Sastra  

PERTEMPURAN TOBOALI, RADEN KELING (BELITONG)

BAB VII

Foto Ilustrasi_ https://www.piqsels.com/id/public-domain-photo-szacv

Oleh : Dwikki Ogi Dhaswara

 

Bekaespedia.com_Strategi perang mulai digerakkan, membawa harap dan getir yang satu. Raden Ali sebagai umpan bak prajurit gagah yang siap berkorban, bersiap merubah laut Belitong menjadi lembah senja merah membara.

Dibeberapa pintu masuk perairan Belitong, dipulau-pulau kecil yang dijaga oleh musuh, pembantaian diam-diam sudah digerakan. Taktik Hantu Laut yang dimainkan oleh Rakyat Lepar bak prajurit bayangan tanpa wajah, tanpa jejak, tanpa tanda. Mereka muncul dari gelombang dan menyusup di antara kapal-kapal musuh.

Mereka juga bergerak menuju daratan, mengendap di antara ranting-ranting dan dedaunan. Langkah-langkahnya yang ringan bagaikan angin, membawa misi dan dendam yang tak terbilang. Di kamp musuh yang lelap terbuai, senjata tajam terhunus dingin. Setiap hela napas menjadi akhir, dan setiap detak jantung terhenti seketika.

Sebagian mereka mengawasi dari lautan, dengan layar hitam dan kapal tanpa nama. Mereka hadir membawa bahaya. Bisikan sang panglima perang Raden Keling masih terdengar di telinga mereka “Menyelinaplah layaknya bayangan, dan hempaskan tanpa ampun layaknya gelombang”.

Taktik perang hantu laut begitu mengerikan, menghilang sebelum musuh sadar, menyerang dari sisi yang tak terduga, dan membawa teror dalam gelap.

Angin laut membawa bisikan halus, mengiring kapal Raden Ali bersama pasukannya melintasi perairan Belitong. Para pasukan Hantu Laut memberi hormat pada kedatangan Raden Ali.

Bendera berkibar kokoh diatas kapal. Di depannya terbentang medan yakni wilayah asing yang penuh dengan tantangan. Namun dengan gagahnya mereka maju, menyeruak tanpa ragu.

Dengan pedangnya yang tergenggam erat, Raden Ali memerintahkan pasukannya dengan bersuara lantang. “Genggamlah tombak, arahkan meriam dan panah kalian. Kita berjuang untuk tanah merdeka, Di bawah bendera perang ini, kita takkan menyerah”.

Kapal besarnya yang dikenal dengan julukan Elang Laut telah berlabuh tak jauh dari tepian pantai Belitong. Kapal perang megah dengan prajurit tangguh dan bernyali baja berhasil menerobos dan menantang pertahanan musuh.

Keberadaan Raden Ali menebar ketakutan di hati lawan. Seorang prajurit musuh dengan sigapnya melaporkan kedatangan Raden Ali kepada Raja Akil yang bermarkas tak jauh dari tepian Pantai Tanjung Belitong.

Dengan percaya diri Raja Akil menghampirinya, Ia membawa seluruh pasukannya ke tepian Pantai Tanjung. Seperti orang yang penuh dengan amarah, berjalan cepat dan langsung menaiki kapal yang dilabuhkannya di Pantai Tanjung. Mereka saling berdiri dibelakang haluan kapal dan saling berhadapan satu sama lainnya.

Hari sudah mendekati senja. Angin senja yang berhembus lembut, membawa burung-burung terbang kembali ke sarang. Pepohonan ditepian Pantai Tanjung berdesir lirih oleh hembusan angin seakan memberikan salam terakhir pada kedamaian.

Melihat keadaan itu, Raja Akil tertawa lantang dan berseru dengan penuh percaya diri.

“Hahaha.. Wahai Ali, kau memang dikenal dengan julukan Pendekar Pedang. Tapi, bukan begini caranya jika hanya ingin mengantarkan nyawa.!”. Seru Raja Akil.

“Dengan bangganya engkau tertawa, sampai kau lupa bahwa penjagaku adalah pemilik dari alam semesta ini!”. Jawab Raden Ali dengan bersuara lantang.

“Kau bukanlah tandinganku, pulanglah!. Aku ampuni engkau kali ini!. Suruh Ayahandamu menghadap padaku, kematian Mr.Brown sudah membuat Inggris marah besar. Kehadiranku adalah untuk membalas perbuatan kalian. Aku akan menjadi racun untuk kalian, bahkan saudara dan orang-orang terdekat kalian”. Ucap Raja Akil yang juga bersuara lantang pada saat itu.

