Sastra  

PERTEMPURAN TOBOALI, 1815 MASEHI

BAB V

Foto Ilustrasi_ https://images.app.goo.gl/uRMwV75o6tKNkS8m8

Oleh : Dwikki Ogi Dhaswara

Bekaespedia.com_“Bangsa yang gagah adalah yang berdiri tegak, dalam dadanya menyala bara, mendebarkan hati, yang tak tergoyahkan raganya. Hanyalah pecundang bagi mereka yang tunduk dengan penjajah, pengkhianat sesungguhnya adalah mereka yang menghamba pada pemerintahan bangsa asing”. Ucap Raden Keling kepada para pengikutnya yang sudah bersiap bertempur.

Di siang hari yang panas dan terik, langit biru menyaksikan langkah mereka, bersiap dengan hati yang penuh tekad, menyongsong pertempuran yang akan terjadi.

Wafatnya Depati Belitung K.A. Mohammad Hatam atas muslihat Raja Akil (mayor Akil) pada tahun 1815 Masehi. Membuat Raden Keling bersama puteranya Raden Ali dan para pengikutnya menorehkan duka yang mendalam.

Amarahnya membakar dalam jiwa, menyalakan bara dendam yang menyala, tak terkendali, tak terbendung lagi, ingin menghancurkan semua musuh yang berdiri di hadapannya.

Kematian Depati Belitung, tidaklah membuat Raja Akil berpuas diri, karena keluarga Depati Belitung berhasil melarikan diri. Ia berfirasat, tentunya kejadian ini akan mengundang kedatangan Raden Keling beserta para pengikutnya. Untuk itu, Raja Akil kembali membawa bantuan dari Minto, mengantisipasi perlawanan Raden Keling.

Sebagaimana Raja Akil berfirasat, begitu pula Raden Keling yang juga sudah menyiapkan strategi untuk bertempur menghadapinya.

Terselip rahasia di balik gemuruh senjata yang sudah disiapkan Raden Keling, kemahiran strateginya menjadi panutan, mengukir jalur kemenangan yang tertata. Kapal yang sudah bersiap menuju Belitong, diperintahkan oleh Raden Keling untuk membelokan arahnya menuju perairan barat daya Borneo.

Raden Ali terdiam dan hanya mengikuti perintah Ayahnya itu. Ia percayakan semua kepada Ayahnya untuk membuat langkah-langkah licin, kemampuannya memutarbalikkan keadaan, akan membuat musuh terhuyung dan goyah.

Raden Keling bermaksud menemui para kepala perompak di wilayah perairan sekitarnya. Yang pertama ditemuinya adalah Panglima Daleem dari Cadawang, dekat sungai yang terletak di Provinsi Matan di pantai Barat Daya Borneo.

“Dulu kau kejar kami, sekarang kau butuh bantuan kami wahai Raden Muhammad Keling putera Raden Prabu Jaya”. Ucap Panglima Daleem sambil tertawa.

“Harus sampai kapan kita bermusuhan, dan harus sampai kapan engkau bersama pasukan mu merampok, membunuh orang-orang serumpun denganmu”. Jawab Raden Keling dengan sikap yang tenang dan sorotan mata yang tegas.

“Terserah dengan semua itu, aku dan pengikutku harus makan hari ini dan esok hari, apapun akan aku perbuat demi kelompok dan keluargaku disini”. Pungkas Panglima Daleem.

“Sadarkah engkau, bahwa ada yang lebih jahat, mengintai, dan mengancam keluarga mu?, mereka adalah bangsa asing, penjajah yang kini sedang menari di negeri nenek moyang kita ini. Sekuat apa engkau bila sudah berhadapan dengan mereka, bersenjata lengkap dan peluru yang tak habis-habisnya?, apakah semua ini harus kita diamkan saja, sedangkan kita yang harusnya menjadi penguasa di tanah sendiri, malah tersingkir, terbuang oleh ulah dari mereka yang biadab, merampas dan mengambil kekayaan kita tanpa izin”. Jawab Raden Keling.

Perkataan itu sejenak membuat Panglima Daleem terdiam. Tersimpan misteri yang mengalir dalam benak pikiran dan perasaannya. Tak terucapkan, tak terjelaskan, hanya terasa dalam keheningan. Dalam diam, ia mengendap, seperti embun di ujung daun yang lembut, tak bergerak, tak berbicara, hanya merasakan getaran kehidupan.

Setelah ia larut dalam pikiran dan perasaannya, Panglima Daleem memerintahkan pengawalnya untuk memberikan pedang panjangnya.

Melihat hal itu, Raden Ali dan para pengikutnya juga menarik pedangnya seakan bersiap melawan. Hanya Raden Keling dengan ketenangannya, ia tidak bergerak sedikitpun dari posisi berdirinya.

“Lantas apa yang engkau inginkan?”. Tanya Panglima Daleem dengan wajah yang penuh dengan amarah.

“Aku ingin kita bersatu, menumpas para penjajah, jangan menjadi pengecut di negeri sendiri. Karna pengkhianat yang sesungguhnya adalah mereka yang tunduk pada bangsa asing”. Jawab Raden Keling dengan tegas.

“Baiklah, aku bersama pengikutku akan ikut berjuang denganmu, terlepas aku masih menaruh dendam padamu. Namun, dendam ini aku sendirilah yang membuatnya dan atas ulahku juga. Yang menjadi kekhawatiranku adalah perjuanganku selama ini hanya akan sia-sia, jikalau ada musuh lain yang lebih mengancam dan membahayakan kehidupan anak dan keturunanku kini dan nanti”. Pungkas Panglima Daleem.

Raden Ali dan pengikutnya lekas menutup pedang yang sudah mereka buka, yang awalnya mereka kira Panglima Daleem akan menyerang mereka, tidak disangka ternyata akan berpihak dan bergabung. Perasaan merekapun menjadi lega dan penuh semangat.

Tidak hanya Panglima Daleem, akan tetapi mereka yang memiliki sejumlah besar pasukan yang digunakan dalam kegiatan perampokan dan pembajakan seperti Rajah Jeena, Rajah Mahommed, Penglima Etam, dan Penglima Ibang yang berasal dari pulau-pulau dan tempat-tempat di sekitar Lingen (Lingga). Mereka berhasil dibujuk oleh Raden Keling untuk bersiap bertempur melawan Raja Akil dan pasukannya di Belitong.

Dalam semangat yang membara, mereka berdiri dengan tekad yang bulat. Kapal perang telah bergerak ke perairan Belitong. Kapal-kapal berlayar rapi menandakan kekuatan strategi yang dipimpin oleh Raden Keling.

Mereka bagaikan prajurit laut yang gagah, yang siap menempuh badai pertempuran. Berkibarlah bendera di tiang utama, menandakan kehormatan dan kesatuan dengan tekad yang sama.

Kru-kru sibuk bergerak, mempersiapkan segalanya, dari amunisi hingga persediaan makanan, semua siap untuk melengkapi dalam peperangan.

Raden Keling berdiri di atas geladak, mengawasi segala persiapan dengan cermat. Ia adalah komandan yang bijaksana dan berani, siap memimpin kapal menuju ke medan pertempuran.

Tak kenal lelah, tak kenal menyerah, mereka melangkah maju bersama-sama. Bertempur demi kemenangan, dalam peperangan yang akan menjadi sejarah.

“Di tanah yang telah terinjak-injak, aku bersumpah!, Takkan pernah aku tunduk pada penjajah dan penghianat yang kejam. Dengan darah dan keringat aku akan melawan, membebaskan tanah ini, dari belenggu penjajahan yang menjijikkan”. Sumpah Raden Keling.

Bersambung

 

Toboali, 13 Maret 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *