Sastra  

LEGENDA BUKIT NENEK

BAB I

Foto Ilustrasi

Oleh : Dwikki Ogi Dhaswara

Bekaespedia.com_Kisah ini bermula, di sebuah desa kecil yang tersembunyi diantara bukit-bukit hijau. Terselimut damai yang selalu terasa disetiap sudut jalannya, disertai langkah kaki yang beriringan tanpa tergesa, dan suara masyarakatnya yang santun dalam bertegur sapa.

Kehidupan di desa ini mengalir pelan, seperti air sungai yang jernih menyusuri bebatuan. Desa itu bernama Desa Penyampar. Tempat dimana alam dan manusia hidup berdampingan dalam harmoni yang terhampar. Bukit-bukitnya menjulang tinggi, sementara burung-burungnya melayang bebas, seolah menari dalam tarian sunyi.

Rumah-rumah dengan atap runcingnya ikut mengkhiasi, terlihat dari rabung-rabungnya yang berbaris rapi, hingga pagar bambu yang tersusun disetiap halaman rumahnya.

Keberadaan itu seakan melambai lembut ke pelupuk mata, berpadu dengan bayang-bayang pohon besar yang menaungi mereka, bergoyang lembut diterpa angin, menciptakan simfoni alam yang melengkapi ketenangan desa.

Desa itu begitu damai, namun dibalik keindahan dan kedamaian Penyampar, ada satu kisah dari seorang pemuda yang lahir di desa itu, Arya. Ia memiliki kemampuan yang tak dimiliki oleh siapa pun. Saat beranjak dewasa, ia mampu melihat jejak-jejak misterius yang tak kasat mata, jejak yang hanya bisa dilihat oleh mata batinnya.

Arya tumbuh dengan keyakinan dan ketenangan. Batinnya semakin matang, seperti akar pepohonan yang kian berkembang. Arya mulai merasakan bagaimana setiap jejak misterius itu, kini dapat berbicara lebih jelas padanya. Tak ada lagi kebingungan dan ketakutan dalam dirinya, hanya keheningan batin yang ia rasa dengan penuh kesadaran.

Dimalam yang sunyi, ketika kabut turun dari Bukit Penyampar, dan angin berbisik diantara pepohonan. Arya berjalan menyusuri hutan menggunakan obor untuk menjumpai rumah saudaranya. Hutan yang gelap dan sepi menyambut Arya dengan keheningan yang mencekam.

Bayang-bayang tak kasat mata muncul disekelilingnya. Mengalir bagaikan arus waktu yang tak terputus. Semua tak ada yang ia hiraukan, seperti gemerisik daun dan bisikan angin lalu, hadir lalu menghilang.

Dipertengahan jalannya, Arya melihat bayangan yang berbeda dari biasanya. Bayangan itu berpendar terang, membawa aroma tanah basah yang pekat.

Munculah sosok perempuan yang cantik, berjalan berlawanan tapi tak menyapa, matanya memancarkan cahaya redup, namun penuh dengan pesona. Rambutnya yang panjang terurai, bergerak halus mengikuti aliran angin, dan gaunnya seolah terbuat dari kabut yang melayang disekelilingnya.

Membuat Arya tak bisa berkedip, terkagum akan keberadaannya. Arya tahu, perempuan ini bukanlah manusia, auranya begitu kuat, namun lembut, seolah hutan itu sendiri adalah bagian dari dirinya.

Arya lekas memberanikan diri untuk menegurnya. Dengan rasa gugup, sepatah kata terucap “Maaf..!”.

Perempuan itu menatap Arya, senyumnya bagaikan misteri, seakan mengundang, tetapi juga menjaga jarak “Kau bisa melihatku..?” tanya perempuan itu, suaranya halus bagaikan desiran angin.

“Iya, aku tak pernah melihat cahaya yang sama sepertimu ketika dimalam hari, sekalipun itu rembulan dengan pesona malamnya!”. Jawab Arya dengan pandangannya yang terpaku akan pesona perempuan itu.

Bukan hanya kecantikannya yang memikat, tetapi karena ia juga merasakan keagungan yang tersembunyi dibalik sosok itu. Hatinya terguncang, diantara ketertarikan dan rasa hormat yang mendalam. Arya menyadari, bahwa pertemuan ini bukanlah kebetulan, melainkan takdir yang akan ia teruskan.

“Aku bukan dari duniamu”. Bisiknya, dengan nada yang penuh kasih sayang, “ Dunia kita berbeda, dan jarak ini tak bisa kau langkahi begitu saja”. Ucap perempuan itu.

Arya yang selama ini hidup dengan batas antara dunia yang nyata dan gaib, kini merasa tak peduli akan perbedaan itu “ Apalah arti batas jika hati telah bertaut?Aku tak peduli, yang kutahu, kau mengisi ruang hati yang tak pernah terisi sebelumnya, siapakah namamu?”.

“Muna. Itulah namaku.“ Jawabnya.

Waktu seolah berhenti saat mereka saling bertatapan. Terjebak dalam moment yang tak terulang. Hutan itu menjadi saksi pertemuan mereka, menjadi saksi dari ikatan yang tak biasa, lahir diantara batas-batas dunia yang berbeda.

Hari demi hari, malam demi malam mereka bertemu, Muna selalu menunggunya. Meski mereka tahu, disuatu saat nanti, batas antara dunia mereka mungkin akan memisahkan mereka.

Sementara ini, mereka membiarkan hati mereka untuk saling berbicara. Kebahagiaan mereka hidup didalam keajaiban, namun keduanya menemukan kedamaian.

Tibalah malam purnama, saat itu langit diatas Bukit Penyampar dipenuhi bintang.

Dibawah naungan pohon-pohon besar yang melingkupi mereka. Muna menggenggam tangan Arya, jemarinya dingin namun terasa begitu nyata. Sentuhan itu membawa ketenangan yang melampaui kata-kata, seolah dunia di sekeliling mereka hanyalah riak bayangan yang mengalir diantara mereka berdua.

“Arya”, Bisik Muna dengan suara lembut. “Malam ini, disaksikan purnama, aku ingin kau melihat duniaku yang selama ini hanya kau bayangkan”.

Langkah mereka begitu ringan, Arya merasakan batas antara dunia nyata dan gaib semakin kabur. Hutan yang biasa ia kenal kini berubah menjadi pepohonan yang terlihat lebih tinggi. Bayang-bayang semakin panjang, udara terasa dingin, dan langit yang begitu gelap bersama hilangnya purnama.

Muna berhenti, menarik tangan Arya sedikit lebih erat, dan menatapnya lebih dalam. “ jangan takut, kau hanya melihatnya, bukan untuk menjadi bagiannya”. Ucap Muna.

Arya tertegun ditepi lembah gaib itu, pandangannya tertuju pada pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Ia melihat anak-anak bermain riang dihalaman rumahnya, tertawa dengan ceria bersama kegelapan, hanya diterangi obor kecil didepan pintu masuk rumah mereka.

Arya tak melihat satupun orang dewasa, disekitar mereka. “Dimana para orangtua, aku tak melihatnya?”. Tanya Arya

“Mereka ada”, Kata-katanya lembut, “Tapi bukan disini”. Muna menunjuk ke arah yang jauh, dimana sebuah bukit kecil terlihat samar dibalik kabut.

Dibawah bukit itu, Arya melihat bayangan-bayangan para orangtua berkumpul. Beberapa dari mereka hanya nampak seperti siluet, seolah mereka berada ditengah pesta, menyambut kedatangan purnama yang tak nampak oleh penglihatan Arya.

Disisi gaib, cahaya rembulan ketika itu, bagaikan cahaya yang jatuh dari atas langit, memberikan kesan magis. Tapi anehnya Arya tak mampu melihatnya.

Para orangtua ditempat itu menari menggunakan selendang yang menggulung dileher dan menutup wajahnya, mereka membentangkan selendang ditangan mereka seperti elang, mengepakkanya layaknya terbang, diiringi tabuhan gendang dan gong.

Suara nyanyian dengan irama yang khas terdengar “ Yooooooo… lah payoo. Lah payo.. lah payo…”.

Arya merasakan jantungnya semakin berdebar, dan ingin lekas mengajak Muna pulang kembali ke dunianya.

Dengan sentuhan lembut, muna membawanya pulang kembali ketempat pertama mereka bertemu.

Sinar purnama bersama kabutnya menutupi perkampungan gaib itu, Muna menatap dalam ke mata Arya, tatapannya mengandung harapan dan keraguan yang bercampur.

Arya terdiam, namun didalam kebisuan itu, ada keyakinan yang perlahan tumbuh. Ia menatap Muna, wajahnya dipenuhi kasih sayang yang tulus.

“Aku harus memberitahukan hubungan kita pada keluargaku, terutama Ibuku, orang yang sangat berarti bagiku”. Ucap Arya.

Muna terdiam, senyumnya sangat lembut, dan penuh pengertian. Ia mengerti betapa kuatnya  ikatan antara Arya dan keluarganya. “Aku mengerti, kau harus kembali, aku akan menunggumu disini, ditempat kita pertama bertemu”.

Arya mengangguk perlahan, hatinya penuh dengan rasa cinta yang mendalam.

Ketika ia tiba dirumah, ibunya sudah menunggu diberanda. Wajahnya penuh keteduhan seperti biasanya, tetapi ada tatapan yang mendalam dimatanya.

Arya tahu, ini adalah saat yang paling sulit dalam hidupnya, berbicara kepada ibunya tentang hubungannya dengan Muna, seorang perempuan dari alam yang berbeda.

Dengan lembut ia duduk dihadapan Ibunya, menarik nafas panjang, dan memulai pembicaraan.

“Ibu”, suara Arya terdengar berat, “Aku ingin memberitahumu tentang sesuatu yang penting. Aku telah bertemu dengan seorang perempuan bernama Muna, dan aku sangat mencintainya”.

Ibunya memandangnya dengan tenang, namun Arya bisa merasakan perubahan halus dalam tatapannya. Ada kekhawatiran yang mulai terbayang.

“Siapa Muna itu, Nak? dari mana asalnya?. Tanya seorang ibu dengan suara lembut, namun penuh waspada.

Arya ragu sejenak, namun ia harus jujur kepada ibunya. “Muna…., dia bukan dari dunia kita, Bu..! dia berasal dari alam lain, dari tempat yang tak bisa kita lihat dengan mata biasa, tapi dia baik, lembut, dan aku mencintainya dengan sepenuh hati”.

Keheningan yang menyusul begitu berat. Ibunya menarik nafas panjang, dan Arya bisa melihat bagaimana wajah lembut ibunya berubah menjadi suram.

“Arya”. Dengan nada perlahan, “Kemampuanmu sudah ibu ketahui, dari semenjak engkau masih anak-anak, ketika itu, ibu khawatir akan perkembanganmu yang tak akan sama dengan anak-anak lainnya. Perlu kau ketahui, bahwa cinta adalah hal yang indah, tetapi tak semua cinta bisa kita ikuti, dan ibumu ini bukanlah orang yang menolak cinta, tapi Muna… dia bukan bagian dari dunia kita. Dan, ada sesuatu yang harus kau ketahui”.

Arya merasakan dadanya berdegup kencang, seakan-akan ada sesuatu yang besar akan terungkap.

“Apa itu, Bu?”. Tanya Arya sambil menundukkan kepalanya.

Dengan nada yang penuh kasih sayang tapi tegas, Ibunya berkata, “Ayah dan ibu telah menjodohkanmu dengan seorang gadis desa ini. Dia adalah gadis baik, dari keluarga yang kami kenal baik. Namanya adalah Laras, dan telah lama kami berharap kau bisa bersamanya”.

Dunia Arya seakan runtuh, kata-kata itu menghantamnya layaknya gelombang besar yang menghanyutkan seluruh harapannya. Jantungnya berdebar tak teratur, hatinya terasa remuk seketika.

Arya terus menundukkan kepalanya. Disatu sisi, cintanya kepada Muna begitu besar, tak tergantikan. Namun disisi lain, keinginan membahagiakan Ibunya begitu mendalam.

Ia selalu diajarkan untuk menghormati dan mencintai ibunya lebih dari apapun. Dan, ia tahu bahwa mengingkari harapan ibunya adalah sesuatu yang tak bisa ia lakukan, meski harus menghancurkan hatinya sendiri.

Ibunya memeluk erat, menenangkan gejolak dalam dirinya, meski ia tahu betapa berat keputusan yang harus diambil oleh anaknya.

Keesokan malamnya, hujan turun perlahan, menyelimuti desa dalam alunan rintik yang lembut. Aroma tanah basah, dan daun-daun yang tersiram hujan memenuhi udara.

Dibawah langit yang berawan gelap, Arya berjalan menuju tempat pertemuannya dengan Muna. Hatinya dipenuhi gejolak yang tak bisa terurai dengan mudah. Langkahnya terasa berat, seakan setiap butir hujan yang jatuh menambah beban di hatinya.

Muna sudah menunggunya ditepi hutan, dibawah pohon besar tempat dimana mereka selalu bertemu. Muna menatapnya, senyumnya lembut, namun ada kesedihan yang terselip disudut bibirnya.

Muna tahu, bahwa malam ini akan berbeda dari pertemuan mereka sebelumnya. Dengan suara penuh kelembutan, Ia berkata, “Aku tahu, Arya. Aku sudah menunggu”.

Arya akhirnya bicara, menjelaskan apa yang telah terjadi. Suaranya terdengar serak, seperti sedang menahan perasaan yang terlalu berat setelah diucapkan.

Muna terdiam, dan menundukkan kepalanya. Dalam hatinya, ia sudah menduga bahwa akhirnya akan seperti ini.

Hujan semakin deras, namun mereka seolah tak peduli.

Muna berkata “ Aku mengerti, Arya. Cinta sejati tak selalu tentang memiliki, tapi tentang pengorbanan. Jika kau harus pergi, aku tak akan menahanmu”.

Dari kejauhan, tanpa mereka sadari. Keluarga Arya telah mengawasi. Sang Ibu datang bersama keluarganya, ditemani juga Buk Moen, seorang dukun kampung yang terkenal menangani perkara gaib, serta juru kunci Bukit Penyampar.

Mereka datang dalam diam, tanpa diketahui oleh penduduk desa lainnya. Hanya Ibunya dan Buk Moen yang bisa melihat sosok Muna dari dekat.

Buk Moen berdiri sambil membawa Gong dengan tatapan penuh konsentrasi, merasakan kehadiran Muna. Tak lama Buk Moen, memukul gongnya tiga kali. Bunyi Gong itu, disambut oleh bunyi gong lainnya dari atas Bukit Penyampar.

Assalamualaikum, Wahai segale makhluk, segale rupe, aku tutup pintu alam, tutup dari segale penjuru. Aku minta perlindungan Allah, tutup sudah, tarik sudah, kunci sudah….”. senandung mantra Buk Moen.

Diiringi hujan yang semakin deras, turun bersama kilatan petir yang menerangi langit. Angin yang datang dari arah bukit seolah membawa pesan, bahwa waktu dari pertemuan itu akan habis.

Dua sosok gaib muncul dari alam Muna. Menariknya perlahan menjauhi Arya. Sedangkan mata Muna masih terpaku kepada Arya.

Tubuh Arya gemetar. Dibelakangnya, Ibunya datang dan memeluk Arya erat-erat, seolah menenangkan hati yang sedang dihancurkan oleh takdir.

“Muna..” teriakan Arya ditengah badai. “Jika kita bukanlah jodoh, maka biarkanlah anak cucu kita yang akan meneruskannya”!. Seru Arya dengan janjinya yang telah diucapkan, dengan tangisan dan suaranya yang gemetar.

Kilatan petirpun menyambar langit, menandai detik-detik terakhir Muna dihadapan Arya.

Setelah berpisah dengan Muna, Arya akhirnya menikahi seorang gadis Desa Penyampar yang bernama Laras. Gadis yang dijodohkan oleh keluarganya.

Ia berusaha menjalani kehidupannya bersama Laras, hingga mereka dikaruniai ketiga orang anak, dan yang terakhirnya adalah seorang bayi laki-laki, mereka memberikan namanya, Aziz. Lahir dibawah naungan bintang yang penuh rahasia.

Namun, tak lama setelah kelahiran Aziz, Arya tiba-tiba jatuh sakit. Tubuhnya melemah, dan dalam hitungan bulan, Arya meninggal dunia.

Seiring waktu berjalan, takdir seakan berputar kembali. Dari ketiga anaknya, hanya Aziz yang tampaknya mewarisi kemampuan ayahnya. Neneknya yaitu Ibu Arya, menyadari bahwa cucunya ini memiliki kemampuan yang sama seperti Arya.

Kejadian samapun terulang oleh Aziz, mencintai sosok perempuan dari perkampungan gaib di Bukit Penyampar. Namun, neneknya dapat menyelesaikannya kembali seperti kejadiannya yang dialami oleh Arya dulunya.

Waktupun berlalu, Aziz menikahi gadis desa, seperti ayahnya dahulu. Bersama istrinya, Aziz dikaruniai dua orang putri yang cantik. Putri pertama mereka tumbuh dengan ceria dan normal, namun anak terakhir mereka, Aisyah, lahir dengan sesuatu yang berbeda.

Sejak kelahirannya, Aziz dapat merasakan aura yang istimewa di sekitar putrinya, sebuah tanda bahwa Aisyah akan mewarisi hal yang sama.

Tak lama setelah kelahiran Aisyah, Aziz juga jatuh sakit, sama seperti ayahnya. Penyakit yang tak diketahui asal-usulnya merenggut nyawanya secara perlahan.

Aisyah, si bungsu yang mewarisi kemampuan sama seperti ayah dan kakeknya, tumbuh dengan keheningan yang penuh tanda-tanda.

Setelah beranjak dewasa, Aisyah kembali dihantui oleh mimpi tentang sosok laki-laki tampan yang menunggunya dari bawah Bukit Penyampar.

Dalam pencarian jawaban, ia bertanya kepada Bibinya yaitu kakak perempuan dari ayahnya Aziz. Dari sang bibi, Aisyah mendengar kisah yang mengejutkan tentang keluarganya. Kisah yang selama ini dirahasiakan oleh neneknya, Ibu Arya, untuk melindungi keluarga mereka dari peristiwa gaib yang sama.

Mendengar kisah keluarganya yang turun temurun, Aisyah merasa dirinya terjerat oleh takdir yang tak bisa ia hindari. Ia tahu, kehadiran tentang laki-laki dari Bukit Penyampar adalah cerminan janji lama yang belum terbayar.

Aisyah bukanlah perempuan yang lemah, ia terpaksa membuat keputusan yang tak biasa, ia memutuskan untuk tidak menikah. Baginya, cara terbaik untuk memutus rantai takdir ini adalah dengan tidak memberikan kesempatan bagi janji itu untuk diteruskan ke generasi berikutnya.

Tahun demi tahun berlalu, Aisyah tetap teguh dengan keputusannya. Ia tumbuh menjadi seorang perempuan yang kuat, tapi kesendiriannya selalu membayangi hidupnya. Penduduk desa mulai berbicara dibelakangnya, mengejeknya sebagai “Dayang Tua”.

Cemoohan itu semakin keras,membuat Aisyah memutuskan untuk pindah dan tinggal dipuncak Bukit Penyampar, bukit yang selama ini menjadi simbol misteri keluarganya.

Diatas bukit itu, Aisyah menjalani kehidupannya penuh dengan keheningan. Sosok laki-laki gaib itu selalu muncul dan hilang dihadapannya, tapi selalu dalam jarak, dan tak pernah mendekat. Aisyah tak lagi takut, ia hanya tersenyum menatap kehadirannya.

Sampai di hari-hari terakhirnya, Aisyah tetap tinggal di atas bukit itu. Dan ketika ajalnya menjemput, ia pergi dengan hati yang tenang, seolah-olah sudah menyelesaikan tugas terakhirnya, membebaskan dirinya dan keturunannya dari bayangan masa lalu.

Bukit itu, yang dulunya dikenal sebagai Bukit Penyampar, kini dikenang oleh penduduk desa sebagai “Bukit Nenek”.

Sebuah bukit yang menyimpan cerita tentang seorang perempuan kuat yang memilih jalannya sendiri, jauh dari cemoohan orang-orang, dan dari takdir yang sudah dituliskan jauh sebelum ia dilahirkan. Di bukit itu, Aisyah menjadi legenda, legenda tentang cinta yang tak pernah terselesaikan dan janji yang abadi, namun terhenti di tangannya.

 

Bersambung

Toboali, 30 September 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *