Oleh : Rusmin Sopian
Bekaespedia,com _ Aksi purba berupa kekerasan yang menimpa Ichsan Mokoginta jurnalis senior Bangka Belitung merupakan sebuah duka yang mendalam bagi dunia Pers Bangka Belitung.
Sekaligus memfaktakan kepada kita bahwa pemahaman terhadap UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers masih belum optimal. Apresiasi semua pihak terhadap peran dan fungsi Pers belum berjalan sebagaimana amanat UU Pers.
Kondisi ini membuat para pelaku dan penghasil karya intelektual yang bernama wartawan sangat rentan terhadap aksi-aksi purba yang bermuara kepada pelanggaran terhadap UU. No. 40 tentang Pers.
Fenomena masih adanya perilaku purba yang sering menimpa jurnalis di negeri ini, membuktikan bahwa kemerdekaan pers yang merupakan hak asasi bagi setiap warganegara dan salah satu bentuk perwujudan kedaulatan rakyat dan menjadi variabel penting dalam menciptakan kehidupan bermasyarakat belum optimal dan kerap terlanggarkan.
Dalam UU Pers pasal 4 ayat 2 dengan tegas dan lugas dikatakan bahwa terhadap Pers Nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran.
Dan bagi mereka yang menghalangi aplikasi dari pasal 4 ayat 2 itu dapat dipidana dan dikenakan denda sebanyak 50 juta sebagaimana yang diatur dalam pasal 18 ayat 1 bab VIII UUD Pers.
Dalam UU Pers diatur pula hak-hak narasumber dan masyarakat dalam perannya sebagai pengontrol dan pengawas terhadap terciptanya kemerdekaan pers.
Pasal 17 ayat 2 Bab VII UU No.40 dengan tegas dinyatakan bahwa masyarakat dapat memantau dan melaporkan analisa mengenai pelanggaran hukum dan kekeliruan tehnis pemberitaan yang dilakukan pers.
Masyarakat dapat pula melakukan koreksi terhadap kekeliruan yang dilakukan pers dalam pemberitaan sebagaimana yang diatur dalam hak koreksi.
Perusahaan Pers yang melanggar ketentuan pasal 5 ayat 2 dan 3 tentang hak jawab dan hak koreksi dapat dipidana dengan denda lima ratus juta rupiah sebagaimana yang diatur dalam UU Pers pasal 18 ayat 2.
Dalam mewujudkan kemerdekaan pers yang merupakan sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia, para wartawan juga terikat dengan kode etik jurnalistik.
KEJ ( Kode Etik Jurnalistik) merupakan standar dan acuan bagi para wartawan dalam menjalankan profesinya dengan tetap menghormati hak asasi manusia.
Kode Etik Jurnalistik ( KEJ) merupakan standar moral bagi wartawan dalam melahirkan karya intelektual yang bukan hanya cepat dan akurat namun cepat, akurat, dan tetap berlandaskan kepada penghormatan terhadap hak asasi bagi manusia sehingga integritas dan profesionalitas wartawan dapat ditegakkan dalam upaya mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari publik sebagai konsumen dan masyarakat.
Pada sisi lain banyaknya aksi purba yang menimpa kaum jurnalis hendaknya menjadikan para jurnalis sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual untuk berbenah dan introspeksi diri.
Dalam peraturan Dewan Pers No. 1 tahun 2010 telah diatur tentang standar kompetensi wartawan sebagai bentuk penilaian terhadap profesionalitas wartawan.
Standar kompetensi wartawan yang merupakan keputusan Dewan Pers untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat.
Standar kompetensi wartawan ini lahir dalam upaya untuk menjaga kehormatan dan martabat profesi wartawan dalam upaya untuk menciptakan karakter wartawan unggulan.
Dalam keputusan Dewan Pers tahun 2010 ditegaskan tentang tujuan standar kompetensi Wartawan Indonesia antara lain :
1.Meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan
2.Menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan.
3.Menegakan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik
4. Menjaga harkat dan martabat wartawan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual
5. Menjaga penyalahgunaan profesi wartawan dan
6. menempatkan wartawan pada posisi strategis dalam industri pers.
Adanya standar kompetensi wartawan ini membuat para wartawan dituntut untuk selalu menjalankan profesi ini dengan profesional yang dilengkapi dengan standar profesional yang tinggi. Apalagi dalam kondisi masyarakat yang kritis dan berpendidikan maka standar kompetensi wartawan menjadi sesuatu yang harus dimiliki para pekerja pers dalam menjalankan profesinya.
Apalagi dalam UU Pers ada hak masyarakat untuk menggugat wartawan yang tidak profesional dalam menjalankan profesinya sebagai jurnalis.
Singkat kata, menjadi wartawan butuh profesionalitas dan kompetensi yang tinggi seiring dengan perubahan zaman.
Sementara itu masih adanya aksi purba yang terjadi terhadap jurnalis membuktikan bahwa sosialisasi UU Pers perlu dikampanyekan kembali pada semua sendi dan elemen masyarakat.
Dan ini merupakan salah satu tugas dan peran penting yang diemban para wartawan dan perusahaan pers serta organisasi pers yang ada di daerah ini dalam upaya untuk mencerdaskan bangsa yang secara inheren merupakan salah satu tugas kaum jurnalis.
Aksi purba yang menimpa jurnalis senior Bangka Belitung dan pegiat budaya Negeri Serumpun Sebalal Ichsan Mokoginta ini hendaknya merupakan starting point bagi perusahaan pers dan organisasi pers yang ada di negeri ini untuk meningkatkan standarisasi bagi para wartawannya dalam usaha melahirkan jurnalis yang profesional dalam menyebar informasi dan mampu memartabatkan diri dalam menjalankan profesi ini.
Sudah waktunya pelatihan dan kegiatan pendidikan terhadap para kaum jurnalis kembali digelar sehingga para wartawan mampu menjadi agen pembangunan yang bukan hanya mampu menjalankan profesi dengan standar kompetensi yang sejati namun mampu mencerdaskan masyarakat.
Dan inilah saatnya bagi semua habitat dan komunitas pers untuk menjadikan aksi purba sebagai bagian untuk berbenah dan membenahi diri demi kepentingan publik dan kepentingan pers sendiri sebagai elemen pencerdasan dan pencerahan bagi masyarakat.
Kampung Aek Aceng, Toboali, 26 November 2024
IKLAN :