Oleh ; Rusmin Sopian
bekaespedia.com_ Arti pembisik menurut Kamus besar bahasa Indonesia adalah orang membisikan sesuatu kepada orang lain. Makna lain dari pembisik adalah orang yg bertugas membisikkan apa yg harus dikatakan oleh pemain lain dl sandiwara.
Berkoherensi dengan pemimpin, tentunya seorang pemimpin perlu orang-orang yang memiliki ketrampilan dan pengetahuan, mengingat seorang pemimpin memiliki keterbatasan semiotic. Tak semua ketrampilan dan pengetahuan diketahui seorang pemimpin.
Mereka dan orang-orang yang berada di sekitar lingkaran pemimpin sering dikatakan sebagai orang dekat, tangan kanan atau pembisik. Mereka itu bisa dikategorikan sebagai salah seorang yang dipercaya oleh pemimpin tersebut.
Oleh sebab itulah, para pembisik tersebut tentu saja memiliki keterampilan dan pengetahuan tertentu sehingga sangat dipercaya pemimpin. Tidak mungkin mereka yang berada dalam lingkaran pemimpin tidak berpengetahuan tinggi, dan tentunya apa yang disampaikan mereka tentu memiliki makna yang penting bagi seorang pemimpin dalam mengemban amanah rakyat.
Keinginan untuk tidak lagi dicalonkan sebagai presiden sungguh-sungguh keluar dari sanubari beliau,” tulis Sumardjono, ajudan terakhir Pak Harto, dalam buku ‘Pak Harto, The Untold Stories’ (2011).
Bukan hanya Pak Harto yang berkehendak mundur. Mantan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Mien Sugandhi, mengungkapkan pada 1996 bu Tien Soeharto juga mengatakan berkali-kali tidak ingin suaminya menjabat lagi sebagai presiden.
“Tiba-tiba Ibu Tien berkata kepada saya, ‘Tolong katakan kepada ….. (Ibu Tien menyebut seorang petinggi Partai penguasa saat itu), agar Pak Harto jangan menjadi presiden lagi. Sudah cukup, sudah cukup, beliau sudah tua’,” kata Mien Sugandhi, menirukan ucapan Ibu Tien dalam suatu acara.
Tapi beberapa pembantu Pak Harto meyakinkan beliau untuk menjadi Presiden RI kembali. “Mayoritas rakyat Indonesia tetap menghendaki Bapak Haji Muhammad Soeharto untuk dicalonkan menjadi Presiden masa bakti 1998-2003,” kata pimpinan partai penguasa saat itu.
Hati Pak Harto goyah. Ia berubah pikiran dan menerima pencalonan kembali sebagai Presiden. Dua bulan kemudian Pak Harto mengundurkan diri sebagai Presiden akibat gelombang reformasi dan para menterinya tidak mau lagi bekerja sama.
Sejarah penuh dengan pelajaran tentang para pemimpin/penguasa yang goyah karena rayuan fatamorgana dari orang-orang dekatnya.
Kisah-kisah mulai dari Bharatayudha hingga serial fiksi Game of Thrones menunjukkan bagaimana peran orang-orang dibalik layar ini untuk mempengaruhi keputusan penguasa, dengan berbagai alasan. Pada titik inilah, keteguhan hati dan kenegarawanan seorang tokoh politik diuji.
Dari narasi diatas dapat kita petik sebuah pembelajaran bahwa ada orang disekitaran pemimpin yang terkadang menyampaikan apa yang terjadi lapangan tidak sesuai dengan realita sebenarnya.
Banyak yang menyampaikan kepada pemimpin dengan prinsip Asal Bapak Senang (ABS) yang mengakibatkan seorang pemimpin terjerumus dalam lembah kenistaan dan gagal mengakhiri kepemimpinannya dengan jalan yang baik.
Kearifan dan kebijakan seorang pemimpin sangat ditentukan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya. Kebijakannya akan sejalan dengan prinsip keadilan.
Itu dapat terjadi bila kolega atau pembantu terdekatnya adalah orang-orang yang bijak, yang tidak silau dengan segala gemerlap dunia. Bukan pula sekadar mencari muka atasannya. Pemegang kekuasaan butuh pendamping yang dapat memberi solusi terbaik dalam problem yang ada.
Alangkah buruknya bila pemimpin itu dikelilingi pembisik bermental buruk dan berjiwa aji mumpung, yang hanya bisa meniupkan ide-ide buruk yang menyengsarakan rakyat.
Pembisik bermulut bau enggan memberi nasihat bila atasannya berbuat khilaf, ia malah membiarkan hal itu dan dia mengaku siap pasang badan untuk memberi rasa aman.
Seorang kepercayaan pemimpin yang jujur pasti akan memberikan informasi yang benar terhadap pemimpinnya, tetapi seorang kepercayaan yang tidak jujur tentu akan memberikan informasi yang tidak benar kepada pemimpinnya.
Orang yang terakhir ini lah biasanya yang selalu menghasut dan membisikkan informasi-informasi yang justru bukan memperkuat kepemimpinannya, melainkan akan menurunkan integritas kepemimpinannya. Pada sisi lain, seorang pemimpin tidak besar kepala dengan kuantitas pengikut.
Untuk menjadi pemimpin dan pemuka, sudah barang pasti membutuhkan rakyat atau pengikut. Sehingga, sebisa mungkin mereka akan melakukan banyak hal untuk memperbesar dan memperbanyak jumlah pengikut tersebut. Ini agar otoritas dan hegemoni kekuasaannya meluas .
Secara umum manusia, bila memegang tampuk pimpinan, menjadi berbangga atas banyaknya pengikut dan luasnya cakupan wilayah, namun jarang sekali yang menerawang lebih jauh ke depan, bahwa urusan kepemimpinan itu bukan urusan duniawi semata, melainkan juga menyangkut urusan ukhrawi.
Pemimpin yang hanya tertipu ilusi jumlah bilangan pengikut, namun lupa akan tugasnya, kelak pengikut-pengikutnya itu adalah musuh nyata yang menuntut pertanggungjawabannya di akhirat.
Pemimpin yang bermental penguasa dengan hanya memperbudak bawahannya, kelak di akhirat akan berlaku sebaliknya. Perkara berat inilah yang harus menjadi perhatian serius bagi setiap pemimpin.
Kesuksesan seorang pemimpin sejati dalam memimpin hanya terjadi saat dia menjadikan rakyat sebagai pembisik sejati sebelum mengambil sebuah keputusan. Keberhasilan seorang pemimpin dalam memimpin hanya teraplikasikan dengan baik, ketika suara rakyat yang tulus terdengar di jiwa pemimpin dan mengaplikasikan suara rakyat yang ikhlas untuk kepentingan kesejatian rakyat.
Bukan justru mendengar buah dari bisikan mulut bau dari para pembisik dan orang-orang sekitar yang melingkari para pemimpin. (DM)