Budaya  

HARA’

Hara'

Penulis: Yoelch Chaidir

Terlihat jelas Pucat pasi wajah Toni sambil memegang perutnya yang agak terlihat buncit dari balik kaos oblong polos berwarna putih.

Sesekali sahabatnya menyeka keringat dingin yang membutir keluar dari pori-pori wajah dan tubuhnya yang gempal.

Dengan langkah kaki sedikit goyah dan tangannya memeluk Marwan yang memapah, Toni  turun dari sebuah mobil menuju ruang IGD sebuah rumah sakit di ujung kota.

Seorang perawat dengan sigap mendorong sebuah kursi roda menyambut Toni dengan cekatan langsung masuk ke ruang bertulis kan “Instalasi Gawat Darurat”.

Saya yang ikut mengantar Toni menuju loket pendaftaran tepat di samping pintu masuk.

Dengan menunjukkan KTP dan KK Toni pendaftaran tak berlangsung lama.

Setelah menyelesaikan pendaftaran pasien atas nama Toni, saya langsung masuk ke ruangan di mana Toni sedang di tangani dokter piket malam itu.

Setelah beberapa saat ditangani dokter jaga dan perawat di ruang tindakan IGD terlihat slang infus telah terpasang di tangan Toni dengan sesekali geliatan Toni masih merasakan sakit pada bagian perutnya.

Jam dinding telah menunjuk kan pukul 23.30 wib berarti hampir Dua jam Toni terbaring di ruang tersebut.

Kami hanya menunggu dan menunggu dengan harapan Toni segera membaik.

Hasil dari observasi yang telah di lakukan pihak rumah sakit malam itu belum membuahkan hasil maksimal sehingga untuk lebih mudah mengontrol keadaan Toni perawat menemui kami sebagai keluarga dari pasien atas dasar permintaan dokter bahwa Toni harus di rawat inap guna dilakukan tes urine.

Ruang Rajawali adalah ruang tempat menginap Toni dan kami yang menjaganya pada malam itu.

Terlihat ada 2 pasien lain yang terlelap tidur dan 2 orang pihak keluarga masing -masing pasien.

Melihat kedatangan kami dengan di kawal oleh perawat dari ruang IGD yang mendorong Toni dalam keadaan lemas menahan sakit.

Perlahan Toni mulai mengantuk dan tidur setelah sebelumnya obat yang di masukkan ke botol infus mengandung bahan agar pasien bisa istirahat.

Tepat pukul 24.05 wib seseorang dari keluarga pasien yang menjaga keluarganya yang dirawat bersebelahan dengan tempat tidur Toni membuka obrolan.

“Sakit apa pak?” tanya pak tua kepada kami seraya menunjukkan jarinya ke arah Toni.

“Sakit perut pak,” jawab Marwan singkat.

“Sejak kapan?” sambung pak tua.

Selepas isya tadi mulai terasa dan puncaknya sekitar jam 9 malam, kami kasihan melihat Toni yang gelisah menahan sakit yang tak berujung pada bagian perutnya.

“Mungkin ada salah dimakan pak!” Sambung pak tua.

“Maksudnya pak?” Tanya saya kepada pak tua.

“Sebelumnya pernah makan apa pak, pasien ini?” Kata pak tua.

“Sama pak cuma makan dan ngopi aja bareng kami di rumah kawan!”

“Memang ketika makan tadi sore sepertinya Toni terlihat terlalu semangat menyantap makanan yang dihidangkan kawan kami.”

“Karena belum pernah dan baru pertama kali makan senikmat itu pak!”

“Apakah dia (menunjuk kepada Toni) pernah menyebut dengan kata-kata nikmat, nyaman atau semacamnya?” tukas pak tua.

“Kalau itu berulang kali pak dan sampai di rumah pun masih terbayang masakan yang kami makan tadi.”

Pak tua tersenyum sambil berkata, “Nah kalau begitu jelas pak!”

“Teman bapak ini pantang larang kalau dalam adat kami di sini. Dengan kata lain pasien ini kena hara‘ kalau dalam bahasa adat di wilayah kami. Terlepas percaya atau tidak tapi bagi sebagian wilayah daerah sini masih memakai kata-kata itu pak, yang masih tabu jika diucapkan ketika kita memakan sesuatu yang memang lebih enak dan nikmat. Cukup diam dalam hati menikmati anugerah yang diberikan Allah SWT untuk menghindar dari hal hal semacam ini!”

“Oooooo….begitu ya pak?’ sambung Marwan yang dengan serius mendengarkan kata-kata dari pak tua.

“Jadi bagaimana untuk mengobati hara‘ ini pak?” Lanjutnya.

“Coba carikan 3 lembar umbut nanas, cabut aja daun paling atas di pohon nanas lalu bersihkan kemudian berikan kepada pasien untuk dikunyah bagian yang berwarna putih yang masih lembut untuk ditelan air kunyahan umbut nanasnya dengan diawali sholawat dan niat untuk menyembuhkan sakit perut nya.”

Sontak setelah berbincang kepada pak tua buru-buru saya kembali ke rumah yanh kebetulan ada tumbuh nanas di belakang rumah lalu membawanya kembali ke rumah sakit.

Terlihat orang-orang dalam ruangan telah pulas tertidur. Saat pintu ruangan saya buka Toni bergerak dan bangun dari tidurnya.

Umbut nanas yang telah dicuci tadi langsung saya berikan kepadanya dengan cara-cara yang  disampaikan pak tua.

Setelah minum air putih Toni kembali berbaring dan tertidur walau perutnya masih terasa sakit namun berkat obat dari selang infus membuatnya cepat pula tertidur.

Pukul 05.00 wib saya yang sempat tertidur juga pada malam itu dikagetkan Toni yang dengan samar memanggil.

Saya kira dia mau apa ternyata Toni sudah berdiri di samping saya yang tidur beralas tikar kecil.

“Boy lapar nih cari makan yuk!” Toni membuka percakapan pagi itu.

“Sudah baikan kamu ya?” balik bertanya.

“Alhamdulillah boy. Nggak sakit lagi dan jadi lapar nih.”

“Sabar Ton, biar saya aja yang cari makan ke luar!” jawab ku.

Sekitar jam 10.00 wib barulah Toni di persilakan pulang setelah ada kunjungan dokter ke ruangan rawat inap.

“Mujarab sekali ramuan semalam ya boy!” tukas Toni.

“Iya lah itu kan obat kampung kalau kita hara‘!”

Toni yang selama ini belum pernah merasakan sakit perut yang sejadi-jadinya baru menyadari bahwa memang benar di mana kaki di pijak di situ langit di junjung.

Selepas Zuhur, Toni dan Marwan barulah melanjutkan perjalanan pulang dari Toboali menuju kabupaten di ujung Utara Pulau Bangka.

Antara percaya atau tidak di zaman modern seperti sekarang ini hal-hal semacam itu masih melekat di masyarakat ujung selatan Bangka.

Walahualam…Hanya Allah yang menjadi pelindung atas semua MahklukNya.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *