Opini  

Pemimpin Pengabdi

don’t want to take anything from my people

Bung Karno dan M. Hatta (Sumber : Warta Kebangsaan)

Oleh : Rusmin Sopian

Bekaespedia.com _ Merasakan kesulitan orang lain merupakan jalan penderitaan yang telah diteladankan para pendiri bangsa Indonesia di masa silam.

Sebagai warga bangsa, kita tentunya sangat ingat ketika Bung Karno memilih jalan hidup penderitaan dengan hidup dari satu pengasingan ke pengasingan yang lain dengan hidup serba kekurangan.

Bahkan ketika menjabat sebagai presiden, rakyat seluruh negeri ini tahu, bahwa Bung Karno tidak memiliki rumah dan gedung.

Cara hidup demikian merupakan wujud dari empati dan tanggung jawab kemanusiaan kepada sesama.

Bagi Bung Karno, seorang pemimpin harus berupaya memberikan yang terbaik untuk negerinya, bukan sebaliknya, memanfaatkan kekuasaan atau jabatan untuk mengambil keuntungan dari negara dan rakyatnya.

“I don’t want to take anything from my people (Aku tidak ingin mengambil sesuatu dari rakyatku),” ujar Bung Karno. “Aku justru ingin memberi mereka.”lanjut Presiden pertama ini.

Sikap pendiri bangsa itu memberikan arti penting dalam memaknai kekuasaan atau jabatan sebagai pengabdian yang hanya beroreintasi untuk berkerja sebaik-baiknya bagi rakyat.

Seorang pemimpin tidak layak berpikir tentang mendapat apa, tetapi berfokus untuk memberikan sumbangsih terbaik selama masa kepemimpinannya.

Sebagai pendiri bangsa, Bung Karno memberikan teladan penting soal etika bernegara dengan memaknai jabatan sebagai jalan pengabdian.

Sikap ini mestinya dan sangat layak ditiru para pemimpin masa kini sehingga tidak berpikir untuk megeksploitasi kekayaan negara demi hidup bermewah-mewahan di tengah hidup rakyat yang terbatas dan serba kesusahan.

Pejabat publik perlu belajar dari hidup sebagai pengabdian yang telah diajarkan dan diwariskan Bung Karno.

Selain Bung Karno, Haji Agus Salim dan Mohammad Hatta, adalah di antara para pendiri bangsa yang memberikan teladan pengabdian hidup untuk negerinya.

Agus Salim adalah sosok pendiri bangsa yang menjalani hidup dengan sangat sederhana.

Sejarah telah menuliskan bagaimana salah satu pendiri bangsa itu hidup dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Bahkan pernah hidup tanpa listrik, dan tidak pernah punya rumah sampai akhir hayatnya.

Kalau pun beliau ingin hidup serba berkecukupan penuh kemewahan, tentunya sangat bisa.
Tetapi ia menjiwai sikap hidup, bahwa jalan memimpin adalah jalan penderitaan, sehingga dia hidup bersama rakyat.

Begitu pula dengan Hatta yang menjadi teladan penting dalam memilih jalan hidup yang sangat sederhana.

Usai melepas jabatannya sebagai Wakil Presiden RI pada tahun 1956, Hatta tak punya cukup uang untuk membayar tagihan listrik. Bahkan sekelas Wakil Presiden tak mampu membeli sepatu merk Belly.

Sebagai pendiri bangsa, Hatta menjiwai sepenuh hati tentang arti kehidupan rakyat biasa, dengan penuh sadar dalam memilih jalan hidup yang sangat sederhana sebagaimana yang dialami oleh rakyat biasa.

Keteladanan moral yang ditunjukkan Soekarno, Agus Salim, dan Hatta merupakan pedoman penting bagi para pejabat di masa kini dalam menjalani masa tugas kepemimpinan dan sebagai pemimpin.

Pemimpin seharusnya menunjukkan spirit pengabdian untuk Negara, daerah dan rakyatnya.

Para pemimpin masa kini harus belajar dari ketulusan hidup para pendiri bangsa dalam mengabdi untuk negara dan rakyatnya.

Sangat penting untuk meneladani sikap para pendiri bangsa yang rela mendarmabaktikan pikiran dan hatinya untuk memilih hidup sederhana dan bahkan ikut serta menderita bersama rakyatnya demi masa depan Indonesia yang maju dan sejahtera.

Tak heran bila nama mereka selalu harum dalam aroma jiwa raga warga bangsa ini yang berkehidupan dari Pulau Miangas hingga Rote, sebab mereka, para pemimpin dulu mewarisi keteladanan hidup dan pelajaran moral dari mereka sebagai pemimpin yang berjiwa pengabdi dan mengabdi untuk kepentingan rakyatnya.

Bukan menjadi pemimpin untuk memperkaya diri dan keluarga serta kelompoknya.

Tak ada sama sekali dalam rumus hidup dan kehidupan mereka sebagai pemimpin, amanah yang diberikan warga dimanfaatkan untuk memperkaya diri dan memamerkan kemewahan kepada publik yang justru memberikan amanah kepada dirinya sebagai pemimpin.

Amanah yang mereka emban dari warga sebagai pemimpin memang mereka manfaatkan untuk kepentingan rakyatnya.

Mereka berjuang untuk kesejahteraan rakyatnya. Dan itu bukan dalam bentuk diksi. Apalagi narasi.
Itu kongrit mereka praktekan dalam kehidupan mereka saat memimpin bangsa ini.

Pertanyaannya adalah apakah pemimpin yang kita pilih saat kontestasi demokrasi di tempat pemungutan suara adalah pemimpin yang mengabdi kepada kita sebagai rakyat?

Hanya hati nurani yang tulus yang bisa menjawabnya tanpa perlu kita bertanya kepada rumput yang bergoyang sebagaimana yang disarankan penyanyi balada Ebiet G. Ade.

Toboali, 3 Mei 2023. (D.E.M)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *