Menelusuri Sejarah Karamnya Kapal-kapal Besar: Harta Karun Tersembunyi di Bawah Laut Pulau Leat

Oleh : Dwikki Ogi Dhaswara, S.Sos

http://hdl.handle.net/1887.1/item:2013659

Bekaespedia.com_Pulau Leat dan Selat Gaspar menyimpan catatan kelam terkait insiden pelayaran yang terjadi di era abad ke-18 hingga abad ke-19. Fenomena tenggelamnya kapal yang terjadi secara berulang di wilayah tersebut mengindikasikan bahwa zona ini menyimpan kompleksitas dan risiko navigasi yang tinggi bagi lalu lintas pelayaran pada masa itu.

Di antara reruntuhan kapal-kapal besar yang karam di perairan ini, tersembunyi sebuah kisah panjang mengenai bahaya yang mengintai di bawah permukaan laut dan kemungkinan besar menyimpan harta karun yang tak terhitung jumlahnya.

Beberapa insiden besar yang tercatat dalam sejarah menunjukkan bahwa perairan ini dulunya menjadi tempat tragedi yang menelan banyak korban jiwa dan kerugian yang besar. Beberapa kapal yang mengalami kecelakaan di wilayah ini antara lain:

  1. Vansittart (1789) saat akan mencari karang yang baru-baru ini menyebabkan karamnya sebuah kapal dagang India, kapal ini juga menabrak karang di Selat Macclesfield (antara Pulau Lepar dan Pulau Leat) setelah pencarian panjang terhadap bahaya tersembunyi. Insiden ini menunjukkan bahwa navigasi di sekitar wilayah ini sudah menjadi tantangan sejak abad ke-18. Operasi dimulai dengan pemetaan Pulau Leat, sebuah pulau di Selat Gaspar, di mana peta wilayah tersebut sepenuhnya digambar oleh Beaufort. Setelah pencarian tanpa hasil terhadap bahaya tersembunyi dari sebelas titik pengamatan berbeda, dan tepat ketika upaya itu hampir dihentikan, kapal Vansittart menabrak karang yang ternyata merupakan karang yang sedang mereka cari. Kapal mengalami kerusakan parah dengan sangat cepat, sehingga seluruh awak kapal harus menggunakan sekoci penyelamat. Mereka mengalami kesulitan besar sebelum akhirnya mereka mendapatkan bantuan. (Proceedings of the Royal Society of London, Vol. 9 (1857 – 1859), pp. 524-563)
  2. Alceste (1817) Kapal ini tenggelam di Pulau Leat setelah mengalami kerusakan. Sebanyak 32 awak kapal dan Lord Amherst berhasil melarikan diri ke Batavia. Pada bulan Oktober 1815, ia bergabung dengan kapal Alceste yang memiliki 38 meriam. Kapal ini, setelah mengantarkan Lord Amherst sebagai duta besar ke China, hilang dalam perjalanan pulang setelah menabrak batu karang yang terendam di Selat Gaspar pada tanggal 18 Februari 1817. Di sini, ia mengalami semua kesulitan yang dihadapi di pulau berbatu Pulo Leat, tempat kru kapal menyelamatkan diri. Mereka terancam mati karena kehausan dan terus-menerus diancam oleh bajak laut Melayu yang ganas, dengan perahu-perahu mereka yang berjumlah enam puluh, yang sepenuhnya memblokade mereka. The Journal of the Royal Geographical Society of London, Vol. 29 (1859)
  3. Tek Sing (1822) Kapal ini mengalami nasib yang lebih tragis di perairan yang sama. Dikenal sebagai “Titanic dari Timur,” Tek Sing membawa lebih dari 2.000 imigran Tionghoa dan muatan keramik yang besar. Kapal ini menabrak batu karang di Selat Gaspar dan tenggelam di kedalaman 30 meter. Hanya 180 orang yang berhasil selamat dalam kecelakaan ini. https://id.wikipedia.org/wiki/Kapal_Tek_Sing
  4. Calypso (1862) Kapal ini karam di sekitar Pulau Leat dalam perjalanan dari Jepang ke Belanda. Para penumpang yang selamat berhasil mencapai Pulau Lepar sebelum akhirnya dipindahkan ke Batavia. Sebagian besar muatan berhasil diselamatkan, tetapi kapal itu sendiri tidak dapat diselamatkan. Calypso karam di sekitar Pulau Leat dalam perjalanan dari Jepang ke Belanda. Di Toboali, tempat ia tiba pada pukul 22.00 di hari yang sama, Residen diberi tahu bahwa para penumpang kapal Calypso, bersama barang-barang yang berhasil mereka selamatkan, sedang tinggal di Pulau Lepar. Namun, mereka tidak menemukan kesempatan untuk berlayar ke Toboali dengan membawa semua barang mereka. Seluruh penumpang ditampung di rumah Mas Agoes, kepala kampung. Keesokan harinya (6 Desember), Residen kemudian berangkat dengan kapal uap Bronbeek menuju Pulau Lepar, di mana pada tanggal 7 Desember para penumpang Jepang dan beberapa awak kapal naik ke kapal tersebut.Pada pukul 17.00, mereka berlayar menuju Toboali, dan tiba pada pukul 22.00, tepat waktu untuk berpindah ke kapal Palembang, yang akan segera berangkat ke Batavia. Menjelang tengah malam, seluruh barang yang jumlahnya banyak telah berhasil dipindahkan. Dalam kecelakaan tersebut, para penumpang hanya kehilangan barang-barang kecil yang kemudian diganti di Batavia. Kapal akhirnya dapat berlayar dengan para perwira bepergian di kelas utama, sedangkan para pekerja di kelas kedua, dengan biaya ditanggung oleh pemerintah. Dengan cara ini, para penumpang, awak kapal, serta sebagian besar muatan berhasil diselamatkan. Notes on the Japanese Mission. Which was Shipwrecked Between Bangka and Billiton in 1862 on its Way from Japan to Holland via Batavia, Monumenta Nipponica, Vol. 5, No. 2 (Jul., 1942)

Ada banyak lagi kapal yang tenggelam di perairan Pulau Leat, namun keterbatasan literasi hanya bisa mengetahui beberapa tragedi saja. Dengan banyaknya kapal yang tenggelam di wilayah ini, Pulau Leat dan Selat Gaspar layak disebut sebagai tempat harta karun yang tersembunyi di bawah laut. Termasuk juga salah satu pulau yang terkenal menurut keterangan masyarakat Pulau Leat, yang kini dikenal sebagai Pulau Pongok, adalah Pulau Celagen, yang pada masa lalu dikenal dengan sebutan Pulau Celaka.

Pulau Celagen merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Pulau Leat atau Pulau Pongok hingga saat ini. Berdasarkan keterangan dari masyarakat setempat, pulau ini memiliki sejarah terkait dengan sejumlah besar kecelakaan kapal yang terjadi di wilayah perairannya. Kecelakaan-kecelakaan tersebut disebabkan oleh adanya formasi karang laut yang tersebar di sekitar pulau, yang hingga kini masih ada. Karang-karang tersebut menjadi bahaya navigasi yang signifikan bagi kapal-kapal yang melintasi wilayah tersebut, yang menjelaskan asal mula julukan “Pulau Celaka” pada masa lalu.

Fenomena ini memberikan dimensi yang lebih dalam dalam kajian arkeologi maritim, mengingat potensi besar yang terkandung dalam situs bawah laut tersebut, baik dari segi warisan budaya, sejarah navigasi, maupun pelajaran bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi navigasi modern.

Kapal-kapal yang tenggelam di sekitar Pulau Leat mencerminkan betapa pentingnya jalur laut ini dalam sejarah pelayaran antar berbagai bangsa pada masa itu. Keberadaan reruntuhan kapal yang terendam di perairan laut selama berabad-abad menandakan adanya kegiatan maritim yang padat, namun juga mengungkapkan tantangan besar yang dihadapi oleh para pelaut pada masa tersebut, termasuk navigasi yang sulit.

Kapal-kapal tenggelam ini membuka peluang untuk menggali artefak, teknologi, dan barang-barang yang dibawa oleh kapal-kapal tersebut, yang dapat memberikan wawasan tentang kebudayaan, perdagangan, dan hubungan internasional di masa lalu. Dengan menggunakan teknologi modern seperti pemetaan bawah laut dan penelitian, kawasan ini berpotensi menjadi tempat yang sangat kaya untuk eksplorasi lebih lanjut.

Sebagai potensi cagar budaya dan warisan bahari, Pulau Leat dan Selat Gaspar juga memiliki nilai strategis dalam konteks pelestarian alam dan peningkatan kesadaran tentang pentingnya konservasi bawah laut. Upaya untuk melindungi dan mengelola situs-situs ini sebagai bagian dari warisan budaya dapat memberikan manfaat ekonomi melalui pariwisata yang bertanggung jawab dan edukasi publik tentang sejarah maritim Indonesia.

Dengan demikian, kawasan ini tidak hanya menjadi saksi bisu sejarah kejayaan dan tragedi maritim, tetapi juga menawarkan peluang untuk penelitian akademis yang dapat memperkaya pengetahuan tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan maritim. Lebih dari itu, pengakuan dan perlindungan terhadapnya sebagai cagar budaya bahari akan memastikan bahwa harta karun bawah laut ini tetap terjaga untuk generasi mendatang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *