Penulis: Arsiya Oganara
Aku tertegun memandangi patung Selamat Datang dengan perasaan sedih. “Kesedihan di tengah-tengah keramain”, gumamku.
Langit mendung kota Jakarta di sore itu tidak sedikitpun mengurangi ramainya orang-orang yang ingin pulang setelah seharian melakukan aktifitas.
Aku masih memandangi patung Selamat Datang. Ku lihat patung sepasang pemuda dan pemudi yang gagah, perkasa dan bersahaja mengangkat tinggi tangan kanana dengan telapak tangan terbuka.
Seikat bunga di tangan kiri dipegang erat pemudi yang anggun. “Selamat Datang Di Kota Jakarta”, pikir ku.
Cuaca dingin dan tidak begitu terang seperti hari-hari kemarin tak dihiraukan warga Jakarta dan sekitarnya untuk mengmbil kesempatan berfoto dari segala sisi. “Suasana metropolitan paduan padatnya kendaraan, gedung-gedung tinggi, mondar-mandirnya orang merupakan ciri khas Jakarta”, gumamku.
Tak terkecuali, wanita muda bersama dua temannya yang asyik mengabadikan gaya terbaik berlatar patung Selamat Datang dengan kamera handphone di Jalan M.H Thamrin tepat depan Plaza Indonesia (PI).
Terbetik di hatiku untuk menyapanya sekedar menanyakan arti serta keberadaan patung Selamat Datang.
“Selamat sore”, sapaku dengan ramah.
“Sore”, jawab wanita muda cantik dengan hangat.
“Apa sejarah yang Mba ingat tentang patung ini?”, tanyaku.
“Óh, ini patung Selamat Datang yang ada di Bundaran HI”, ucapnya.
“Adakah info lainnya?’, lanjutku.
“Saya tahunya hanya itu”, ujarnya jujur.
“Mba dari Jakarta?’ tanyaku lagi.
“Saya dari Bintaro”, katanya.
“Terima kasih Mba atas kesediaan waktunya”, tutupku.
“Sama-sama’, pungkas wanita muda itu.
Aku masih memperhatikan orang-orang yang mondar-mandir. Aku coba mencari jawaban penasaran. Aku tanya lagi beberapa orang.
Namun, ternyata mereka juga tidak tahu banyak sejarah patung Selamat Datang. Tenyata wanita muda itu tidak sendirian dalam ketidak tahuannya.
Aku mulai lagi bertanya pada dua wanita berseragam putih, “Aparat Sipil Negara atau ASN”, dugaku.
“Selamat sore, boleh saya bincang-bincang sebentar, kurang dari dua menit?” sapaku.
“Maaf, saya buru-buru”, ujar satu diantara mereka.
Aku terus mencoba, tetapi mereka benar-benar tidak tahu sejarah keberadan patung Selamat Datang.
Beberapa wisatawan mancanegara juga mengambil gambar. Akan tetapi mereka tidak bersedia bercakap-cakap denganku, kami hanya say “Hello”. Ada juga yang tidak bisa bahasa lnggris.
Inilah awal kesedihanku. “begitu banyak informasi yang tidak mereka ketahui”, terkaku. Aku mengamati seputaran patung Selamat Datang. Ku pandang dek diseberang jalan, banyak juga wisatawan di atas sana dan mereka lebih santai dibandingkan dengan orang-orang yang berada di jalan raya, imbuhku.
Akhirnya, aku mencoba menuju halte transjakarta Bundaran Hotel Indonesia (HI) Astra. Tiba di lampu merah, seorang pemuda dengan penampilan rapi menekan tombol dan tersenyum padaku. Aku balas senyumannya seraya mengaggukkan kepala. “Ramah juga pemuda ini”, ujarku. Tak berapa lama lampu mulai hijau pertanda kami bisa memanfaatkan untuk menyeberang. Aku percepat langkah menyeberang zebra cross.
“Selamat sore”, ucap wanita muda berseragam biru tua dengan celana krem panjang yang banyak kantong dan pakai sepatu booth hitam. “Sore”, jawabku. Ternyata wanita muda itu petugas transjakarta yang siap membantu para pengguna moda ini, minimal tegur sapa. Dengan sigap aku tempelkan kartu bayar di pintu masuk halte transjakarta dan secara otomatis pintu terbuka.
Aku belah antrian ramainya orang-orang yang menunggu transjakarta. Aku langsung menaiki escalator menuju dek lantai dua tempat terbaik untuk berfoto bersama patung Selamat Datang serta Jalan. M.H Thamrin dan tampak pusat perbelanjaan Sarinah yang dibangun zaman Bung Karno dan Monumen Nasional (Monas) tampak dikejauhan.
Memang, dek arah Monas hanya ada beberapa orang saja, tidak seramai dek arah jalan Jend. Sudirman.
Kulihat papan kaca beserta kertas bertuliskan informasi patung Selamat Datang sebelum pintu masuk dek yang dijaga pria muda. Ramainya orang yang ingin mengabadikan pemandangan indah dengan gedung pencakar langit dan rapatnya kendaraan sehingga perlu dibatasi waktu.
“Wah, bagus nih ada info tentang patung Selamat Datang”, ujarku. Akan tetapi tak seorang pun yang membaca papan kaca ini.
Berawal dari Sea Games ke IV pada tahun 1963. Presiden Soekarno memberanikan diri untuk menjadi tuan rumah perhelatan olahraga antar negara Asean. “Hebat”, pikir ku.
Walaupun menuai kritik pedas beberapa negara anggota, mengingat keadaan ekonomi lndonesia saat itu masih morat marit. Namun semangat Bung Karno mengalahkan segalanya. Aku berdecak kagum dengan keberanian Bung Karno.
Patung Selamat Datang menghadap ke arah Bandara Internasional Kemayoran menyambut dengan penuh antusias kedatangan para kontingen menuju Hotel Indonesia tempat mereka menguatkan keinginan sebagai pemenang. Kemudian mereka wujudkan cita-cita saat perlombaan di Satadion Utama Gelora Bung Karno (GBK). Para kontingen juga membeli hasil kerajinan tangan Indonesia di Sarinah.
Pikiranku mulai melayang mengingat bandara pertama di lndonesia ini. Ingatan ku mengatakan, Bandara Internasional Kemayoran dibangun zaman Belanda, perlu waktu 6 tahun untuk membangun bandara, tepatnya pada tahun 1934. Bandara diresmikan kolonial Belanda pada tanggal 6 Juli 1940.
“Bandara mengakhiri fungsinya pada tahun 1970, penerbangan dipindahkan ke Bandara Cililitan atau Halim Perdana Kusuma”, aku berpikir keras mengingat sejarah bandara ini. Sekarang, area ini menjadi Jakarta International Expo.
Ku alihkan pandangan ke Hotel Indonesia, sekarang namanya Hotel Indonesia Kempinski Jakarta. “Ini merupakan hotel mewah dan bersejarah, merupakan hotel bintang lima pertama di Indonesia”, ingatku. Sengaja Bung Karno ingin memperlihatkan kemakmuran lndonesia di mata dunia.
“Hotel unik dan ditetapkan menjadi cagar budaya oleh pemerintah daerah Jakarta pada tanggal 29 Maret 1993”, decakku. Saat ini fasilitas hotel semakin modern dan pengguna semakin ramai memanfaatkan fasilitas hotel bintang lima di lokasi paling strategis.
Tiba-tiba aku teringat cerita awal mula dibangun Stadion Utama GBK. Merupakan hasil pembebasan tanah bermandikan kebersamaan dan semangat membara yang bisa menghapus rasa berontak ketika mereka dipindahkan ke Tebet. “Bagai bumi dan langit ketika ada pembebasan tanah saat ini”, pikir ku.
Berada di wilayah Gelora, pemberian nama stadion utama karena ada beberapa stadion pendukung disekitarnya, sebut saja stadion tenis dan lainnya.
“Aku merasa bangga karena stadion laksana cincin besar yang melingakar, nama lain temu gelang dengan konstruksi atap baja besar dan sesuatu yang langka pada zamanya”, kata hatiku.
Maka, para penonton terhindar dari panasnya cahaya matahari dan terhindar dari hujan juga cincin raksasa ini tampak megah dan agung.
Masa kini semakin banyak orang-orang olah raga baik siang ataupun malam untuk menjaga kebugaran tubuh. Tentu perttandingan tingakat nasional dan dunia terus berlanjut di Stadion Utama GBK.
Kembali aku mencoba mencari benang merah Sejarah Sea Games yang diadakan di Jakarta Indonesia. “Sarinah yang di Jalan M.H Thamrin”, tambahku.
Sarinah merupakan bangunana yang menyimpan cerita menarik dari tahun ke tahun sampai saat ini. Sarinah merupakan pusat perbelanjaan pertama dan tertua di Indonesia.
“Gedung ini mulai diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1962”, ingatku lagi. Sarianh merupakan sebuah nama seorang wanita yang mempunyai ikatan batin dan sejarah dengan Bung Karno. Sarinah merupakan pengasuh Soekarno masa kanak-kanak. Bung Karno mengabadikan nama ini untuk mengenang jasa-jasa Sarinah.
Saat ini Sarinah merupakan pusat bisnis tidak hanya pusat perbelanjaan akan tetapi perkantoran yang menambah semakin ramai pengunjung di mall ini.
Langkah kaki, ku arahkan menuju ujung dek tempat memanjakan mata bagi siapa saja yang berada di area ini. Banyak juga orang-orang, tua muda, remaja juga anak-anak. Sejoli remaja tampak malu-malu dan grogi saat ku coba menyapanya.
“Halo”, sapaku pada sejoli ini.
“Hai”, ujar remaja pria.
Belum sempat aku melanjutkan tegur sapa, remaja wanita dengan tersipu, “Maaf kak, kami harus segera pergi”, ujarnya buru-buru menarik tangan rekannya. Ku lihat remaja pria terpaksa menuruti tarikan tangan itu sembari menatap ku seolah orang yang bersalah. Aku langsung mengangkat jempol kanan tanda setuju dengan kepergian mereka.
“Waktu tinggal lima menit”, ujar petugas di pintu masuk dek. Ku lihat puluhan orang baru dengan setia menunggu giliran untuk turut memanjakan bola mata. Orang pun berganti dengan yang baru. Begitu semangatnya mereka, aku bergumam. Namun pandanganku terhenti pada tiga anak dan dua wanita dewasa bergembira ria berfoto.
Aku mendekati satu anak pria seumuran anak SMP. “Hai, kakak ingin menanyakan beberapa pertanyaan”, ucapku.
“Ia”, ucapnya tersnyum ramah dan menganggukan kepala padaku. Tampak olehku, anak ini tidak sesempurna dua orang anak lainnya. Kadang tatapannya kosong dan wajahnya tanpa ekspresi.
“Apa yang adik ketahui tentang patung ini?”, tanyaku.
“Ini patung Selamat Datang, adanya di tengah bundaran HI. Itu Hotel Indonesianya”, ujar adik ini sumringah menunjuk ke arah hotel yang dimaksud.
“Dia juga sudah olah raga pagi di GBK loh”, ujar wanita dewasa yang diketahui sebagai tantenya.
“Wow, hebat”, puji ku.
Anak itupun tertawa riang sambil mengoyang-goyangkan badanya.
“Terima kasih ya”, ucap ku.
“Sama-sama”, jawab mereka secara bersamaan.
Akhirnya, adik ini mampu membasuh kesedihan yang melanda diri ku.
Kaum muda bisa napak tilas Sea games ke IV mulai dari Bandara Kemayoran Jakarta Pusat, lalu perjalanana dilanjutakan menuju Sarinah, kemudian Bundaran Hotel Indonesia beserta patung Selamat Datang. Napak tilas dilanjutakan menuju Stadion Utama GBK masih di Jakarta Pusat.
Aku berharap, suatu hari nanti patung Selamat Datang bisa memantik kaula muda dengan semangat berapi-api untuk mencapai kesuksesan di tengah kemelut metropolitan yang semakin ganas dan buas, lamunku. Setidaknya bisa membasuh kesedihan menjadi secercah harapan baru, harapku
#Tentang Penulis:
Arsiya Heni Puspita – Arsiya Oganara adalah nama penanya. Lulusan Sarjana Ilmu Komunikasi dengan hobi membaca dan travelling. Hobi ini pula yang mengantarkannya menjadi professional Journalist yang sudah mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dan dinyatakan Kompeten serta Professional Tourist Guide dan Professional Tour Leader, Licensed and Certified dari Disparekraf DKI Jakarta dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) lndonesia.
Saat ini mulai merambah ke dunia sastra dan kegemarannya menulis tersalurkan dengan menulis cerpen, puisi, puisi esai, dan lainnya.
Arsiya Oganara sangat senang bertemu dengan orang baru, persahabatan bisa dilakukan melalui medsosnya. FB: Arsiya Heny Puspita. IG: arsiyahenyhdl. Email: hennyarsiya@gmail.com.