Oleh : Dwikki Ogi Dhaswara
Bekaespedia.com_Mentari telah bangkit dari ufuk timur, menyibak pertempuran malam yang telah usai. Dunia pun menyambut pagi yang baru. Sinar hangatnya menyentuh bumi menghapus dinginnya dendam di dalam hati.
Kabut tipis di Pantai Tanjung Belitong perlahan sirna, dedaunan berkilau diterpa cahaya. Biasnya menyapa mesra, membawa janji hari yang tenteram. Ombak pun berdebur, menari riang di atas pasir putih. Gemuruh laut bagaikan melodi seperti irama alam yang tak pernah letih.
Raden Keling bersama para pasukannya dan Rakyat Belitong berkumpul ditepian Pantai Tanjung Belitong. Di tengah hamparan tanah yang lapang, mereka berdiri dalam barisan yang rapi.
Peralatan perang musuh sekarang berganti genggaman. Senjata dan tameng yang kini bisu, serta pedang dan perisainya adalah saksi perjuangan yang tak ternilai. Rampasan perang ini adalah simbol kekalahan musuh. Membuat mereka jera, penuh penyesalan demi mengingatkan mereka akan keberanian dan tekad yang tak ternoda.
Panglima Daleem, Panglima Etam, Panglima Ibang, Raja Jeenah, Raja Mohammed berdiri disamping Raden Keling dan Raden Ali menghadap Rakyat Belitong dan para pasukan mereka.
Raden Keling sambil menggenggam tongkat komandonya, berdiri dihadapan mereka. Wajahnya penuh kebanggaan dan semangat. Dia berbicara dengan suara yang kuat dan penuh keyakinan:
“Wahai para punggawa yang pemberani, pahlawan sejati yang menorehkan kisah dengan tinta berani. Hari ini kita berdiri sebagai pemenang di atas medan pertempuran. Sungguh kalianlah pelita yang menerangi jalan. Kemenangan ini bukan sekadar mimpi, namun kenyataan yang kita ukir bersama. Musuh telah tunduk, senjata mereka tergeletak di tangan kita. Ini adalah bukti nyata bahwa semangat juang dan persatuan kita takkan bisa dikalahkan. Kemenangan ini bukanlah akhir dari perjuangan. Ini adalah awal dari babak baru, di mana kita membangun kembali apa yang telah hancur, menyembuhkan luka-luka, dan menciptakan perdamaian seperti apa yang kita inginkan. Kita adalah saudara!”.
Dengan aura dan tatapannya yang tajam penuh wibawa, menyusup ke dalam jiwa para punggawa, menyulut api yang hampir padam, mengobarkan semangat yang sempat pudar.
Para Panglima dan Raja yang berada didekatnya juga ikut tergugah hatinya. Seperti melihat sosok panji keberanian dengan kekuatannya berhasil membangun persatuan yang tak pernah mereka sangka-sangka sebelumnya. Setiap kata yang terucap dari bibirnya adalah mantra yang memupuk keberanian.
Pada waktu itu juga, Panglima Daleem dalam hatinya berkata-kata dengan penuh kekaguman. “Auranya seperti api, menyebar dan menular tanpa henti, dengan mudahnya dia membuat setiap langkah menjadi ringan, mengubah kepedihan menjadi harapan”.
Setelah usai berucap, Raden Keling memeluk dan bersalaman dengan Rakyat Belitong. Rakyat pun datang dari segala penjuru, dengan wajah penuh syukur dan harapan, dengan tangan terbuka dan hati yang lega.
Di antara tawa dan air mata, Raden Keling mengulurkan tangan kepada semua. Menunjukkan bahwa perjuangan ini adalah milik bersama. Ditemani Raden Ali, Dia juga berjabat tangan dengan para Panglima dan Raja. Hingga tercurahkanlah kata-kata dengan senyuman bahagia sebagai penanda perpisahan.
“Apalah dayaku tanpa keberadaan kalian, wahai saudara!. Aku bukanlah pendekar yang kebal akan senjata, aku hanyalah setangkai ranting kayu yang rapuh, aku akan kuat dan bernilai jika bersatu dengan pohon-pohon besar seperti kalian. Mari kita jaga dan rawat persaudaraan ini!”.
“Jangan membuat kami semakin takjub pada mu, wahai saudara ku! Sepertinya kau memang tidak pernah merasakan takut”. Ucap Panglima Daleem dengan senyuman bahagia.
“Sebagaimana aku terus mengamalkan Ayat Seribu Dinar, begitu juga aku yakin bahwa Dia (Allah SWT) yang menentukan!”. Sambut Raden Keling sambil menunjuk jari telunjuknya keatas.
Mentari pagi menyaksikan perpisahan diantara mereka. Di tepian Pantai Tanjung Belitong yang tenang dan damai. Dituntun oleh langkah dan lambaian tangan Rakyat Belitong. Mereka telah berdiri di atas kapal mereka masing-masing.
Kapal-kapal mulai berlayar perlahan menuju pulang, meninggalkan medan juang dengan hati yang tenang. Angin laut bertiup lembut, mendorong layar-layar yang terbentang. Ombak berbisik menyapa lambung kapal, mengiringi perjalanan menuju perairan Lepar.
Di atas dek kapal, Raden Keling bersama Raden Ali berdiri tegak memandang jauh ke cakrawala biru. Angin yang berhembus sepoi membawa aroma asin yang segar. Riuhnya suasana kapal bagaikan sayembara yang mengoyak sunyi. Menikmati skenario tuhan yang menjadi dialog dihari ini.
Di kejauhan terlihat dua pulau megah. Pulau Lepar dan Pulau Tinggi, bagaikan gerbang surga yang menjulang gagah di tengah lautan biru yang luas, menjadi penanda bahwa pulang sudah dekat.
Kapal mereka melaju menembus gerbang itu, menuju rumah yang ditunggu. Kembali dari kejauhan yang semakin dekat dengan tempat berlabuh. Terlihat tiga kapal megah yang berlabuh di Laut Lepar, menjadi pemandangan yang mengagumkan di mata.
Kapal itu mengenakan bendera Kesultanan Palembang Darussalam, Raden Keling dan Raden Ali terkejut dengan kedatangan armada laut itu. Layaknya permata yang tersebar di permukaan laut, prajurit-prajurit kesultanan berkumpul dengan gagah menyambut kedatangan Raden Keling dan Raden Ali.
Setelah berlabuh, Raden Keling ditemani Raden Ali melangkah cepat menuju barisan para prajurit kesultanan. Terdengar suara yang memanggil Raden Keling dari sisi yang tak terlihat olehnya.
“Kanda, Ini aku Badar..!”. Ujar Raden Badar yang berjalan mendekati Raden Keling.
Terlihat juga dibelakangnya seseorang kerabatnya yang sangat dekat dengan Raden Keling dari sejak dulu. Dia adalah Raden Machmoed. Mereka berjalan menghampiri Raden Keling yang ditemani Raden Ali pada saat itu.
Dengan dada yang berdebar dan mata yang berkaca-kaca, tanpa sadar Raden Keling mengalirkan air matanya. Berlari ke arah mereka dengan cepat, merasakan pelukan hangat yang memeluk erat. Di antara ribuan kata yang tak terucap, satu kata untuk menggambarkan rasa bahagianya ialah syukur.
“Sudah lama aku menanti kalian dengan sabar, setelah perjuangan panjang, kini kalian hadir dihadapanku, nyata!”. Ucap Raden Keling dengan Isak tangis terharu bahagia mengalun lembut, menyatu dengan gemuruh ombak yang riuh.
“Ada apa gerangan, sampai kalian datang kesini?”. Tanya Raden Keling sambil melepas pelukan rindunya.
“Kami disini atas perintah Sultan, kami membawa seluruh keluarga Kanda, termasuk aku dan Raden Machmoed yang akan membantu Kanda dan Raden Ali di Tanah Bangka!”. Jawab Raden Badar.
“Keluarga..! di mana yang lainnya?”. Tanya kembali Raden Keling.
Terdengar langkah yang lembut, seseorang yang istimewa. Hati mulai berdebar kencang, kehadiran Istri tercinta membawa kehangatan dalam langkahnya. Bersama seorang cucunya yang riang mengikuti jejaknya dengan riang.
Raden Keling kembali terkejut dan bahagia akan kedatangan istri dan cucunya. Raden Ali melihat itu, berlari memeluk anak perempuannya yang saat itu berusia 13 (tiga belas) tahun.
Hatinya penuh rasa syukur dan haru yang mendalam. Langkah mereka terasa begitu dekat di hati.
“Ibu… anakku…!”. Seru Raden Ali dengan isak tangis bahagia berlutut memeluk anaknya dan kaki Ibunya.
Raden Ali mengusap dan mengelus lembut kepala anaknya yang tercinta. Dengan kasih sayang yang tak terucapkan namun begitu nyata, mengusap perlahan, menghapus air mata yang berlinang.
“Ayah sudah rindu padamu, Nak! Dimana Ibu mu?. Tanya Raden Ali kepada anaknya.
“Halimah sudah tiada, Dia jatuh sakit tak lama setelah kepergianmu ke Tanah Bangka!”. Sambut Ibu Raden Ali.
Mendengar ucapan Ibunya, Raden Ali terdiam sejenak. Suasana disekitaran itu berubah menjadi perasaan yang berat dan pilu. Raden Keling pun berdiam tak berbicara, menunduk akan kesedihan yang mereka rasakan saat itu.
Raden Ali dirundung oleh duka yang mendalam. Kebahagiaan akan kedatangan keluarga ternyata juga membawa berita yang menyayat hati. Dari kebahagiaan menjadi kesedihan yang mendalam, Tak ada yang bisa menggantikan kekosongan itu
Siti Halimah adalah seorang perempuan yang sangat dicintai Raden Ali. Kini telah pergi untuk selamanya. Meninggalkan rasa kehilangan yang tak terperi.
Raden Ali berjalan dengan sendirinya meninggalkan anak dan keluarganya untuk memisahkan diri dari tempat itu. Raden Keling membiarkannya menepi dan menyendiri untuk sementara.
Mendapatkan celah waktu, Raden Badar berusaha menenangkan Raden Keling dengan mengusap pundaknya. Tak lama dia memberikan surat kepada Raden Keling atas nama Kesultanan Palembang Darussalam. Dengan perasaan berat yang menimpanya saat itu, Raden Keling membuka isi suratnya yang bertuliskan:
“Hubungan antara Kesultanan dan Kolonial Hindia Belanda sedang tidak baik-baik saja. Peralihan kekuasaan pada mereka melahirkan firasat buruk di bumi Sriwijaya. Dalam misi dan tugas yang engkau emban sebagai bagian Kesultanan Palembang Darussalam, kami ingin menegaskan beberapa petuah yang penting untuk dipegang teguh. Pertama-tama, jaga keluargamu dengan penuh kebijaksanaan dan kepedulian. Kedua, jagalah tanah air dan kekayaan kesultanan dengan setia. Jadilah teladan bagi rakyat dalam mempertahankan keutuhan tanah air. “
“Aku tak menyangka akan sekeruh dan serumit ini, masa depan yang bagaimana yang akan aku hadapi”. Gumam Raden Keling dalam hatinya.
Sejenak tersadar, dia kembali bertanya kepada Raden Badar dan Raden Machmoed yang berada dihadapannya. “Dimana Raden Sa’bah dan Raden Ahmad, dalam situasi ini aku tak pernah lagi melihat mereka, apakah mereka sedang menjalankan misi yang tak berhak kita ketahui?”. Tanya Raden Keling.
“Sungguh kami tak tahu, apa yang sedang mereka hadapi saat ini?. Jawab Raden Badar.
“Benar, Kanda. Sungguh kami tak tahu apa yang terjadi pada mereka!”. Sambut Raden Machmoed.
“Kami menunggu arahanmu, Kanda! sebab hanya Kanda yang tahu situasi disini!”. Ucap Raden Badar.
Layaknya berada didalam labirin yang rumit. Perasaan berbaur dengan prasangka heran. Hati bertanya-tanya tanpa henti. Setiap keputusan bagaikan teka-teki yang membingungkan dan membuat hatinya gelisah. Namun dengan keyakinannya, Raden Keling menemukan keberaniannya untuk terus melangkah
“Baiklah, bantulah aku membawa sisa peralatan perang dari Belitong. Berikan pada Amien di Wilayah Pangkal Toboali, dan Ganing di Benteng Nyireh. Katakan pada mereka, bahwa aku sudah menua, dan merekalah yang akan mewarisi semangat juangku.!”. Perintah Raden Keling kepada Raden Badar.
“Untukmu, Dinda Raden Machmoed. Tugasmu sangatlah berat. Karna Raden Ali juga takkan sanggup berjuang sendiri mengatasi hal ini. Ada beberapa penduduk Lepar, yang kami tugaskan untuk memata-matai sebuah pulau. Saat ini mereka menetap di Pulau Panjang, bersama penduduk luar yang baru berlabuh di tempat itu. Mereka dari Suku Minang, Bugis, Jawa, dan Kalimantan. Persatukanlah mereka. Dan ada satu lagi yang harus engkau rangkul, anggaplah mereka layaknya keluarga, mereka adalah suku laut dari lingga, mereka tidak menetap, tapi merekalah yang akan menjadi punggawa terkuatmu. Mereka menggunakan perahu berumah kajang. Laut adalah rumahnya, darat adalah pencahariannya”.
Raden Machmoed merasa heran dengan arahan Raden Keling. Dalam hatinya yang penuh tanya. “Seperti apa mereka?”.
Meski hati penuh dengan tanya, Raden Machmoed akan menjaga dengan sepenuh jiwa.
“Pulau mana yang harus kami mata-matai?”. Tanya Raden Machmoed.
“Ada satu pulau yang saat ini tidak berpenghuni. Aku harap semua pulau-pulau yang berada disekitaran Pulau Lepar dihuni oleh pribumi yang bersatu. Jangan sampai bangsa asing kembali menorehkan kuasanya dipulau-pulau ini. Kabarnya pulau itu sering di tempati oleh para Lanun yang ingin bersembunyi, akan tetapi tidak ada yang berani menetap lebih lama. Mereka akan melarikan diri dengan tubuh gemetar dan wajah pucat pasi. Di balik kabut tebal yang menyelimuti, tersembunyi rahasia yang tak terungkap. Layaknya bayangan di balik tirai, tabir misteri yang menanti untuk disingkap!”. Jawab Raden Keling.
“Kanda pernah mengajariku, walau tabir misteri yang akan menghalang, tak mungkin aku mundur. kata-kata itu masih berbisik ditelingaku. Yakinku Dia (Allah SWT) menentukan. tiba masa pasti terjadi !”. Jawab Raden Machmoed sambil menunjukan jari telunjuknya ke atas.
Di tengah situasi rumit dan membingungkan, kepercayaan diri Raden Keling mulai bangkit kembali.
“Baiklah, aku serahkan padamu, Dinda.! Nama Pulau itu adalah PULAU LEAT”. Ucap Raden Keling layaknya pesan yang dikirimkan kepada semesta, menghubungkan jiwa dengan alam yang tenang.
PULAU LEAT.
Bersambung
Toboali, 29 Mei 2024