Oleh : Triyadi ( Tokoh adat Pongok / LAM Basel)
Diceritakan di sebuah desa yang bernama Desa Pongok, tinggallah seorang laki-laki yang bernama Apan orang biasa memanggilnya Pak Item merupakan sosok laki-laki berumur kira-kira setengah abad dengan perawakan kurus tinggi sedikit bungkuk berkulit sawo matang. Pria yang dikenal jenaka dan usil ini sering bercerita hal-hal unik, lucu terkadang tidak masuk akal. Saat beliau menceritakan kisah yang seolah-olah dia sendiri yang mengalaminya dengan gaya bicara dan logat melayu belitungnya yang kental, orang akan tersenyum-senyum bahkan tertawa terpingkal-pingkal saat mendengar ceritanya. Kejenakaannya sudah terkenal di seluruh kampung bahkan sampai ke kampung tetangga.
Kesehariannya Pak Item adalah seorang petani yang menggarap ladang miliknya sendiri dengan ditumbuhi tanaman sayur mayur seperti kangkung, bayam, sawi, cabe dan lain-lainnya. Pak item juga memiliki kelekak yang ditumbuhi pohon mangga, durian, cempedak, pisang hingga kelapa. Aktivitasnya dimulai dari pagi hari terkadang masih pagi buta selepas subuh beliau sudah berangkat ke ladang dan menjelang magrib baru tiba di rumah. Namun disela-sela aktivitasnya becocok tanam tersebut saat berada di ladang sesekali dia menyalurkan kegemarannya yaitu berburu ataupun memasang perangkap hewan yang disebut jiret atau repas.
Hari itu Pak item agak kesiangan berangkat ke ladang karena masih menunggu istrinya Nuriha biasa disapa Mak Item menanak nasi, Mak item agak kesiangan bangunnya karena semalaman menyelesaikan pekerjaan rumah. Sedari pagi ia masih terpaku di bangku panjang di samping meja kayu yang juga hampir sama panjangnya dengan bangku yang diduduki pak item. Dengan secangkir kopi yang isinya masih tersisa setengah dalam cangkir enamel, Sepertinya pak item kepikiran dengan repas yang dipasang beberapa hari yang lalu. jangan-jangan hewan buruannya kena dan kalau telat sedikit pak item khawatir diambil orang. Maklumlah ladang pak item itu tidak begitu jauh dari jalan yang biasa dilalui orang-orang yang hendak ke ladang dan orang-orang pun tahu kebisaan pak item.
Pak item masih menunggu bekal yang akan dibawa ke ladang. Hari ini Pak item berencana melihat hasil dari repas yang dipasang tak jauh dari ladangnya itu. Di sekitar ladang milik Pak Item memang terdapat hutan yang cukup lebat sehingga banyak hewan liar masih menghuni hutan tersebut seperti pelanduk, ayam hutan dan lain-lain, sehingga tak jarang Pak Item mendapatkan hasil perangkapnya.
Tak lama kemudian nasi yang masih mengebul asapnya pun dimasukkan Mak Item ke dalam rantang kecil bersama lauknya yaitu sepotong ikan goreng dimasak cabai, masakan kesukaan Pak Item. Dengan balutan serbet bekalpun selesai disiapkan. Sembari Mak Item mempersiapkan beka,l Pak Item beranjak dari tempat duduknya menuju ke arah dinding dapur yang di situ tergantung sebilah parang beserta sarungnya, kemudian tali pengikat parang dililitkan ke pinggang Pak item. Lalu Pak Item meraih bungkusan bekal yang sudah selesai disiapkan dan bergegas menyambar kerito surung yang selalu terparkir disamping rumah.
Matahari pun beranjak naik seiiring langkah kaki pak item menelusuri jalan ke ladang yang tidak begitu lebar dengan ditumbuhi semak-semak di kiri kanan jalan. Ada juga benda yang selalu setia menemani sepasang kaki yang mulai tua tetapi terlihat berotot, sepasang kasut cunghai yaitu sendal yang terbuat dari bekas ban mobil dibentuk seperti sepatu sandal. Sembari mendorong kerito surung yang mengeluarkan suara berderit beraturan karena bagian poros roda sudah mengering belum diberi minyak pelumas. Walaupun terbilang tidak muda lagi tetapi langkah kaki pak item masih terlihat gagah, mungkin kakinya sudah terlatih karena setiap hari mendorong puluhan buah kelapa dari ladang ke kampung dengan kerito surungnya yang sudah terlihat tua.
Kurang lebih setengah jam perjalanan Pak Item pun tiba di ladangnya, kerito surungnya pun terparkir di bawah pohon cempedak tak jauh dari pondok kebun. Pak item tidak langsung menuju pondok kebun tetapi langkah kakinya bergegas menuju hutan dimana perangkap hewannya terpasang. Berharap jebakannya mendapatkan hasil karena sudah tiga hari hasilnya nihil. Dibenaknya terpikir lezatnya gangan kuneng masakan istrinya dari daging pelanduk hasil jebakannya tersebut.
Sesampainya di tempat tersebut raut muka tak sedap pun tampak dari wajah yang kusam sedikit berkeringat itu. Kali ini nihil lagi tangkapannya entah apa yang menyebabkan hewan-hewan itu enggan mendekati tempat itu membatin Pak Item. Sementara tali jerat repas masih utuh terbuka membentuk lingkaran di atas potongan-potang kayu sebesar jari dengan ujung tali terikat di kayu yang melengkung tertancap dalam ke tanah. Tiba-tiba kaki kanan pak item melayang menghampiri repas, rupanya Pak Item sedikit kesal melihat repas yang ada didepannya dan berhamburanlah repas tersebut tetapi tidak hanya repas yang menjadi kocar-kacir cunghai yang dikenakan Pak item pun ikut melayang. Rupa-rupanya salah satu tali cunghai yang dikenakan Pak Item terputus. Akhirnya cunghai itupun dipungut sambil tersungut-sungut dan Pak Item pun bergegas kembali ke ladang dengan berjalan seperti orang pincang karena cunghai yang satunya sudah terlepas dan yang sebelah kiri masih melekat dikaki. Bukan pelanduk yang bakal dibawa pulang melainkan cunghai dengan tali putus.
Singkat cerita haripun berganti siang dan siangpun berganti sore Pak Item sudah menyelesaikan pekerjanya dan bersiap untuk pulang. Pak Item pun bergegas pulang, kali ini tidak banyak yang bisa dibawa pulang hanya ada beberapa butir kelapa dan sedikit sayuran yang dimasukan ke keranjang. Langkah kaki Pak Item kini menelusuri jalan menuju pulang tanpa beralaskan kaki, sambil mendorong kerito surung yang selalu setia menemaninya. Namun ada satu hal yang menjadi pusat perhatian yaitu sepotong benda yang terbungkus oleh daun pisang kering di atas tumpukan kelapa dan sayuran dalam keranjang kerito surung tersebut. Pak Item tetaplah Pak Item pikiran isengnya tetap jalan walau masih meninggalkan rasa dongkol, timbul ide isengnya antara pelanduk dan cunghai.
Dari kejauhan tampak sesosok tubuh laki-laki yang umurnya kira-kira beberapa tahun lebih muda dari Pak Item. Laki-laki itu adalah Pak Husin tetangga yang rumahnya tidak berapa jauh jarak dengan rumah Pak Item. Tampaknya lelaki ini masih sibuk dengan pekerjaannya di ladang mencangkul rumput yang sudah cukup panjang. Pak Item pun melewati laki-laki itu, jaraknya tidak begitu jauh dari posisi Pak Item berjalan melewatinya kira-kira dua puluh meter “Sin, kau lum balik ke?” sapa Pak Item. Laki-laki yang disapa itupun menoleh dan menyahut “lum Tem suat agik”. Pak Item pun berhenti sejenak sambil melihat-lihat sekeliling ladang milik Pak Husin. “Mawak ape tem?” tanya Pak Husin. Pak Item pun menjawab “dak banyak kah hari ini cuma ade berape butik kelapaK” jawab kembali Pak Item, “tapi ini ade pelanduk yang la aku salai, tadi kenak repas” lanjut Pak Item “wew renyek uge nian kaluk agik ade” sambung Husin. “duk men nek ni agik ade sisak, kau nek ke?” tambah Pak Item. Pak Husin tidak menyahut hanya tersenyum tipis ”ku tarok di atas batu ini ye?” aoklah tem sahut Pak Husin lagi. Pak Item pun kembali melanjutkan langkah kakinya menuju kampung dengan tersenyum senang.
Pak Husin akhirnya pun menyelesaikan pekerjaan mencangkulnya, keringat bercucuran deras membasahi baju kemeja tipisnya yang lusuh. Pak Husin pun bergegas menuju ke sebongkah batu setinggi pinggang orang dewasa dimana terdapat bungkusan daun pisang kering yang diletakkan Pak Item. Sesampainya di depan batu, tangannya segera meraih bungkusan tersebut. Pak Husin tidak segera membukanya melainkan membawanya menuju pondok kebun. Sesampainya di pondok bungkusan itupun dimasukkan ke dalam tas yang biasa dipakai Pak Husin untuk menaruh bekal dari rumah. Tidak sedikit pun ada rasa curiga. Tentulah senang hati Pak Husin terbayang nikmatnya daging pelanduk yang diberikan Pak Item tadi. Pak Husin pun bergegas pulang mengayuh sepeda ontel tuanya dengan keranjang pempang dibelakangnya.
Tibalah Pak Husin di depan rumah sambil menyenderkan sepedanya ke dinding rumah yang terbuat dari papan, Pak Husin pun memanggil istrinya Cik Fatimah “ Mah, tutukla bumbu, ni aku ade diberi Pak Item tadi salai pelanduk”. ‘ Oh aokla bang” terdengar suara menyahut dari dalam rumah. Pak Husin segera masuk ke rumah dan meletakkan tas bekal yang berisi salai pelanduk di atas meja makan, kemudian dia meraih handuk yang tergantung dekat dapur lalu menuju kamar mandi. Cik Fatimah pun menyiapkan bumbu rempah, tak lama kemudian bumbu halus untuk memasak pelanduk pun tersedia. ‘Bang mane salai pelanduk e” tanya Cik Fatimah, ‘ di dalam tas dek” sahut Pak Husin dari dalam kamar mandi. Cik Fatimah pun membuka tas bekal Pak Husin dan menemukan bungkusan daun pisang. Alangkah terkejutnya Cik Fatimah saat melihat benda yang ada di dalam bungkusan tersebut. Bukannya salai pelanduk yang didapat melainkan sepotong kasut cunghai. ‘Bang ape ini bang’ teriak Cik Fatimah. “Salai pelanduk la dek, mimang e ape?” sahut Pak Husin “mate ka bang salai pelanduk, cunghai ini”. Mendengar teriakan istrinya Pak Husin segera menyelesaikan mandinya, dengan terburu-buru Husin keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk di pinggangnya. “ duk dek pacak cem ni jadi e” “pacak cem ni cemane, ka mukak dak tadi?” suara melengkin Cik Fatimah kini lebih tinggi. “dak” jawab Pak Husin singkat dengan cengengesan. “waw aku la diakel pak item”.
Pupus sudah harapan Husin dan Fatimah untuk menikmati lezatnya daging pelanduk pemberian Pak Item dan nasib kasut cunghai itupun berakhir ditumpukan sampah di belakang rumah. Sore itu Pak Husin harus menerima kenyataan dimarahi Cik Fatimah karena kecerobohannya. Bersambung…..