Di bawah langit yang semakin gelap, para pasukan yang dipimpin oleh Panglima Ibang dan Raja Jeenah, beserta dengan para pasukan Panglima Etam dan Raja Mohammed  yang dibantu oleh Rakyat Belitong sudah sampai ditepian Pantai Tanjung, mereka berhasil menyusup dari belakang barisan pasukan Raja Akil.

Mereka bergerak maju dalam formasi. Tanpa disadari, satu persatu pasukan Raja Akil tumbang, kecerdikan dan siasat yang sudah tersusun rapi oleh Raden Keling, membuat mereka tidak tersadar, hingga tanpa diketahui bahwa pasukan Raja Akil yang berada dibarisan belakang sudah berganti dengan para pasukan lawannya.

Tersisa tak lebih dari setengah pasukan Raden Keling yang berada dipantai itu. Dari kejauhan meriam Raden Keling sudah ditembakan. Kedatangan kapal Raden Keling dan Panglima Daleem, membuat Raja Akil menjadi gentar.

Dengan tubuh gemetar, Ia memerintahkan pasukannya untuk maju keatas kapal. “Ayo Serang!”.

Namun yang terjadi, tanpa disadarinya yang maju adalah para pasukan dari lawannya. Suara yang biasanya bersorak gemuruh, saat itu hanya terdengar pelan. Ia dipecundangi oleh kenyataan. Raja Akil baru tersadar setelah melihat sekelilingnya, bahwa Ia telah terkepung.

Kapal Raden Keling semakin mendekat, dan pasukan Raja Akil yang tersisa menjadi semakin ketakutan oleh kenyataan yang terjadi pada senja itu.

Setelah tiba, Raden Keling bersama Panglima Daleem melompat keatas kapal Raja Akil. Mereka dengan bangganya menginjak-injak kapal itu, membuat Raja Akil semakin gemetar dan ketakutan.

Mereka bercakap-cakap dengan penuh kebahagiaan. “Taktikmu memang sungguh menawan, wahai Raden Keling. Tanpa lelah berkeringat, musuh sudah tumbang seperti anak ayam yang terperangkap kedalam sekawanan musang”. Ujar Panglima Daleem sambil tersenyum dengan sorotan mata yang tajam melihat ke Raja Akil.

“Begitulah mereka, keserakahan merekalah yang membuat mereka lalai, mereka terlalu percaya diri dengan semangat yang membara, tapi meniadakan otaknya!”. Jawab Raden Keling dengan bersuara lantang.

“Sungguh licik, aku akan membalasnya.! Ayo maju!”. Ujar Raja Akil sambil memerintahkan pasukannya.

Di atas kapal yang berderak, di bawah langit yang semakin gelap berbalut awan. Perang pedang pun dimulai. Raja Akil dengan kelicikannya membawa satu pasukannya melarikan diri kedalam ruangan kapal itu.

Melihat itu, Raden Ali mengejarnya sambil mengayunkan pedangnya ke para musuh. Dentang baja beradu tajam, gema perang mengguncang lautan. Dalam riuhnya pertempuran yang mencekam, Raja Akil mengambil kesempatan dengan menyamar sebagai pasukan biasa, Ia berhasil menukar baju kebesarannya dengan satu pasukan yang saat itu bersamanya.

Mendapatkan celah diantara gelapnya malam, Raja Akil berhasil terjun ke Laut untuk melarikan diri.

Raden Ali dengan tebasannya menumbangkan banyak musuh dalam pertarungan itu. Dengan langkah dan gerakannya yang cepat, Ia juga berhasil mengayunkan pedang dengan kekuatan penuh ke salah satu pasukan yang menggunakan baju Raja Akil.

Mereka berhasil menguasai medan perang. Pertempuran pedang pun mereda. Kapal berdiri tegak dengan prajurit yang tersisa. Namun kematian pasukan itu disadari oleh Raden Keling, bahwa itu bukanlah Raja Akil.

Semua berkumpul ditepian Pantai Tanjung Belitong menyaksikan tubuh orang lain yang terluka, akan tetapi bukanlah Raja Akil, menyisakan penyesalan oleh Raden Ali yang gagal mengejarnya pada saat itu.

“Jangan khawatir, perang ini belum usai. Tak ada yang perlu disesali! Yang terpenting kita telah berhasil membalas apa yang diinginkan oleh Rakyat Belitong!”. Ucap Raden Keling.

Dimalam yang kembali tenang, tak ada pasukan Raden Keling yang gugur. Mereka merayakan kemenangan yang mereka raih. Namun disisi lain, Raden Keling dan Raden Ali hanya bersikap biasa-biasa saja. Mereka sadar dan sangat waspada, bahwa masih ada tantangan lain yang akan mereka hadapi setelah ini.

 

Bersambung

Toboali, 14 Mei 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *