Si Tunku Singalangit kecik dan Kebijaksanaan Sang Datuk

Oleh: Sutiono, S.Pd. Kim, M.M 

Kepala SMK Negeri 1 Tukak Sadai

Di Desa Bukit Pagar Lestari, berhembus angin yang sejuk melewati celah-celah daun pepohonan yang rindang. Suasana daerah pedesaan yang damai dan Sejahtera. Berlokasi di daerah lembah yang subur dan kaya akan flora dan fauna. Penduduk desa hidup rukun, saling membantu dan menjujung tinggi goyong royong, serta menjaga tradisi turun-temurun. Di desa tersebut, ada satu sosok yang paling dihormati dan disegani yang bernama Datuk Singalangit. Ia seorang sepuh yang bijaksana, memiliki wawasan yang luas dan berilmu tinggi, serta dihormati karena kharismanya. Setiap kali ada upacara adat atau kegiatan gotong royong, Datuk Singalangit selalu menjadi pemimpin yang diikuti dengan penuh hormat.

Dan Datuk Singalangit memiliki cucu yang Bernama Raden Tunku Singalangit, sering kali menemani kakeknya dalam berbagai kegiatan desa. Meski masih kecil, ia menyaksikan betapa besar pengaruh kakeknya dalam menjaga keharmonisan desa.

Suatu hari, ada kejadian yang membuat Tunku melihat sisi lain dari kehidupan desa. Desa mereka baru saja dilanda hujan deras selama beberapa minggu, menyebabkan jalan utama yang menghubungkan desa dengan pasar di kota mengalami kerusakan yang parah. Tanah longsor dan genangan air membuat jalan itu tak bisa dilalui. Sebagai pemimpin adat, Datuk Singalangit segera mengajak seluruh warga desa untuk bergotong royong memperbaiki jalan yang rusak.

Pagi hari itu dangan suasana mentari masih mengintip malu di balik awan, seluruh warga Desa Bukit Pagar Lestari berkumpul di balai desa untuk mendengar arahan dari Datuk sang sepuh yang kharismatik. Dengan suara tenang, Datuk menjelaskan pentingnya gotong royong untuk memperbaiki jalan yang rusak. “Jalan ini adalah urat nadi kita,” ujarnya dengan penuh wibawa. “Tanpa jalan ini, kita tidak bisa membawa hasil panen ke pasar, dan kita akan mengalami kesulitan untuk mendapat barang-barang kebutuhan pokok kita. Sekarang mari kita bekerja bersama, seperti yang selalu kita lakukan selama ini.”

Namun, di tengah suasana penuh semangat itu, terdengar suara keluhan dari seorang warga bernama Pak Kumis. Ia seorang petani tua yang terkenal suka menggerutu dan mengeluh. “Setiap kali ada masalah, kita harus bergotong royong! Aku Lelah dan capek, Datuk. Kenapa kita harus selalu bekerja keras seperti ini? Mengapa tidak dibiarkan saja dan menunggu orang dari kota yang memperbaiki jalan ini?” katanya dengan nada kesal. Semua orang terdiam sejenak. Tunku, yang berada di samping kakeknya, merasa terkejut dan gelisah. Ia melihat wajah Pak Kumis yang tampak Lelah, cemberut dan frustrasi. Dan suasana yang sebelumnya tenang, kini berubah tegang. Beberapa warga Kumisai berbisik, sementara yang lain hanya menunduk, tak ingin terlibat dalam perdebatan.

Datuk Singalangit, dengan ketenangan yang selalu ia tunjukkan, melangkah mendekati Pak Kumis dan berkata dengan lembut. “Pak Kumis, “aku paham bahwa pekerjaan ini berat. Usia kita tak lagi muda, dan tenaga kita terbatas. Tapi ingatlah, gotong royong bukan hanya soal memperbaiki jalan, tetapi soal kebersamaan, tentang bagaimana kita saling menjaga agar desa ini tetap utuh dan bisa kita wariskan kepada anak cucu kita nanti.” Pak Kumis mendengus, masih merasa tidak puas dan agak kesal. “Tapi, Datuk, jalan ini lebar dan panjang. Berapa lama kita akan menyelesaikannya? Bukankah tenaga kita tidak cukup?” Datuk tersenyum. “Benar, jalan ini lebar dan panjang. Tapi yakinlah, jika kita mengerjakan secara bersama-sama, beban berat itu akan terasa lebih ringan. Setiap orang memberikan tenaga semampunya, dan tidak ada yang dipaksa. Namun, kita juga harus ingat bahwa desa ini adalah tanggung jawab kita bersama. Jika bukan kita yang merawatnya, lalu siapa?”

Tuan Tunku kecil, mendengar percakapan itu dengan cermat dan merasa kagum. Kakeknya tidak memarahi Pak Kumis, melainkan menjawab dengan kesabaran dan pengertian. Ia menyadari bahwa kepemimpinan Datuk bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga tentang memahami perasaan orang lain.

Pak Kumis terdiam dan menunduk, lalu menghela napas panjang. “Baiklah, Datuk. Aku akan ikut demi kebersamaan dan kemajuan kampung kita, meski tenagaku tak sekuat dulu.” Datuk mengangguk dengan senyum hangat. “Itu yang penting, Pak Kumis. Kita bekerja bersama-sama, saling mendukung, dan dengan begitu, pekerjaan ini akan selesai lebih cepat dari yang kita bayangkan.”

Dengan kata-kata bijak Datuk Singalangit, suasana kembali tenang. Semua warga bersiap-siap untuk melanjutkan pekerjaan lagi. Tuan Kecil Tunku Singalangit melihat bagaimana kakeknya tidak hanya memimpin dengan memberi perintah, tetapi juga dengan memberi teladan. Ia menyaksikan Datuk yang meski sudah sepuh, tetap ikut bekerja, mengangkat batu, dan membantu mengarahkan warga lainnya. Gotong royong berlangsung sepanjang hari, dan meski pekerjaan terasa berat, tidak ada yang merasa terbebani. Semangat kebersamaan membuat segala sesuatu menjadi lebih ringan. Jalan desa yang rusak perlahan-lahan kembali terbentuk, dan pada sore harinya, pekerjaan mereka hampir selesai.

Saat matahari sudah terlihat di ufuk barat dan menandakan senja pun datang, Datuk Singalangit dengan penuh wibawa berdiri di tengah-tengah warga desa, wajahnya penuh senyum  kebanggaan. “Lihatlah jalan kita sudah bagus kembali, kita telah melakukannya bersama,” katanya dengan suara hangat. “Dan inilah kekuatan kita sebagai sebuah kampung gotong royong dan kebersamaan. Selama kita kompak dan bersatu, seberat apapun masalah yang kita hadapan pasti dapat diselesaikan dengan baik, dan ingatlah slogan kampung kita yaitu terbatas tapi melampaui batas.”

Pak Kumis, yang sebelumnya mengeluh dan frustasi, kini berdiri di samping Datuk Singalangit dengan senyum kecil. “Aku tak menyangka, Datuk Singalangit. Pekerjaan ini memang berat, tapi rasanya lebih ringan saat dikerjakan bersama-sama.” Datuk tersenyum lebar. “Itulah kekuatan gotong royong, Pak Kumis. Ketika kita bekerja bersama, kita tidak hanya membangun jalan, tapi juga membangun kebersamaan dan kekuatan desa kita.”

Tuan Tunku Singalangit kecil yang imut, selalu memandang kakeknya dengan penuh kagum. Ia belajar hari itu bahwa kepemimpinan tidak hanya tentang memimpin, tetapi juga tentang mendengarkan dan memahami orang lain. Datuk Singalangit bukan hanya seorang pemimpin adat, tetapi juga teladan kebijaksanaan dan kearifan yang tak pernah lelah menjaga desanya tetap utuh, damai dan menjaga kearifan lokal dengan memperhatikan keseimbangan alam serta mencegah kerusakan lingkungan sehingga Desa Bukit Pagar Lestari yang dikelilingi Perbukitan dan ditumbuhi pepohonan lebat tetap memagari desa tersebut dari semua kerusakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *