Batin Tikal (Bagian 2)

Batin Tikal (Bagian 2)

Oleh: Amiruddin Djakfar

“Jalan laut sudah kita coba, tapi anak buah tak mau terus, Letnan masih ingat barangkali bagaimana moral mereka merosot waktu melihat seorang manusia yang amat besar berdiri mengangkangi muara sungai yang lebar itu? Bagaimana pendapat Letnan tentang manusia besar itu?”

“Manusia itu memang pernah nampak oleh saya tetapi saya mengatakan kepada anak buah agar jangan takut namun tidak dapat dicegah lagi. Orang-orang kulit peunggu ini sangat percaya kepada takhayul.”

“Tapi masuk juga Letnan, buktinya kita tidak berani melalui perahu kita di bawah kakinya.”

Keduanya tersenyum pahit, angin malam bertiup lebih kencang. Api pelita bergoyang-goyang. Bayangan hidung Kapten Becking kelihatan tambah panjang tak ubahnya seperti hidung Petruk dalam cerita komik.

“Jalan darat pun kita gagal, pasukan kita salah jalan dan kita digempur sampai mundur, mungkin petunjuk jalan kita itu berkhianat?”

“Soal itu memang sulit, Kapten, sebab kita belum menyelidiki secara mendalam di mana letak kelemahan-kelemahan Batin Tikal. Kita belum punya penyelidik yang dapat dipercayai. Nampaknya penduduk di sini sangat memuja Batin Tikal.”

“Mereka menganggap Batin Tikal ini sakti, kebal, rambutnya pun dianggap mereka terjadi dari kawat!”

“Memang benar seluruh pasukan kini mata-mata sebab bahasa mereka, dialeknya sangat berbeda dengan penduduk di sini, lekas dikenal oleh mereka!”

“Sebenarnya pengiriman mata-mata itu ke daerah Bangkakota sangat perlu untuk mengetahui letaknya pertahanan dan di mana kelemahan-kelemahan mereka?”

“Betul sekali kata Letnan itu, kita perlu seorang atau dua petugas mata-mata. Tetapi siapa…siapa orangnya?”

Perundingan mereka menemui kebuntuan pula. Agak lama mereka terdiam.

“Ya…ya…ada pendapat yang baik Letnan?” Kata Becking kemudian.

“Besok kita panggil Gegading Sungaiselan yang baru kita angkat itu. Kita bujuk dia supaya dapat mencarikan seorang atau dua orang yang bisa bertugas sebagai mata-mata. Kita janjikan pangkat Batin Sungaiselan kepada gegading itu ditambah pakaian angkatannya, ditambah kendaraan sado dan kuda.”

“Ku rasa gegading ini mau betul-betul bekerja sama dengan kita. Bagaimana pendapat Letnan?”

“Itu usul yang baik sekali Kapten, cuma kita harus selalu waspada karena dibalik senyum orang-orang kulit perunggu ini tersimpul dendam. Besok kita panggil Gegading itu!”

Bangkakota…daerah bergolak daerah merdeka, kota kecil yang tengahnya mengalir sebuah sungai senada dengan nama kota kecil itu. Sungai Bangkakota. Letaknya di ujung Selatan Pulau Bangka, sulit dikunjungi dalam zaman itu. Letaknya strategis untuk bertahan melakukan pernah gerilya. Dapatkah anda pergi dengan berjalan kaki saja dalam waktu singkat jika belum ada jalan raya yang baik? Jalan rayanya kecil saja berkelok-kelok dari bukit ini menuju bukit itu, melalui rimba belantara yang lebat-lebat mengarungi rawa-rawa dan sungai-sungai yang penuh ular-ular serta buaya yang ganas-ganas. Justru dalam keadaan demikianlah sangat menguntungkan bagi Batin Tikal. Belanda sukar mencapai daerah itu.

Daerah ini sangat subur, perladangan sangat menjadi, panen berlimpah ruah, sungainya menghasilkan ikan dan udang, udang tada yang bila dikeringkan tambah lezat rasanya. Rakyatnya memiliki sifat seni pertukangan perahu, anak-anak berumur 10 tahun sudah gesit sekali mempergunakan kapaknya, mentah kayu balok untuk dibuat perahu, dari sampan kecil hingga perahu yang puluhan ton. Darah tukang ini mereka punyai hingga waktu kini. Pada saat daerah ini bergolak perladangan padi tambah diperkuatkan. Batin Tikal menyadari tanpa beras perjuangan melawan Belanda kurang berhasil.

Rakyatnya dipimpin bekerja sama, gotong royong menebas, menanam hingga menuai. Tempatnya disatukan, anak-anak yang berumur 10 tahun diikutkan menjaga ladang, perempuan sebagian diikutkan latihan mempergunakan senjata pemuras (semacam meriam tapi berukuran kecil) bedil dan lela. Orang laki-laki yang sudah tua ikut pula menjaga ladang, sehingga setiap rakyat ikut ambil bagian memperjuangkan kemerdekaan. Batin Tikal disegani serta dicintai rakyat karena tindakan beliau yang selalu jujur, disiplin dan pandai bergaul. Beliau mempunyai seorang adik laki-laki namanya Tilim. Sifatnya bertolak belakang dengan sifat kakaknya. Tilim angkuh, gila hormat tak pandang bulu biar orang tua atau keluarganya sendiri rugi, asal dia akan beruntung. Dia orang kedua sesudah Batin Tikal, namun dia tidak disenangi, tetapi rakyat enggan bertindak karena segannya kepada Batin Tikal. Hal ini diketahui oleh Batin Tikal tetapi beliau belum mau bertindak karena menjaga persatuan jangan terpecah dalam menghadapi Belanda. (Bersambung).

 

Catatan: tulisan ini merupakan karya Amiruddin Djakfar yang ditulis tahun 1966 yang penulis peroleh dari Bujang KN (alm) saat Festival Batin Tikal 2019 di Desa Gudang. Tulisan ini masih menggunakan ejaan lama dan sudah penulis alihkan ke ejaan Bahasa Indonesia. 

Penulis sudah mendapat izin dari keluarga almarhum Amiruddin Djakfar untuk mempublikasikan tulisan ini. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *