Sastra  

PERTEMPURAN TOBOALI, 1813 MASEHI

BAB IV

Ilustrasi_ https://images.app.goo.gl/wPdYBvQdGF3GmiCEA

Oleh : Dwikki Ogi Dhaswara

 

Bekaespedia.com_Maret 1813, Seperti kuda catur di atas papan kehidupan, residen Inggris mengirim salah satu kapal penjelajah perusahaan, dengan tujuan untuk membawa secara paksa Raden Kling ke Minto.

Pertaruhan yang tak terhitung akan besarnya ambisi mereka, seperti kapal tanpa kompas di lautan badai. Disertai dengan lemahnya strategi, hanyalah harapan tanpa arah.

Seperti koreografi yang sempurna dalam pertunjukan, kejelian membaca pola, serta seperti catur di atas papan. Beberapa hari sebelum kapal utusan residen Inggris berlayar, Raden Kling beserta puteranya Raden Ali sudah terlebih dahulu menyiapkankan sebuah rencana yaitu membawa sembilan belas laskar kapal besar Abercromby, yang sebelumnya telah dihancurkan oleh perompak (Bajak Laut) di lepas pantai Billiton (Belitung).

Para laskar kapal diperlakukan dengan baik oleh Raden Kling dan para pengikutnya. Tanpa mereka sadari, dalam ketenangannya Raden Kling tersembunyi kecerdikan, bahwa ini adalah seni perang yang tersusun intrik dan pengelabuhan.

“Ini adalah umpan yang sengaja ditebar, serupa rayuan yang memikat, tetapi juga serupa jala yang terbentang”. Ucap Raden Kling sambil tertawa didepan anaknya Raden Ali dan pengikutnya.

Raden Ali juga ikut tertawa, dalam sorot matanya yang ceria, terselip juga ketenangan. Namun, kewaspadaannya tetap memelihara hati.

“Ini bukan sekadar pertempuran fisik, melainkan perang pikiran, umpan menjadi serangan tanpa suara, mengecoh dengan ketajaman pikiran”. Sambut Raden Ali kepada para pengikutnya.

Mereka melepas para laskar kapal Abercromby kepada Residen Inggris diperbatasan pantai Minto, sambil berpesan kepada para awaknya.

“Sampaikanlah kepada pimpinanmu, bukan aku sengaja tidak hadir ke Minto untuk menyatakan sumpah setia kepada Inggris, akan tetapi dikarenakan anak-anakku sedang sakit!”. Ucap Raden Kling.

“Baiklah tuan!”. Jawab dari seorang penerjemah dari Laskar Kapal Abercromby.

Pada kesempatan itu juga, Raden Kling memberikan dua belas pikul Timah, sebagai siasatnya berpura-pura tunduk kepada pemerintah Inggris.

Kepala pemerintah Inggris terkejut dengan kepulangan para awak kapal itu, perasaan ingin memaafkan Raden Kling hampir menyurutkan perseteruan diantara mereka.

Disisi lain kapal perang utusan Inggris untuk membawa paksa Raden Kling, sudah tiba di Toboali. Perjalanan mereka hanyalah sia-sia, dahaga yang tak terbayar membuat kepala pasukan militer pada saat itu murka, menyulut gelora yang ganas. Mereka hanya menemukan tempat atau markas Inggris di Toboali benar-benar sepi.

Melalui beberapa orang Goonoongs (Orang Gunung atau Orang Darat pribumi Bangka) yang mereka jumpai, diketahui dan dipastikan bahwa Raden Kling, sedang dalam perjalanan ke pulau Billiton, setelah membunuh Mr. Brown.

Peristiwa ini membuat utusan Inggris pulang ke Minto dengan tangan kosong. Kematian Mr. Brown membuat rasa ingin memaafkan Raden Kling menjadi hilang, sangat meninggalkan bekas luka yang dalam. Mereka pun kembali bertekad untuk menguasai Toboali tepatnya di Tanjung Sabong dan Kuppo (Kepoh).

Setelah berkuasa kembali, keberadaan Inggris ini juga membuat para Bajak Laut tak berkutik. Setelah diambang keputusasaannya dengan keberadaan Raden Kling dan Raden Ali. Para bajak laut kembali terjebak dalam kebingungan. Tak ada langkah masuk, terperangkap dalam belenggu ketakutan. Pulau Bangka menjadi aman, bebas dari kegelisahan, oleh serangan bajak laut.

Mendengar dan melihat keberadaan Inggris di Toboali dan beberapa wilayahnya, Raden Kling beserta pasukannya terdesak dan menyingkir dari Stockade of Tooboo-alie menuju ke pulau Belitung untuk terus melanjutkan perjuangan di pulau Belitung bersama Depati Belitung.

Pemerintah Inggris terus menyusuri waktu mencari keberadaan Raden Kling dan Raden Ali beserta pengikutnya. Mereka menugaskan Raja Akil dari Siak untuk mencari Raden Kling dan para pengikutnya.

Alhasil Raden Kling bersama Depati Belitung menyerang pasukan Raja Akil, dan mengepungnya melalui darat. Pertempuran pun terjadi.

“Berdirilah tegak, jangan takut. Perang ini akan kita menangkan”.! Ucap Raden Kling dengan bersemangat mengangkat meriam tangannya.

Senandung nyanyian pedang Raden Ali pun sudah bergema, disertai gemuruh langkah tentara. Perisai bersentuhan, pedang bersautan, sebuah tarian kematian saat nyawa dipertaruhkan.

Ketakutan memayungi pasukan Raja Akil, menguasai naluri pertahanan. Dalam gemuruh pertempuran, langkah mereka tergesa, mimpi kemenangan terhempas, oleh langkah-langkah yang mundur.

Raja Akil bersama pasukannya kalah, senjata yang terbuang, perisai yang terlupakan menandai kekalahan mereka dalam sejarah. Didalam kekalutannya, melarikan diri adalah pilihan yang tak terelakkan. Namun, itu hanyalah detik pemulihan yang akan membawa pasukannya kembali ke panggung pertempuran. Karena ambisi Raja Akil sangatlah kuat.

Mereka kembali ke Minto untuk meminta bantuan lebih lanjut guna mengatasi perlawanan Raden Kling yang semakin kuat, karena bergabungnya kepala-kepala perompak yang terdiri dari Panglima Daleem, dari Cadawang.

Raden Kling kembali menoreh kemenangan perang, seperti fajar yang menyingsing kembali. Pasukan yang terkapar luka juga merapatkan barisan untuk berdiri tegak. Seperti kisah heroik yang terus hidup, menandai bahwa setiap tekad bisa menjadi pemicu untuk meraih kemenangan yang lebih besar.

Antara lelah dan senang, Raden Kling berujar menyemangati pasukannya. “Sungguhlah berat beban di pundak ini, namun di hati ini juga menggelora tekad. Kita adalah garda terdepan, pemimpin dari tiap pertempuran. Kita bukan hanya pasukan, akan tetapi kita adalah keluarga yang bersatu.”

“Hidup kita adalah satu perjalanan panjang, dan di setiap langkah, kita menorehkan sejarah. Ingatlah, kemenangan bukan hanya milik seseorang, melainkan hasil dari kerja keras dan kekompakan kita sebagai satu kesatuan”. Sambutnya.

 

Bersambung

 

Toboali, 10 Januari 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *