Budaya  

Ngetem; Tradisi Nyaris Punah

Proses Ngetem Padi

Penulis : Ali Usman, Pamong Budaya Disparbudkepora Kep. Bangka Belitung

Bekaespedia.com, Pangkalpinang_Seorang teman selalu berkata “ngopi itu tanpa gula,” dan saya berusaha mematuhi, terutama saat kongke-kongke di warung kopi yang kini menjamur di Pangkalpinang. Kopi manis cukup sekali dalam sehari dan itu buatan bini tercinta di kala matahari mulai bersinar. Cukup yang manis-manis di rumah, yang pahit di luar saja.
Urusan kopi mengkopi ini jadi wajib saat bertandang ke pundok kawan di pedalaman Belinyu. Jangan pernah menolak tawaran ini, urusan bakalan panjang. Kata orang Kepunen. Sedikit penyesuaian alias tambahan sedikit gula bukanlah perkara haram. Santai aja, toh tenggorokan ini butuh asupan manis setelah sekaput keliling 3 hume di 3 kaki gunung yang berbeda. Apalagi cuaca panas, pas la ngopi di temani angin sepoi-sepoi.
Bukan perkara perkopian yang membawa saya jauh-jauh naik mutor selama 2 jam lebih. Ada yang lebih menarik dalam pekan ini yakni Ngetem. Bukan bus menunggu penumpang ya. Walau sama-sama terancam eksistensinya, Ngetem ini berkiatan erat tradisi orang Bangka memanen padi di hume (ladang). Lokasinya berada di kaki gunung, masuk wilayah Aik Abik, di lahan sisa ekspansi sawit dan tiap tahun makin menyempit.
Lahan pertama milik mang Picing, orangtua dari Bukim salah satu pemuda penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa di kaki Gunung Damar. Di area seluas 3/4 hektar ditanami padi jenis Mayang Asem ; berbulir lonjong panjang dan beras merah. Sedikit tercampur padi hutan yang berbentuk bulat lonjong dan beras merah. Mulai ditanam di bulan ke-8 kalender China dan panen bulan ke-1. Tahun ini tidak terlalu bagus produksinya, kalah cepat dengan tikus, burung Kemprit dan burung Betutu. Namun tetap disyukuri. Mereka memanen padi tidak menggunakan alat, seperti ani-ani atau Arit. Cukup gabah ditarik pakai kedua tangan. Tanpa sarung tangan lho. Setelah itu ditaruk di Kiding yang diikat di perut. Setelah Kiding penuh dikumpulkan di Lanjong/Kenceng/Belubur/Palong atau kini digantikan Karung. Setelah itu dijemur sampai kering, diinjak untuk memisahkan gabah yang masih melekat di tangkainya dan terakhir diayak untuk memisahkan padi dengan tangkainya. Diperkirakan dapat 200 kg beras dan semuanya dikonsumsi keluarga. Pantang menjualnya dan jika membutuhkan sesuatu ditukar dengan sistem barter.
Lokasi kedua hume milik mang Kaca, salah satu pemuka adat Mapur di kaki Gunung Cundong. Padi yang ditanam jenis Rum yang berbentuk lonjong panjang dan beras putih. Rezeki mang Kaca lebih bagus, padinya tumbuh subur dan tidak diganggu hama. Diperkirakan lahan 3/4 Ha ini akan menghasilkan 700 kg beras. Lahan terakhir yang kita kunjungi milik ketua Lembaga Adat Mapur bang Asi di Aik Bulan dengan lahan 1 Ha ditanami padi jenis Mayang Madu yang berbulir lonjong panjang dan beras merah.
Sebenarnya masih ada lagi lahan berume yang sedang ngetem, cuma tawaran singgah di pundok pamannya Asi tidak pacak ditolak, apalagi dengan segelas kopi hitamnya. Kisah berlanjut proses pembangunan Kampung Budaya Gebong Memarong dengan tujuh bubungnya. (AU)

Salam Budaya
Atok Usang di Paritpadang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *