Opini  

Bandit Timah

H. Saidun Derani

Oleh: Saidun Derani

Mukadimah

Ilegal mining adalah kejahatan yang tergolong kegiatan pertambangan tanpa izin. Karena illegal maka sudah jelas tidak ada pajak masuk untuk kas negara. Pertambangan illegal adalah kegiatan penambanagan yang dilakkan tanpa izin negara atau tanpa mengikuti procedure yang tepat untuk berpartisipasi dalam kegiatan penambangan yang sah.

Bebrapa kreteria utama yang digunakan untuk mendefisnikan penambangan illegal adalah:

1. Tidak memiliki hak atas tanah,

2. Tidak memiliki lisensi pertambangan,

3. Tidak memiliki izin eksplorasi atau transportasi mineral

4. Tidak memiliki document apapun yang sah untuk operasi penambangan.

Dampaknya adalah bahwa penambangan illegal dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah seperti erosi tanah dan pencemaran air, kerusakan hutan bakau atau terumbu karang. Penyebabnya adalah karena dalam proses penambangan ini menggunakan merkuri dan senyawa lainnya yang berbahaya.

Dalam konteks inilah memahami kasus korupsi timah yang santer beritanya di jagad nasional dan berita itu sudah sampai ke PBB yang berpusat di New York AS. Mengapa demikian mendunia berita ini, masalahnya faktor kerugian negara (harta rakyat Babel “dimaling” para bandit timah) ini antara kerugian dan sanksi hukum yang diberikan sangat tidak seimbang dan melukai rasa keadilan rakyat Babel. (FMBB Desak Pengembalian dana 271 T Hasil Korupsi https://youtu.be/RpawJ7vgjDU?si=sE2drPwZ2-YcxZ_c)

Makna Bandit

Bandit (bandits dalam bahasa Inggrisnya, atau bandito bahasa Italinya) semakna dengan penjahat, penyamun, brandal, dan penggarong, kata Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bisa juga dimaknai dengan perampok khususnya anggota geng atau kawanan rampok. Seorang penjahat atau perampok jalanan yang tidak resmi masuk pula ke dalam katagori ini.

Seseorang yang mengambil keuntungan secara tidak adil dari orang lain seperti pedagang yang mengenakan harga terlalu mahal atau sebaliknya terlalu rendah; penipu, yang menjalankan bisnis atau bekerja tanpa lisensi atau izin yang diperlukan dan tanpa mematuhi aturan atau praktik yang lazim.

Dengan demikian substansi kata bandit atau maling adalah ada unsur keculasan atau penipuan dengan mengambil keuntungan di luar kewajaran dan terlepas dari aturan-aturan yang disepakati sebuah masyarakat tertentu yang beradab.

Dalam konteks inilah maka koruptor dapat masuk katagori bandito atau lebih tepatnya perampok. Karena makna korupsi itu adalah perbuatan yang dilakukan dengan tujuan memberikan keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi (UU) dan haknya dari pihak-pihak lain.

Bukankah kata korupsi itu sendiri berasal dari bahasa Latin corruptus atau corruptio yang bisa berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dan tidak bermoral.

Teori Bandit

Menurut Mancur Olson dalam bukunya “Power and Prosperity” (2000) sebagaimana yang dikutip Didik J. Rachbini ( Teori Bandit, 2008) bahwa ada hubungan yang signifikan antara kekuasaan dan kesejahteraan.

Dalam konteks kekuasaan inilah sebenarnya dibangun sebuah kekuatan untuk mengkooptasi sumber daya, apakah itu alam dan manusia. Ketika kekuasaan ini mengambil kekayaan sumber daya ini dengan cara-cara di luar aturan yang bersifat berkeadilan maka ketika itulah lahir sebuah kekuatan (bandito) yang menekan dan cendrung memakai kekerasan.

Pengaruh tekanan dan kekerasan ini sangat berhubungan dengan proses pemerintahan yang berkuasa yang bersifat anarchi (tanpa perintahan bersifat anarkisme (hukum rimba), tirani (bentuk pemerintahan yang keras dan kejam di mana kekuasaan terpusat pada satu orang atau sekelompok kecil orang yang bertindak sewenang-wenang), dan demokrasi (sistem pemerintahan di mana rakyat memiliki kekuasaan tertinggi dan berhak menentukan kebijakan pemerintah).

Menurut Rachbini sejalan dengan transisi kekuasaan tersebut ekonomi juga berkembang dengan peningkatan kesejahteraan. Jadi proses transisi politik berjalan seiring dengan kesuksesan bidang ekonomi yaitu peningkatan ksejahteraan (prosperity).

Lebih jauh dijelaskan bahwa pada masa transisi model pasar dengan transaksi yang bersifat sukarela (voluntary) masih jauh dari memadai. Karena transaksi ekonomi banyak dipengaruhi pasar politik dengan cara-cara kekerasan (kekuasaan) dalam transaksi pasar. Ini artinya bahwa proses transisi menuju masyarakat sejahtera tidak secara otomatis meningkatkan mekanisme pasar yang bersaing dengan sehat. Kekuasan yang memaksa seringkali terlibat di dalam transaksi ekonomi sehingga melahirkan inefisiensi.

Jelas sudah bahwa kekuasaan yang bersifat memaksa sangat terkait dengan kepentingan peribadi dari pihak pemegang kekuasaan. Kekuasan semodel seperti ini tidak lepas dari control terhadap sumber daya ekonomi dan kesejahteraan, cara penguasaan dan memilikinya dengan memberlakukan hukum rimba kekuasaan yang disinonimkan metafora kriminal bandit dan koboi. Tidak ramah terhadap pasar kayak model transaski yang dikembangkan VOC (1602-1800 M) di Nusantara. Kata Prof. Rachbini cara transaksi pasar semacam ini melahirkan perbedaan yang signifikan antara kepentingan sempit (narrow self interest) dan kepentingan yang lebih luas (encompassing self interest).

Melihat dampak sosial dan kerugian rakyat ditaksir sebesar 300 T menurut penulis teori di atas bisa dipakai dalam manganalisis untuk melihat perilaku aktor politik yang berkolaborasi dengan pengusaha menguras kekayaan sumber dalam alam yang menyebabkan hidup rakyat Babel menjadi Nelangsa (Saidun Derani, Budaya Timah: Hidup Rakyat Babel Nelangsa, 10 Oktober 2024, TrasBerita. Com)

Bandit Berpindah dan Bandit Menetap

Dengan memetafora kekuasaan dalam mempraktekkan perilaku bandit dapat dibedakan menjadi dua katagori, yaitu bandit yang brutal seperti bandit berpindah dan bandit yang bijak seperti bandit yang menetap (roving bandit). Sungguhpun demikian Rachbini menegaskan bahwa yang namanya bandit tetaplah bandit dengan perilaku yang merusak sistem tatanan pasar.

Dalam konteks ini, mantan Bupati Bangka Induk, Babel, Yusroni Yazid, dalam suatu kesempatan perbincangan di acara yang dilakskanakan MKMB Jaya, menambahkan bahwa bandit yang menetap masih dapat ditoleransi. Mengapa dikatakan demikian, menurut beliau bahwa sifat bandit yang menetap yang berkontribusi kepada wilayah tempat bandit itu beroperasi.

Dia menambahkan bahwa bandit yang bijak masih melakukan perbaikan kepada daerah operasi tempat mereka maling timah, seperti penanaman pohon kembali, penghijauan, penanaman ikan, tenaga kerja yang berkesinambungan, dan seterusnya.

Akan tetapi akademisi kelahiran Desa Teratak, Sungai Selan, Bangka Tengah, Prof. Rozi Sabil, tidak sependapat dengan pendapat di atas. Mengapa demikian karena menyerahkan pembangunan kepada pebisnis dan kontraktor (market power) tidak akan menemukan kondisi yang diinginkan sebagaimana pembangunan yang berkelanjutan. Jadi pemerintah setempat bukan pada posisi yang mengendalikan akan tetapi sebaliknya dikendalikan.

Dalam kasus ini justru yang terjadi adalah Pemda Babel memberikan kebebasan kepada market power mengendalikan pemda setempat yang akibatnya adalah rusaknya lingkungan alam Babel dan pada jangka panjang menyebabkan rakyat Babel menjadi nelangsa.

Rozi menyebutkan bahwa jiwa masyarakat Babel dengan kondisi yang ada sekarang menimbulkan kecemasan, kekhawatrian dan centrung dapat menimbulkan gangguan jiwa yang terlihat pada tingkat emosi manusia Babel meningkat. Tentulah untuk jangka panjang masalah ini akan menimbulkan masalah yang tidak diinginkan.

Rakyat Babel Nelangsa

Sangat nelangsa hidup rakyat Babel. Segerombolan orang menjarah Sumber Daya Alam (SDA) mereka yang diperkirakan sebanyak 300 Triliyun menguap untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Sedanngkan rakyat Bangka Belitung menerima tuahnya dengan penderitaan sampai ke anak cucu akibat kerusakan lingkungan yang akut.

Makna nelangsa atau kesedihan versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu emosi yang ditandai oleh perasaan yang tidak beruntung, kehilangan dan ketidakberdayaan. Dan ketika itu terjadi pada diri seseorang ada kencendrungan manusia sering menjadi lebih diam, kurang bersemangat dan menarik diri dari lingkundan sosial. Melamun.

Demikianlah rakyat Babel diam dan terkesan masa bodoh melihat kejadian semacam itu walaupun kekayaan mereka dirampok secara sistemik dan terstruktur oleh orang lain. Kehilangan gairah dan keberanian sehingga yang ada adalah nelangsa kemudian berkisah (budaya bekisah) antar sesama dalam konteks untuk menghilangkan keruwetan hidup atau bisa juga untuk menutupi keresahan psikis di bawah alam sadarnya.

Bukankah Babel memiliki lembaga adat dan struktur kepengurusan yang lengkap dengan berbagai gelar yang disandangnya yang semua ini mengindikasikan bahwa gelar itu menuntut pertanggung-jawaban untuk berbuat serta menjaga budaya dan kekayaan alam yang menjadi warisan nenek puyang mereka.

Akan tetapi apa lacur kenyataan di lapangan sejak abad ke-17 sampai sekarang bumi Babel hanya menjadi bancakan orang-orang serakah dan tamak (Bandit-bandit) dan atas nama kepentingan pembangunan nasional maka dibuatlah berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak berpihak kepada kepentingan kesejahteraan rakyat setempat.

Dalam konteks inilah penulis melihat rakyat Babel sebenarnya sudah kehilangan kepercayaan diri dengan jati dirinya sebagai sebuah entitas yang berbudaya tinggi yang menjaga “Marwah” warisan orana tua mereka. Dengan kata lain, lembaga adat sekarang yang hanya sekadar pajangan untuk menampung orang-orang yang kehilangan eksistensi di tengah masyarakat dan mencari panggung yang pada akhirnya menjadi beban di Alam Akhirat kelak.

Penutup

Menyadari begitu penting Sumber Daya Alam (SDA) berupa timah di atas sudah waktunya bahwa UU Minirba dikocok ulang supaya ditinjau kembali yang secara kasat mata UU itu dibuat di DPR RI dan Pemerintah tidak memihak kepada kepntingan rakyat banyak dan setempat.

Penulis setuju dengan pemikiran Rozi Sabil bahwa untuk pengelolaan timah di Babel haruslah dikembangkan Pembangunan ekonomi yang bercirikan creating welth bukan sebaliknya mengembangkan gata ekonomi grabbing welth. Ini menyebutkan mengapa bandit-bandit timah berhasil menguras 300 T kekayaan Babel.

Jelas dampaknya bagi bangsa Babel adalah pertumbuhakan ekonomi melambat, ketidakadilan tumbuh pesat, ketiadaan pemerataan, dan bahkan ketiadaan peluang bekerja dan atau berusaha (inequality of opportunity).

Penulis pikir sudah waktunya elite Babel dari beragam kelas dan bidang untuk menyatukan barisan dalam upaya merespons kondisi bangsa Babel yang ada sekarang dalam proses “sekarat”. Kalau tidak mau berbuat untuk kepentingan bangsa Babel penulis mendorong lebih baik tinggalkan gelar-gelar yang ada, turunkan anggota DPR dan DPD RI yang mewakili wakyat Babel, dan bubarkan DPRD dan Lembaga Adat Yang Ada.

Penulis adalah Dosen Pascasarjana UM-Surabaya dan UIN Syahid Jakarta serta Aktivis MKMB Jaya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version