Oleh :
Akhmad Elvian dan Ali Usman
Pendahuluan
Dalam sistem kelautan Indonesia, kawasan selat Bangka merupakan bagian dari kesatuan wilayah perairan yang meliputi Laut Cina Selatan dan Selat Malaka, khususnya yang dibatasi oleh pantai Timur Sumatera dan pantai Kalimantan Barat, jadi yang mencakup pulau alur-alur pelayaran di sela-sela Kepulauan Riau dan Lingga serta Kepulauan Bangka dan Belitung. Berdasarkan catatan dari Cina, Ying-yai Sheng-lan (Laporan Umum dari Pantai-pantai Lautan) yang ditulis pada Tahun 1416 Masehi oleh musafir Cina Mahuan yang ikut dalam ekspedisi Cheng Ho, disebutkan: “…kapal-kapal yang datang dari manapun memasuki Selat Peng-chia (Selat Bangka) yang berair tawar. Jalan menuju ibukota makin sempit” (Groeneveldt, W.P., 1960:73). Sementara yang dimaksudkan oleh Mahuan dengan “Selat Peng-Chia yang berair tawar” adalah selat Bangka dengan banyaknya sungai-sungai besar di pesisir Timur pulau Sumatera dan sungai-sungai besar di pesisir Barat pulau Bangka yang mengalir dan bermuara di selat Bangka (Peng-Chia).
Pelaut-pelaut Cina menggunakan Bukit Menumbing (orang Bangka menyebutnya gunung) sebagai pedoman untuk memasuki daerah perairan Musi. Dalam peta Mao K’un yang dibuat oleh Mahuan pada sekitar awal abad ke-15 Masehi, disebutkan nama Peng-chia Shan (Mills, 1970). Nama ini oleh O.W Wolters, dalam “A Note on the Historical Geography of Sungsang Village on the Estuary of the Musi River in Southern Sumatera”, diidentifikasikan dengan Bukit Menumbing yang letaknya di sebelah Barat laut pulau Bangka. “Ketika buritan kapal diarahkan ke Niu-t’ui-ch’in pusat bukit pada rangkaian perbukitan Menumbing (maksudnya: “rangkaian bukit/gunung terdiri atas Dulang Pecah, Menumbing dan Kukus”), anda dapat terus berlayar memasuki Terusan Lama (Musi). Garis daratan di hadapan Bangka terdapat tiga terusan. Terusan yang di tengah (Terusan Lama) adalah jalan yang benar. Di situ ada sebuah pulau kecil”.
Pantai Timur Sumatera dan pantai Barat Bangka serta selat Bangka berada dalam posisi yang sangat menguntungkan dalam jalur pelayaran dan perdagangan dimasa lampau, ketika dunia pelayaran masih bergantung pada sistem angin muson yang berubah-ubah arah tujuannya setiap Enam bulan. Tak pelak lagi di kawasan ini lalulintas dari segala arah bertemu untuk menantikan angin yang cocok agar para pelayar bisa melanjutkan perjalanannya. Dan, tidaklah mengherankan jika pantai ini dianggap sebagai “Pantai Niaga yang disenangi” (the favoured commercial coast) di kawasan Barat Indonesia, sebagaimana yang telah diuraikan secara panjang lebar oleh O.W. Wolters dalam karyanya tentang masa sebelum Sriwijaya. Selat Bangka dan kawasan yang berada di pantai Timur pulau Sumatera dan di sepanjang pesisir Barat pulau Bangka, juga menjadi strategis dan sangat penting pada masa kekuasaan Palembang abad 17 dan abad 18 Masehi serta pada masa kolonialisme bangsa asing kulit putih di Nusantara karena merupakan jalur pintu masuk ke pulau Sumatera dan pulau Bangka serta karena kawasan tersebut menghasilkan Lada (Sahang) dan Timah sebagai komoditas yang laku di pasaran dunia. (bersambung)