Batin Tikal (Bagian 6)

Batin Tikal (Bagian 6)

Oleh: Amiruddin Djakfar

 

“Tinggalkan saja di situ, besok kamu ku periksa lagi!”

Seorang prajurit memasukkan Ibat dan Abu ke dalam kandang tawanan.

“Bagaimana firasatmu, Ibat?” tanya Abu.

“Entahlah, untung-untungan lagi hidup kita ini, Bu. Semoga Tilim tergerak harinya untuk Batin Bangkakota dan selamatlah nyawa kita.”

Cahaya lampu colok (lampu damar) berkelil-kelip dalam gubuk Tilim. Ia gelisah, berdiri, duduk, termangu-mangu. Kata-kata Ibat menggoyangkan pendiriannya. Pengakuan Ibat memesona jiwa Tilim yang ingin pangkat dan kedudukan itu.

“Ya…ya…ada juga benarnya,” ia menggumam. “Untuk apa perang ini? Hidup tak tentu menentu, makan tak karuan, tidur tak nyenyak. Dapatkah ayak (kakak) Batin Tikal memenangkan perang ini? Tapi Yak Tikal keras kepala. Apa artinya Batin seperti dia? Batin di daerah Belanda pakai sado, pakai baju angkatan yang indah.”

Ia berdiri mondar mandir lalu memerintahkan supaya Ibat dan Abu dibawa kepadanya. Ibat dan Abu duduk dengan takzim di hadapan Tilim, dada mereka turun naik dengan kencang.

“Ibat, aku belum percaya bahwa kamu berdua ini utusan Belanda yang ingin berdamai sebab bukti-buktinya tidak ada.”

“Bukti-bukti tak dapat kami bawa sekarang, tuan, sebab kami takut akan timbul salah paham. Tugas kami baru meninjau bagaimana pendirian tuan-tuan di sini.”

“Ibat, kalau betul Belanda ingin berdamai maka saya akan menerima dan mengurus perdamaian itu tetapi tidak dengan kakakku Batin Tikal. Kamu harus menepati janji. Janjinya…janji Belanda harus pasak baji (janji tepat) kamu harus membawa surat angkatan serta tanda-tanda lain untukku sebagai Batin Bangkakota.”

Alangkah lega perasaan Ibat dan Abu laksana mendapat gunung mas. Dengan girang mereka menyembah lutut Tilim berulang-ulang.

“Tuan, kami berjanji, demi Tuhan, demi nenek moyang, demi segala yang sakti, disambar buayalah kami jika bohong dan janji itu akan segera dapat kami penuhi, percayalah tuan. Kalau ada izin dari tuan, selekas mungkin dapat kami berjalan!”

“Baiklah Ibat, dengarlah petunjukku. Besok kamu boleh pulang ke Pangkal Selan, nanti lima belas hari bulan timbul nanti, ingat waktu bulan lima belas hari engkau sudah berada di sini lagi. Waktu itu sudah kena giliranku pula jaga di sini. Lima hari lagi, kakakku Batin Tikal kena giliran di sini dan aku jaga di Kuala. Ingat, jangan salah!”

“Baiklah tuan, baiklah.”

“Sekarang kamu masuk lagi ke kandang tahanan!”

Keesokan harinya kedua tahanan itu disuruh pulang, kepada anak buahnya Tilim mengatakan, tawanan itu memang benar tengkulak tembakau dan tidak berbahaya, hanya mereka tidak diperbolehkan masuk ke Bangkakota.

Dan sebulan kemudian, ketika bulan purnama raya memancarkan sinarnya bertalu-talu ke atas rimba belantara itu, Tilim kelihatannya resah gelisah sebagai ada yang mengganggu pikirannya. Pada akhir-akhir ini kelakuannya ganjil-ganjil saja sehingga ia dicurigai oleh dua orang anak buahnya. Tilim tampaknya lebih gila hormat dari waktu-waktu yang lampau. Kedua prajurit yang tajam tilik ini ialah veteran tentara Depati Amir yang sudah ikut beberapa kali bertempur serta sudah mengalami perbuatan khianat Temenggung Arifin terhadap Depati Amir walaupun mereka itu dua saudara angkat. Mereka bertambah curiga apakah gerangan sebabnya kedua tawanan itu dilepaskan? Mereka paham betul akan sifat komandannya yang cuma ingin merasai kesenangan itu. Dia berjuang karena takut kepada Batin Tikal saja. Justru mereka selalu memerhatikan setiap gerak gerik komandannya, apalagi sudah tiga malam dua orang prajurit kepercayaan Tilim disuruh jaga terus tidak ditukar-tukar.

Hari sudah malam betul tatkala Ibat dan Abu diantar oleh prajurit jaga ke gubuk Tilim. Kedua orang itu disambut dengan gembira oleh Tilim.

“Apa kabar, Ibat? Kamu datang tepat sekali waktunya.”

“Kabar baik, tuan, bahkan lebih dari baik. Ini tembakau,” Ibat membuka kepeknya mengeluarkan tembakau berbungkus-bungkus.

“Dan dalam kepek ini tuanlah yang membukanya!”

Tilim membuka kepek itu, ia melihat sebuah bungkusan yang diikat dengan pita merah, putih, biru. Bungkusan diangkatnya dan pita itu dibukanya. Ia terpesona, baju beluderu merah, baju seragam Batin. Lipatan baju itu dibukanya, tampaklah tanda-tanda benang mas kuning melingkari lengan dan leher sampai ke dada. Sepucuk surat bersampul jatuh dari lipatan baju itu tidak diketahuinya.

 

(Bersambung) 

 

Catatan: tulisan ini merupakan karya Amiruddin Djakfar yang ditulis tahun 1966 yang penulis peroleh dari Bujang KN (alm) saat Festival Batin Tikal 2019 di Desa Gudang. 

 

Penulis sudah mendapat izin dari keluarga almarhum Amiruddin Djakfar untuk mempublikasikan tulisan ini. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *