan karena dua minggu terakhir ini ia sering bolos di beberapa mata pelajaran. Hal tersebut bukan karena keinginan Jihan, melainkan karena ia harus pergi ke rumah sakit untuk melakukan perawatan untuk penyakitnya.

“Apa ini, hah? Kamu ini bisanya hanya memalukan nama baik keluarga!” sergah Yuni pada Jihan yang tengah menundukkan kepalanya.

“Aku tidak bisa datang, cari saja orang bayaran untuk datang ke sekolahmu,” lanjut ibu Jihan seraya mengeluarkan beberapa kertas uang berwarna merah.

“Tapi, Bu” ujar Jihan terhenti dengan suara bergetar.

“Apa lagi? Apa uangnya masih kurang?” tanya ibunya.

“Aku tidak butuh uang itu Ibu,” ujar Jihan pelan tapi masih bisa didengar oleh ibunya. Sepertinya sebentar lagi ia akan menangis.

“Sudah ku bilang aku tidak bisa datang, apa kau tidak punya telinga, hah?! ” bentak ibunya yang mengerti dengan apa yang Jihan katakan. “Aku lebih tidak butuh anak seperti mu!” lanjutnya dan berhasil membuat hati Jihan terasa seperti sedang ditusuk oleh seribu jarum. Dan pada saat itu juga terdengar sambaran petir yang menggelegar dan membuat kedua anak-beranak itu terkejut.

“Baiklah, Bu” ucap Jihan pelan lalu menghilang dari hadapan ibunya.

Setelah Jihan pergi ke kamarnya, Yuni berpikir sejenak.Apakah aku keterlaluan?Yuni membatin. “Ah, tidak pedulilah” ucapnya lalu kembali pada kesibukannya ke laptop dan berkas-berkas kantor yang sengaja ia bawa pulang sebagaimana kebiasaannya yang selalu menghabiskan waktu untuk kerja, kerja dan kerja, baik di kantor ataupun di rumah. Memang, sejak bercerai dengan ayah Jihan, dirinya sangat fokus terhadap pekerjaan, sehingga karirnya pun melesat dan penghasilannya bertambah. Akibatnya, waktunya untuk memperhatikan Jihan menjadi berkurang. Bahkan untuk menanyakan perkembangan sekolah Jihan pun sangat jarang ia lakukan, tidak seperti dulu, dimana ia dan Jihan sangat dekat dan selalu ingin tahu apa saja aktivitas Jihan sepanjang hari.

Sementara itu, kini Jihan sedang berada di kamarnya. Badannya bergetar. Ia merasakan sakit di bagian pinggangnya dan terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia juga merasakan pusing yang begitu hebat di kepalanya. Air mata mengalir. Tapi bukan air mata sakit hati atas perkataan ibunya, air mata itu sudah berubah menjadi air mata kesakitan pada tubuhnya yang kian semakin menjadi-jadi.

Suara hujan yang begitu lebat membuat tangisan dan rintihan Jihan tidak dapat didengar oleh siapapun. Jihan masih meringkukkan tubuhnya di atas kasur. Tangan kanannya ia gunakan untuk meremas pinggang sebelah kanannya yang menjadi asal rasa sakitnya.

Kini nafasnya mulai tersengal-sengal. Ia merubah posisinya menjadi telentang, lalu mulai menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Setelah dirasa napasnya mulai stabil, dengan bersusah payah ia bangkit dari tidurnya dan berjalan sempoyongan dengan kaki yang bergetar menuju lemari pakaian yang terletak tak jauh dari kasurnya.

Setelah berhasil mengambil obatnya yang berada di dalam lemari, ia kembali duduk di atas kasur. Ia memasukan satu pil obat ke dalam mulutnya lalu meminum air putih yang ia pegang. Kemudian ia merebahkan diri di kasur empuknya. Air matanya kini sudah mengering, dan matanya merasakan kantuk yang berat akibat efek obat tidur yang terkandung di dalam obat pereda nyeri tadi.

“Huuh… akhirnya,” lirih Jihan pelan. Matanya kini mulai terpejam selaras dengan rasa sakit yang mulai mereda.

***

Jihan berusaha mati-matian menahan rasa sakit yang saat ini ia rasakan. Tangan kanannya tak berhenti meremas pinggang dan tangan kirinya ia gunakan untuk menyimpan gelang dengan liontin alphabet huruf ‘Y’ yang akan ia berikan pada ibunya mengingat bahwa hari ini adalah hari ulang tahun ibunya.

Napasnya mulai tak beraturan. Karena tak ingin ada yang menyadari hal ini, Jihan buru-buru berlari keluar kelas menuju toilet. Ia berlari secepatnya, bahkan tanpa menghiraukan Irsyad, pacarnya yang terus memanggilnya.

“Akhh.. Sakit,” Jihan merintih pelan sambil kembali meremas pinggangnya sebelah kanan. Sekarang ia tengah berada di toilet sekolah. Karena ini merupakan jam kosong, jadi ia mengambil kesempatan untuk keluar kelas agar ia bisa melampiaskan rasa sakit yang ia rasakan tanpa perlu takut diketahui oleh siapapun. Jihan berpikir bahwa ia benar-benar sendirian di toilet itu.

Namun perkiraan Jihan salah. Ternyata di balik dinding besar yang berada di dalam toilet tersebut ada Clarissa yang sedang mengintipnya. Sengaja Clarissa melakukan itu karena merasa khawatir dengan kondisi Jihan. Saat di kelas ia memperhatikan gerak gerik Jihan seperti sedang kesakitan. Saat Jihan hendak keluar kelas ia memutuskan untuk mengikutinya. Dan benar saja, ia dibuat tambah khawatir dengan kondisi Jihan, apalagi saat ia mendengar Jihan merintih kesakitan beberapa kali.

Clarissa merasa kondisi Jihan sepertinya semakin buruk, karena rintihan yang keluar dari mulut Jihan semakin lama semakin berubah menjadi tangisan. “Jihan kamu kenapa?” tanya Clarissa yang tiba-tiba muncul di depan Jihan dengan kedua tangan memegang bahu Jihan. “Kamu sakit apa Jihan? “tanya Clarissa lagi ketika melihat botol obat di tangan Jihan.

Jihan masih belum mengeluarkan suara, ia masih menundukkan kepalanya.

“Ini kenapa?” tanya Clarissa terkejut ketika melihat ada beberapa luka seperti bekas suntikan di tangan Jihan.

Jihan mengangkat kepalanya. “Bukan urusanmu,” ujar Jihan pada sahabatnya itu. Ia kemudian menepis kedua tangan Clarissa dari pundaknya dan hendak pergi dari tempat ia berdiri, namun dengan cepat Clarissa menahannya.

“Tapi Jihan..” balas Clarissa dengan tatapan mata penuh keheranan.

“Sudah kubilang ini bukan urusanmu! Urus saja urusanmu sendiri!” sentak Jihan pada Clarissa lalu melenggang pergi dari hadapan sahabatnya.

Clarissa hanya bisa terdiam mematung melihat perlakuan Jihan padanya. Tapi ia tidak memiliki niat untuk membenci sahabatnya itu karena ia tahu Jihan seperti itu pasti punya alasan tersendiri.

Jihan berlari pelan menuju kelasnya dengan tangan yang tak pernah lepas dari pinggangnya, dan kedua kakinya terlihat semakin membengkak sehingga membuatnya sedikit kesulitan berjalan. Ia mengambil ponselnya lalu melihat tanggal yang tertera di layar ponsel. “Hari ini jadwal ku untuk cuci darah,” ucapnya pelan lalu memasukkan kembali benda pipih itu kedalam saku bajunya.

Sesampainya di kelas ia langsung menyambar tasnya lalu berjalan keluar.

“Jihan, kamu mau kemana?” tanya Arya sang ketua kelas kala melihat Jihan yang hendak keluar kelas dengan menyandang tas di pundaknya.

“Aku ada urusan mendadak,” ucap Jihan dengan mata melotot di depan hidung Arya yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Jihan.

“Ada apa ini? Jihan kamu kenapa?” Tanya Irsyad yang baru saja kembali dari koperasi sambil menggenggam tangan Jihan. Tanpa menghiraukan pertanyaan Irsyad, Jihan dan Arya terus saja berdebat hingga membuat Irsyad kebingungan.

“Tapi Jihan, kamu sudah beberapa kali bolos mata pelajaran,” ujar Arya bermaksud menasehati Jihan. “Walaupun ini sudah jam terakhir, tapi akan tetap berpengaruh pada nilaimu di raport Jihan,” lanjutnya.

“Tolong beri aku satu kesempatan lagi sebelum aku benar-benar tidak bisa datang lagi.” Jihan berujar dengan napas yang tersengal-sengal.

“Ma-maksudnya?” tanya Arya karena ia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Jihan.

“Kamu bicara apa, Jihan?” Irsyad menimpali sambil tangan kanannya menghentak-hentakkan tangan

Jihan. Ia terus dibuat kebingungan dengan keadaan ini apalagi saat mendengar ucapan Jihan.

“Ku mohon,” pinta Jihan.

Arya mengusap wajahnya gusar. “Haah… Baiklah,” ucapnya pasrah.

Setelah mendengar jawaban dari Arya, Jihan segera melepaskan genggaman tangan Irsyad padanya. “Aku harus pergi,” Ucapnya perlahan lalu melenggang pergi dari hadapan mereka.

Jihan terus melangkahkan kakinya menuju halte depan sekolah. Ia tidak mempedulikan bahwa sekarang belum waktunya pulang sekolah. Bahkan ia tidak merasa khawatir jika besok ia akan berhadapan dengan wali kelas atau guru BK yang akan mempertanyakan mengapa dan kemana lagi ia bolos hari ini. Setibanya di halte, Ia menunggu sebentar sembari menyempatkan diri untuk minum obat pereda nyeri.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, Jihan melambaikan tangannya ketika melihat angkutan umum berjalan ke arahnya. Segera ia memasuki angkutan umum tersebut.

Saat sampai pada tempat tujuan Jihan langsung turun dan membayar ongkosnya. Dirinya kini tengah berdiri di seberang rumah sakit Bagaskara, menunggu-nunggu agar jalanan sepi dan ia akan menyeberang menuju rumah sakit itu.

“Ah sudah sepi,” ucapnya ketika ia melihat jalanan yang sudah sepi dari kendaraan yang melintas. Sejenak ia melirik ke arah gelang yang sedari tadi tidak ia lepas dari tangannya dan tersenyum tipis sambil terlintas dalam pikirannya momen yang akan terjadi di balik gelang tersebut. Lalu segera ia melangkahkan kaki menyeberang jalan. Tiba-tiba, ada sebuah mobil Avanza hitam yang menuju ke arahnya dengan kecepatan yang lumayan tinggi.

Semua terjadi begitu cepat. Beberapa orang yang sempat menyaksikan kecelakaan tersebut langsung memberikan pertolongan. Jihan yang terkapar di aspal dan dalam keadaan antara sadar dan tidak, segera dilarikan ke rumah sakit yang berjarak hanya beberapa meter dari tempat kejadian. Petugas medis pun sigap memberikan pertolongan dan membawakan bed dorong medis untuknya.

Detak jantung Jihan mulai melemah. Matanya pun berkunang-kunang. Ia tidak dapat mengingat apa yang sedang terjadi pada dirinya. Berbagai gambaran peristiwa datang silih berganti di kepalanya. Mulai dari cita-cita mulia untuk membanggakan ibunya, ayah dan ibunya yang kembali bersatu, dan gambaran-gambaran lainnya. Matanya semakin sayu dan sayu. Hal terakhir yang Jihan ingat sesaat sebelum matanya tertutup adalah ia sedang berada di ruangan bercat putih dan beberapa orang asing berpakaian putih yang mengelilinginya.

(BERSAMBUNG)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *