ΒΑΤΙN TIKAL (Bagian 1)

ΒΑΤΙN TIKAL (Bagian 1)

Oleh : Amiruddin Djakfar

Kota Sungaiselan sekitar tahun 1852
Ketika itu masih dipanggil Pangkal Selan termasuk salah satu pangkal yang delapan di Pulau Bangka yaitu Pangkalpinang, Pangkal Koba, Pangkal Sungailiat, Pangkal Mentok, Pangkal Sabang (Toboali), Pangkal Belinyu, dan Pangkal Jebus.

Tap-tiap pangkal ini dikepalai oleh seorang Demang, dibantu oleh Batin, kemudian oleh Gegading. Pangkal Selan begitu sunyi dengan kemuramannya yang tidak berubah dari malam satu ini ke malam yang lain. Bila malam telah menjelma penduduk Pangkal Selan mengurung dirinya di dalam rumah, lebih-lebih lagi penduduk yang tinggal di tepi aliran sungai yang senama dengan kota ini yaitu Sungaiselan lebih merasai lagi kesunyian malam yang dibaurkan oleh rasa negeri. Betapa tidak? Di pelabuhan perahu (berok) selalu siap waspada tiap-tiap gerak yang mencurigakan. Pangkal Selan dan Sungai Selannya dicurigai oleh tentara Belanda, karena di sana di ujung Selatan Pulau Bangka disuatu kota Kecil yang bernama Bangka Kota masih berdiri suatu daerah merdeka yang dipimpin oleh seorang dengan gelaran pangkatnya Batin dan namanya Tikal. Sinonim dari nama dan pangkat ini tergabung menjadi Batin Tikal. Beliau adalah salah seorang komandan pasukan Depati Amir yang pada saat itu sudah diasingkan Belanda ke Kupang Timor (Nusa Tenggara). Panglima-panglima pasukan Amir yang kenamaan lainnya seperti Akek Gok, Tjing, dan sebagainya sudah undur keluar Bangka ataupun sudah gugur dalam perjuangan, namun Batin Tikal tetap bertekad bulat meneruskan perlawanan bertahan sampai titik darah terakhir di Pulau Bangka, di Bangka Tengah dengan Bangka Selatan yaitu Pangkal Selan. Untuk pergi dari Pangkal Selan ke Bangka Kota orang dapat melalui sungai atau laut dapat pula jalan darat, tetapi anda dapat membayangkan bahwa jalan raya yang baik belum ada, hanya jalan yang sederhana saja melalui rimba yang lebat, rawa-rawa, sungai yang tidak berjembatan sempurna. Dari Pangkal Selan ke Bangka Kota jika jalan darat kurang lebih 80 Km. Di sinilah Batin Tikal menyusun pertahanan, di sinilah terjadinya tragedi nasional yang penuh kepahlawanan dan penuh pula kepahitan serta kekecewaan.

Belanda memandang Pangkal Selan tempat yang strategis untuk dijadikan markas kedua bagi pasukan yang menjamin keamanan Bangka Tengah dan Selatan. Di Pangkal Selan ditempatkan dua kompi serdadu Belanda dikepalai oleh seorang Kapten Belanda bernama Becking. Selain dari pada Becking ada lagi seorang Belanda berpangkat Letnan namanya Dieman. Dalam kesatuan ini hanya dua orang saja Belanda putih, yang lain hitam-hitam. Markas besarnya pasukan Belanda di Bangka ditempatkan di Kota Mentok. Kapten Becking asyik bekerja dalam kantornya di hadapannya terbentang selembar peta Bangka Selatan.

Ia tampak gelisah, apalagi sebentar-sebentar angin bertiup dingin dan lampu pelita itu kadang-kadang hampir padam. Keningnya kerut merut, pandangannya dilayangkannya keluar mencoba menembus kepekatan malam tetapi sia-sia saja, di luar begitu kelam sunyi, hanya suara tapak sepatu serdadu jaga sesekali kedengaran melanda batu di halaman. Dia mengerti serdadu-serdadunya setia mengawal, kadang-kadang berlindung di balik pohon-pohon beringin di muka markas, beringin-beringin yang rimbun dan dahsyat, beringin-beringin yang hingga masa ini sebagian masih tegak juga.

Ah…andaikata beringin ini pandai berbicara, tentulah tidak sesukar ini pena penulis melancar di atas kertas.

Becking berdiri, bertepuk tangan tiga kali seperti seorang pemburu memanggil anjingnya yang setia. Di muka pintu yang membuka, berdiri sambil menghormat seorang serdadu.

“Panggil Letnan Dieman!” perintahnya pendek saja. Serdadu itu membalik pergi ditingkat suara derap sepatu.

“lekas…lekas!”

“Duduklah Letnan!” perintah kapten itu setelah ia membalas penghormatan Letnan Dieman.

Mereka diam sejurus, “Letnan, aku ingin membicarakan tentang bagaimana kita mengatur siasat menumpaskan Barin Tikal. Persoalan ini semangatlah memalukan kita karena sudah dua kali kita coba, gagal saja. (Bersambung).

Catatan: tulisan ini merupakan karya Amiruddin Djakfar yang ditulis tahun 1966 yang penulis peroleh dari Bujang KN (alm) saat Festival Batin Tikal 2019 di Desa Gudang. Tulisan ini masih menggunakan ejaan lama dan sudah penulis alihkan ke ejaan Bahasa Indonesia. 

Penulis sudah mendapat izin dari keluarga almarhum Amiruddin Djakfar untuk mempublikasikan tulisan ini. 

Exit mobile version