Oleh : Ali Usman
Pamong Budaya Ahli Muda Dinas Pariwisata Kebudayaan dan Kepemudaan Olahraga Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Pendahuluan
UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 15 Januari 2014 dan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa disahkan oleh Presiden Presiden Republik Indonesia pada tanggal 30 Mei 2014. Kedua peraturan tersebut menjadi dasar mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Salah satu cara mewujudkan tujuan pembangunan Desa tersebut dengan mengenali dan memperkuat jati diri sebagai identitas masyarakat desa yang berbudaya dan berkarakter, sehingga bisa mendorong semangat untuk berkarya dan berkontribusi dalam pembangunan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Sejarah digunakan untuk mempermudah memahami siklus kehidupan, memperkuat karakter yang membangun dan memecahkan permasalahan yang dihadapi. Salah satu cara mengetahui perkembangan sejarah kampung dengan menggunakan pendekatan Geografi Sejarah (Geohistory) yakni mempelajari tentang manusia, keadaan fisik, fiksi dan berkaitan dengan fakta-fakta keadaan geografi di masa lampau. Dengan demikian bukanlah keadaan geografi yang bersifat kekinian atau keberadaannya sekarang, melainkan tekanannya pada keadaan kondisi geografis yang mendukung fakta sejarah di masa lampau dimana sebuah peristiwa sejarah telah terjadi.[1] Upaya menuliskan sejarah desa ini untuk memperkuat ketahanan budaya dan berkontribusi mewujudkan Desa Kuat Indonesia Hebat.
Keberadaan peta-peta buatan Inggris, Belanda, Australia, Amerika Serikat dan Republik Indonesia, dari tahun 1814 sampai kini menjadi sumber penting dalam kajian Kampung Kepoh ini dan tentunya disandingkan dengan sumber lisan. Banyak nama lokasi yang tidak tercantum, berubah nama dan bahkan hilang tanpa jejak lagi. Kajian ini fokus pada hubungan antara toponimi, perubahan wilayah adminitrasi, topografi, sebaran pemukiman dan jumlah penduduk di Desa Kepoh Kecamatan Toboali Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Toponimi Kepoh
Setidaknya ada 3 versi asal usul penamaan Desa Kepoh. Pertama berasal dari nama tumbuhan yang bernama Kepuh, Kepoh atau Kelumpang (Sterculia Foetida), sejenis pohon kerabat jauh Kapuk Randu yang banyak ditemukan di hutan-hutan pantai. Pohon ini menjulang tinggi bisa mencapai 40 meter dan gemang batang mencapai 3 meter, namun kayunya tidak kuat, tidak awet dan mudah lapuk. Masyarakat memanfaatkanya untuk pengobatan tradisional, baik dari daun, kulit kayu, kulit buah, akar maupun biji buahnya. Versi kedua berasal dari nama ikan. Ada 2 jenis ikan yang menggunakan nama Kepoh yakni Kerepoh atau Kepoh (Caranx Sexfasciatus) sejenis ikan air masin dan Kepoh atau Sepatung (Pristolepis Grootii) yang banyak ditemukan di perairan sungai, danau, dan rawa-rawa. Versi terakhir untuk menyebut warna air sungai yang keruh atau Kepoh dalam dialek Melayu Bangka. Dari ketiga versi asal usul nama tersebut, versi pertama lebih kuat, walau belum tentu benar. Dalam tradisi masyarakat Melayu Bangka, penamaan tempat lebih banyak menggunakan nama pohon yang tumbuh di wilayah tersebut, misalnya Nyireh, Olim, Balar, Jering, Terep, Jelutung, Balunijuk, Betur, Pinang, Kace, Pelawan, Ketapik dan Terentang.
Dari Pangkalan Menjadi Desa Kepoh
Setelah pulau Bangka aman dari kaum Melukut atau Batak, Panglima Syarah dari kesultanan Johor memerintah di Bangka-Kota dengan hukum Islam dan dilanjutkan Raja Alam Harimau Garang dari Kesultanan Minangkabau memerintah di Kota Beringin (Kotawaringin) dengan hukum adat perintah.[2] Pada masa inilah tanah Pakuk diketahui mengandung besi, ditambang dan dipuput (Peleburan) menghasilkan besi. Pada masa kekuasaan Panembahan Sarpu dan Bupati Nusantara dari Kesultanan Banten, Pulau Bangka dibagi dalam 7 Kepatihan yakni Punggur, Jebus, Panji, Jeruk, Menduk, Balar dan Pakuk. Patih Pakuk membawahi 5 Batin Pengandang.[3] Sepanjang Sungai Kepoh ada 3 Batin, yakni Batin Gerunggang, Batin Jiwad/Batin Balaikambang dan Batin Ketapik.[4] Setelah Bupati Nusantara wafat pada tahun 1671, Kesultanan Palembang menguasai Pulau Bangka. Sultan Ahmad Najamudin I Adikesumo (masa pemerintahan 1757-1776) mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain perubahan jabatan Patih menjadi Depati dan pendirian pangkal baru di setiap wilayah Depati. Depati Pakuk membawahi 6 Batin Pengandang dan 2 Keria. Selain itu Depati Pakuk membuka pangkal baru (Kubak, Balar dan Toboali Lama) dan mempertahankan pangkal lama (Ulim, Bangka-Kota).[5] Pada masa Sultan Muhammad Bahaudin (masa pemerintahan 1776-1803) membagi pulau Bangka menjadi 2 wilayah. Bangka Utara-Barat beribukota di Mentok dan dipimpin Abang Ismail gelar Tumenggung Kerta Menggala. Bangka Selatan beribukota di Pangkal Toboali dan dipimpin Pangeran Adiwijaya. Pada masa inilah, tepatnya tahun 1792-1793, Sungai Kepoh digunakan para Lanun untuk merampok dan menguasai Toboali.[6] Dari data-data diatas, kemungkinan besar Kampong Kepoh sudah berdiri dari zaman Kesultanan Banten dan Kesultanan Palembang, terutama ditopang sebagai wilayah penghasil timah.
Dalam peta kuno peninggalan bangsa Eropa, nama Kepo muncul pertama kali dalam peta Kaart van Het Eiland Banca voormaals genaamd China Bata straat Banka en een gedeelte van het Eiland Sumatra, diperkirakan dibuat diantara tahun 1803-1813, saat masih terjadi perdebatan nama Pulau Bangka atau China Bata. Terdapat tulisan Kuppo dan gambar sebuah rumah di sebuah tanjung yang kini disebut Berikat. Nampaknya pembuat peta salah menempatkan posisi dan kita memaklumi keterbatasan pengetahuan saat itu. Misalnya Koba dan Rangau dibawah Tanjung Berikat. Capoe (mungkin Tepus) di tempat seharusnya Kepoh. Peta ini memberikan gambaran bahwa Kampung Kepoh sudah ada dan belum dikuasai Belanda, berbeda dengan kota-kota se-pulau Bangka yang sudah dikuasai Belanda dengan simbol bendera merah putih biru.
Tiga peta buatan bangsa Inggris yang menguasai pulau Bangka pada tahun 1812-1816 menunjukkan Kepoh sebagai wilayah tambang timah (Mines of Tengkeeya and Keppoo), nama sungai (Keppo River), perkampungan dekat sungai (Kuppo) dan masuk wilayah South East Division. Setelah menguasai pulau Bangka kembali, bangsa Belanda membuat 3 peta pada tahun 1819-1821. Peta pertama Kaart van het Eiland Banka 1819 menunjukan perkampungan di tepi sungai bernama Kapo dan berbendera hitam, berbeda dengan beberapa kota di Pulau Bangka yang berbendera Belanda. Di sebarang sungai terdapat benteng atau kubu pertahanan yang bernama Binting Moeloet, dikelilingi jalan setapak (garis-garis putus) dan pagar kayu. Artinya kampung ini menjadi basis perlawanan terhadap kekuasaan Hindia Belanda di wilayah selatan pulau Bangka yang dipimpin Raden Keling dan dilanjutkan putranya Raden Ali. Saat itu terjadi Perang Bangka I (1819-1828) yang dipimpin Depati Bahrin dari Tanah Jeruk. Kampung Kapo ini dihubungkan jalan setapak melewati, rawa-rawa, kampung tak bernama dan kampung Medang, sebelum berakhir di Toboaly yang sudah dikuasai Belanda. Peta kedua tidak jauh berbeda dengan peta pertama, hanya sudah ada pembagian wilayah distrik. Kappo masuk wilayah Distrik Toboaly dengan ibukota di Toboaly. Saat itu Distrik Toboali meliputi kampung Singuam, Pinang, Jelanding, Kabar, Gami, Bajon, Medang dan Kappo. Peta ketiga tidak menyebutkan lagi keberadaan Binting Mulut, kampung Medang ditulis Madang dan sepanjang jalan terdapat kotak-kotak kecil yang menandakan sebaran pemukiman kecil.
Peta yang menyebutkan 2 kampung bernama Kepo diawali dengan peta buatan HM Lange pada tahun 1845-1846. Versi pertama terdapat kampung Kapo Lama di tepi sungai Kapo, berdekatan dengan kampung Tandjong Pau, Ringang dan Paija Piaout. Tidak ada jalan setapak yang menghubungkan dengan Sabang atau Toboali. Sementara kampung Kapo berada di tengah daratan dan terdapat jalan setapak yang menghubungkan ke Sabang atau Toboali. Kedua kampung ini (Kapo Lama dan Kapo) masuk wilayah distrik Toboali. Saat itu distrik Toboali meliputi kampung Sekanong, Pinang, Merang, Njelading, Kitapang, Penda, Pependang, Krisik, Njerie, Bajor, Bientja, Kaijoeara-itam, Melassat, Serdang, Pakko, Paija Raout, Ringang, Kapo Lama, Tandjong Pauh, Kampong Baroe, Kapo, Oud Taboali, Bakon, Sabang dan Aijer Menga Pulau Lepar. Peta versi kedua hampir sama dengan versi pertama, cuma tidak membagi pulau Bangka dalam wilayah 8 distrik.
Peta Kaart van het Eiland Banka Volgens de Topographische Opneming in de jaren 1852 tot 1855, karya L. Ullmann merupakan peta yang nyaris sempurna dibandingkan peta-peta sebelumnya. Kampung Pangkal Kapo berada di tepi sungai Kapo dan dihubungkan 2 jalan setapak menuju Sabang of Toboali, ibukota Distrik Toboali. Jalan pertama melewati kampung Gadoeng, nampaknya jalan baru. Jalan kedua merupakan jalan lama yang melewati Kampung Kapo. Kampong Kapo berada di kaki Gunung Montaye ( Muntai ) dan dihubungkan jalan menuju Sabang of Toboali. Saat itu distrik Toboali meliputi kampung Irat, Bedingong, Kladjouw, Njelanding, Air Deles, Air Gegas, Maas, Bendja, Pergam, Petaling, Bikang, Baroe, Gadoeng, Pangkal Kapo, Kapo dan Sabang of Toboali.
Pada tahun 1884, Dornseiffen mengeluarkan peta berjudul Bangka en Blitong dan hanya dalam peta ini nama Kapo dipakai untuk 2 kampung yang berbeda. Setahun kemudian J.W. Stemfoort pada tahun 1885 mempublikasikan Kaart van het Eiland Banka dan menyebut kampung Kapo berada di tepi sungai, dihubungkan jalan lebar 2-3 meter (garis hitam tanpa putus) melewati kampung Baroe, Gadong dan berakhir di Toboali of Sabang, ibukota Distrik Toboali. Sementara jalan setapak melewati kampung Kapo Ketjil yang tembus di Toboali of Sabang. Saat itu distrik Toboali meliputi kampung Irat, Bedingong, Enda, Kladjouw, Baroe, Brandok, Njelanding, Ajer Deles, Ajer Gegas, Maas, Bentja, Pergam, Serdang, Pedendang, Petaling, Bikang, Baroe, Gadong, Pangkal Kapo, Kapo, Sabang of Toboali dan Pulau Lepar (P. Padang, P. Tebing Tinggi, Penoetoek, Mengook, Goenoeng dan Modjak).
Peta wilayah adminitrasi lebih detail dikeluarkan dengan judul Kaart van de Residentie Bangka pada tahun 1898. Kampung Kepo berada di tepi Sungai Kepo dan dihubungkan jalan sedang baik lewat Gadong maupun Kepo Ketjil (v) menuju Toboali of Sabang. Kampung Kepo masuk wilayah onderdistricten Toboali bersama kampung Baroe, Lintang, Gadong, Kepo Ketjil dan Toboali of Sabang sebagai ibukota Distrik sekaligus onderdistricten. Saat itu Distrik Toboali dibagi dalam 3 onderdistricten yakni Toboali (XXVII), Gosong (XXVIII) dan Oelim (XXIX).
Perubahan wilayah adminitrasi terjadi seiring pemindahan ibukota Keresidenan Bangka Belitung ke Pangkalpinang pada tanggal 3 September 1913. Dalam peta Overzichtkaart van het Gewest Banka en Onderhoorigheden tahun 1916, Pulau Bangka dibagi dalam 5 afdeelingen, yakni Noord Banka, Soengailiat, Muntok, Pangkalpinang dan Zuid Banka. Afdeelingen Zuid Banka dibagi dalam 3 distrik yakni Toboali, Koba dan Lepar Eilanden. Distrik Toboali dibagi 2 onderdistricten yakni Toboali dan Oelim. Onderdistricten Toboali terdiri dari kampung Petaling (Djeridji), Bikang, Kelekak Baroe, Gadoeng, Rias, Rindik, Kepo 2 dan Kepo 1. Kampung Kepo 2 berada di tepi sungai Kepo, dihubungkan 2 jalan sedang baik lewat Rindik maupun Kepo 1 menuju Toboali.
Dalam peta Overzichtkaart van Sumatra Banka Blad 22 tahun 1925, Afdeeling Bangka dibagi dalam 5 onderafdeeling, yakni Noord Banka, Soengailiat, Muntok, Pangkalpinang dan Zuid Banka. Onderafdeeling Zuid Banka meliputi Toboali, Koba dan Lepar Eilanden. Kampung Kepo berada di tepi sungai Kepo, dihubungkan 2 jalan sedang baik lewat Petar maupun Kapo menuju Toboali. Wilayah adminitrasi tidak banyak berubah dalam peta Topografi Residen Bangka en Onderh blad 36/XXVII n yang terbit pada tahun 1936 dengan skala 1: 25.000. Keistimewaan peta ini ada 2 yakni awal penulisan nama dengan istilah Kepoh dan menguraikan secara detail sebaran pemukiman.
Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Australia sebagai sekutu Belanda membuat peta Cartographic Company Australian Survey Corp yang diterbitkan pada bulan Oktober 1945, sebagai upaya menguasai kembali wilayah Pulau Bangka. Wilayah Kepoh tidak banyak perubahan dibandingkan peta tahun 1936. Hal yang sama dalam peta buatan Militer Amerika Serikat pada tahun 1955. Justru, informasi tentang sebaran kampung dan tambang timah tidak terekam dengan baik. Dua peta tersebut dibuat untuk kepentingan militer, sehingga skala lebih kecil dibandingkan peta tahun 1936.
Pada tahun 1950, seiring pembentukan Provinsi Sumatra Selatan, Kabupaten Bangka melingkupi 1 pulau Bangka dan terdiri 13 kecamatan yakni kecamatan Mentok, Kelapa, Jebus, Belinyu, Sungailiat, Merawang, Mendo Barat, Pangkalan Baru, Sungaiselan, Koba, Payung, Toboali dan Lepar Pongok. Kecamatan Toboali terdiri dari 12 desa/kelurahan, yakni Toboali, Tukak, Gadung, Bikang, Jeriji, Serdang, Pergam, Bencah, Air Gegas, Delas, Nyelanding dan Rindik Kepoh. Dalam peta penggunaan lahan yang diterbitkan Direktorat Landuse Departemen Dalam Negeri tahun terbit 1973, Kampung Kepoh dikelilingi kebun campuran dan sepanjang jalan yang menghubungkan ke Kampung Rindik terdapat perkebunan tanpa penjelasan jenis tanaman komoditi. Sebagian besar wilayah Kepoh masih berupa hutan rimba (HR) dan hutan lebat (L). Peta Rupabumi Lembar 1213 yang terbit pada tahun 1986 menyebut Kampong Kepoh dengan penanda 3 bangunan. Pada tahun 1990 luas Desa Rindik Kepoh mencapai 120 km², terdiri dari 3 dusun (Rindik, Kepoh, Parit Dua) dan 443 KK.
Seiring pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2000, Pemerintah Kabupaten Bangka mengesahkan PERDA Nomor 7 Tahun 2001 Tentang Pembentukan 9 (Sembilan) Kecamatan pada tanggal 26 April 2001 oleh Bupati Eko Maulana Ali. Sembilan kecamatan baru tersebut antara lain Pemali (Pemekaran Sungailiat), Puding Besar (Pemekaran Merawang), Bakam (Pemekaran Sungailiat), Riau Silip (Pemekaran Belinyu), Tempilang (Pemekaran Kelapa), Simpang Teritip (Pemekaran Mentok), Simpang Katis (Pemekaran Pangkalan Baru), Simpang Rimba (pemekaran Payung) dan Air Gegas (pemekaran Toboali). Setelah pemekaran tahun 2003, Kabupaten Bangka Selatan terdiri 5 kecamatan yakni Payung, Simpang Rimba, Toboali, Air Gegas dan Lepar Pongok. Kecamatan Toboali terdiri 13 Desa/Kelurahan, yakni Rias, Teladan, Tanjung Ketapang, Toboali, Sadai, Tukak, Kepoh, Rindik, Keposang, Gadung, Bikang, Jeriji dan Serdang. Desa Rindik Kepoh yang berdiri sejak tahun 1950-an dimekarkan menjadi Desa Rindik dan Desa Kepoh pada tahun 2001. Desa Kepoh memiliki luas 114,75 km², terdiri 2 dusun dan 8 Rukun Tetangga (RT). PERDA Kabupaten Bangka Selatan Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kecamatan Tukak Sadai dan Kecamatan Pulau Besar Beserta Penataan Kecamatan di Kabupaten Bangka Selatan disahkan pada tanggal 14 Desember 2007 oleh Bupati Justiar Noer, sehingga Kecamatan Toboali kembali dimekarkan dengan kecamatan baru bernama Tukak Sadai. Kecamatan Toboali terdiri dari 11 desa/kelurahan, yakni Rias, Teladan, Tanjung Ketapang, Toboali, Kepoh, Rindik, Keposang, Gadung, Bikang, Jeriji dan Serdang. Sampai tahun 2023, Desa Kepoh tetap memiliki luas 114,75 km², terdiri 3 dusun, 12 Rukun Tetangga (RT) dan 861 Kepala Keluarga (KK). Perbatasan wilayah desa Kepoh adalah :
- Sebelah utara dengan desa Tepus Kecamatan Air Gegas dengan batas alam berupa Sungai Gumba;
- Sebelah barat dengan desa Jeriji (garis lurus ke selatan, melewati Air Mandau-Air Tarum Besar dan Air Tungkal-Air Banit-Air Medang), Bikang (Sungai Kepoh) dan Gadung (barat persawahan-Sungai Pumpung),
- Sebelah selatan dengan desa Rindik (Air Mentangor-Bukit Karak) dan Bukit Terap (Bukit Serdang-Air Jelutung)
- Sebelah timur dengan perairan laut Kepulauan Lepar.
[1] Effendi, Rusdi. Geografi dan Ilmu Sejarah (Deskripsi Geohistori untuk Ilmu Bantu Sejarah), Banjarmasin: Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat, 2020, Halaman 113.
[2] Fasal yang kedua puluh dalam E.P.Wieringa, Carita Bangka, Het verhaal van Bangka (1990) halaman 66.
[3] Fasal yang kedua puluh satu dalam E.P.Wieringa, Carita Bangka, Het verhaal van Bangka (1990) halaman 71.
[4] Akhmad Elvian, Organisasi Sosial Suku Bangsa Melayu Bangka, Jakarta : Direktorat Tradisi, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2010, hal. 65.
[5] Fasal yang kedua puluh tujuh dalam E.P.Wieringa, Carita Bangka, Het verhaal van Bangka (1990) halaman 105-106.
[6] Thomas Horsfield, Report On The Island of Banka, dalam The Journal of The Indian Archipelagi and Eastern Asia hal 316-317 dan 326