Oleh : Dwikki Ogi Dhaswara
Bekaespedia.com_Mei 1812 Masehi, ketika kekuasaan Inggris atas Pulau Bangka berhadapan dengan malapetaka yaitu perlawanan Rakyat Toboali yang dipimpin oleh Raden Kling dan puteranya Raden Ali.
Monopoli perdagangan Timah dan blokade terhadap perairan disekitar selat Bangka oleh Inggris menyebabkan berkurangnya penghasilan Kesultanan Palembang. Hal itu juga yang menjadi pemicu perlawanan rakyat di wilayah bagian Selatan pulau Bangka yang berpusat di pangkal Toboali.
Mereka datang tanpa rasa takut, menjadi sebuah kisah pertempuran tanpa mundur. Bunyi seruan perang menggema diudara, melangkah maju dengan tekad yang tiada tara.
Meriam dan pedang adalah senjata, dibungkus oleh semangat yang membara, menjadi kekuatan untuk berdiri bersama. Mengusir dan menyuarakan perlawanan kepada Inggris, bukan kepalang dengan tekad yang tak tergoyahkan, mereka merendam kekuatan Inggris tanpa ampun membingkai, mengabadikan, dan mewujudkannya menjadi kisah malapetaka yang menjadi nyata.
“Rebut semuanya, sungguh aku ingin melihat kehancuran dan ketakutan di wajah mereka!”. Ucap Raden Ali sambil menggenggam dan menancapkan bendera perang yang berwarna hitam ke tanah.
Dari kejauhan Raden Kling membawa meriam tangan, bersama Rakyat Toboali bergerak laksana pasukan perang lapis kedua. Bersatu dalam kebersamaan, menggabungkan kekuatan seolah bersiap meluluh lantakan kekuasaan inggris di Benteng Pertahanan Toboali.
Waktu mengiringi dibelakang pundaknya, bersemayam perlawanan yang berkobar menuntut keadilan dan kebebasan. Pecahnya peluru dan hentakan pedang adalah raungan reruntuhan.
Setelah menembakan meriam tangannya. Raden Kling mengangkat tangannya sambil menggenggam meriamnya, berkata dengan suara lantang dan berani “Kita takkan tunduk pada bangsa asing, kita adalah para pejuang yang tak terkalahkan, menghadapi badai ketidakadilan dengan keberanian”.
Mendengar perkataan Ayahnya, Raden Ali juga tidak tinggal diam menyemangati pasukannya, sambil memegang pedangnya “Kita tak akan pernah menyerah, tak akan pernah menutup mata, kita adalah cahaya yang menyinari jalan kebebasan, perlawanan kita ini adalah nyanyian keadilan, senjata cinta dan kebenaran”.
Tak butuh waktu lama, Distrik Toobooali sebagai residen Inggris pada saat itu menyerah. Mereka tersudut dan terpuruk akan kekuatan perlawanan Rakyat Toboali.
Untaian kata dari Raden Kling dan Raden Ali bagaikan api semangat yang membara dalam diri, menjadi pandu kekuatan yang membawa sinar kemenangan, sinar yang mengantarkan kejayaan gemilang pada hari itu.
Dibawah kepemimpinan Raden Kling dan Raden Ali, Rakyat Toboali menang lebih dari sekadar prestasi, mereka menemukan potensi dalam diri, melebihi batas yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Akan tetapi, kemenangan itu mengantarkan mereka kepada tugas yang berat untuk mempertahankannya.
Raden Kling berkata kepada seluruh Rakyat Toboali ditempat itu, “Kemenangan perang adalah suatu pencapaian yang berat. Meskipun merayakannya, kita harus ingat, bahwa perang adalah tragedi yang tak memiliki pemenang abadi”. Sambil menghela nafas kelelahan.
Ingatlah “Sejatinya kemenangan adalah tercapainya perdamaian, tetapi tidak untuk bangsa asing yang menjajah dan merebut harta rumah kita sendiri”. Ucap Raden Kling.
Selesai sudah pertempuran dihari itu, puing-puing perang menutupi tanah yang ditumbuhi rerumputan subur dan rapi, meninggalkan kenangan berdarah dan pedih. Membangun harapan baru, bersatu dalam usaha untuk memulihkan penghasilan Rakyat Toboali dan Kesultanan Palembang.
Di hari itu juga, Raden Ali ditugaskan oleh Raden Kling untuk menyampaikan berita kemenangan ini kepada saudara serta sahabat terbaiknya yaitu Raden Sa’bah di Benteng Pertahanan Sungai Nyire.
“Beritakanlah kemenangan ini kepadanya, wahai anakku!. Tanyakan padanya, apakah ada yang bisa kita bantu disana?”. Perintah Raden Kling kepada anaknya Raden Ali.
“Baiklah Ayah, tetapi apakah sepeninggalanku ini, akan membuat Toboali diserang kembali oleh Inggris?”. Ujar Raden Ali.
“Tak perlu kau khawatirkan, aku bersama Rakyat Toboali yang tak pernah gentar akan pertempuran!”. Jawab Raden Kling.
Raden Ali pun bergerak melangkahkan kakinya untuk pergi ke Benteng Nyire. Dengan penuh rasa tanggung jawab. Ia membawa harapan, pengabdian, dan tekad yang tulus untuk menjalankan tugasnya dengan kehormatan yang sejati.
Melihat kepergian Raden Ali, seseorang dari pasukan setianya menghampiri Raden Kling seolah ingin bercakap-cakap kepadanya.
“Wahai tuan, sungguh tuan memiliki keturunan yang hebat seperti tuan muda Raden Ali. Ia sangat mirip dengan tuan. Aku sangat bersyukur jika nantinya aku juga memiliki keturunan yang hebat seperti tuan muda sang kesatria pedang dari Palembang Darussalam”. Harap pasukan itu.
Raden Kling pun tersenyum mendengarnya, dan berkata “Jika dibandingkan dengan ku, sungguh ia lebih banyak mewarisi keberanian dari Ibunya”.
“Tetapi, ketika di medan perang tuan ku sangatlah berani dan teguh, layak menjadi teladan yang menginspirasi generasi mendatang, aku harap anak-anakku nanti dapat belajar dan dibimbing oleh tuan”. Jelas pasukan.
“Sungguh aku tak lebih hebat dari para pejuang di Tanah Bangka, keahlianku saat ini hanyalah sementara”. Jawab Raden Kling sambil tersenyum merekah.
“Lantas, apa yang akan tuan lakukan selanjutnya, sampai ketika tua nanti, sungguh tuan adalah teladanku dalam bersikap dan bertindak?”. Tanya pasukan.
“Perlu kau ingat, warisan untuk anak dan keturunanku nanti, bukanlah Pedang gagang berlapis emas, bukan pula Pedang Kadga yang telah ku hujamkan kepada para Lanun, bukan pula Trisula untuk perang di Selat Bangka, bukan pula Pedang Lar Bango yang panjang bilahnya, bukan juga Keris Semar dari Sang Prabu, bahkan Timah dari Tanah Tagak. Warisanku, adalah ilmu dan semangat perjuangan ku, semangat melawan para pengkhianat dan para penjajah di Tanah Bangka, itulah yang menjadi pusaka abadi untuk anak, cucu dan keturunan ku nantinya”. Jelas Raden Kling.
Bersambung.
Toboali, 13 November 2023