Oleh: Ummi Sulis
Masa kecil adalah masa yang paling indah. Masa, di mana tidak perlu memikirkan susahnya mencari uang, memikirkan beras mahal. Cabai ikut mahal pula. Tiba-tiba aku teringat tentang dirinya, adik bungsu yang lucu, tetapi kadang menjengkelkan.
Kala itu, aku berlibur ke rumah kedua orang tuaku. Adik bungsuku duduk di kelas lima Sekolah Dasar. Kegemarannya memelihara ikan hias yang kecil-kecil. Bila pulang sekolah, bisa sampai satu jam, betah duduk memandangi ikan-ikannya. Setekun itu dia memandangi mereka.
Sesiang ini, adik bungsuku tak kelihatan bayangannya. Begitu jam makan siang tiba, sekonyong-konyong muncul dengan membawa bungkusan. Ternyata ikan hias yang dibawanya. Ikan pedang katanya. Ikan cantik berwarna merah dengan ekor panjang laksana pedang.
Wah cantik sekali. Kataku pada adik bungsu. Dijawabnya dengan cepat, kalau ikan itu ganteng bukan cantik karena ikannya pejantan. Aku salah menganalisa, ternyata.
Adikku tampak asyik memandang ikan hiasnya yang berjumpalitan di dalam air, tersenyum dan bersorak kegirangan. Sebuah renjana yang seakan membekap mimpi bahagianya.
Adik bungsu, apa yang kau lakukan. Ternyata sedang menambahkan ulekan cabai pada air ikan hiasnya. Ya ampun, biar apa, coba. Biar ikannya ganas untuk bertarung. Kalau pedas, pantang tersenggol, marahlah ikannya. Begitulah kronologi ikan hias bertabur cabai.
Tidak begitu juga, kali, Dek. Bagaimana si ikan tak jumpalitan, barangkali megap-megap karena ada polusi unsur pedas cabai dalam airnya. Pantaslah bila kemudian pantang tersenggol, karena pengaruh pedas itu. Ya Salaam.
Fajar Indah, 25 Februari 2024