Oleh: Amiruddin Djakfar
“Itulah baju angkatan tuan sebagai Batin Bangkakota, dan inilah surat angkatannya, tuan!” Ibat memberikan surat yang terjatuh ke tangan Tilim. Surat itu dibukanya, tapi dia tak bisa membacanya hanya dia mengetahui itulah surat angkatannya. Diatas surat itu tampaklah gambar lambat kerajaan Belanda.
“Jadi aku ini…Ibat..aku ini.”
“Tuan Batin Bangkakota.” Ibat memotong dengan cepat.
“Tuan Batin Bangkakota dan daerah taklukannya. Sado dan kuda akan menyusun, pesan tuan besar.”
“Terima kasih, Ibat, terima kasih, Abu.” Tilim tersenyum-senyum dengan gembira.
“Maaf tuan Batin, di luar kira-kira sebidang huma telah menunggu Letnan Dieman dengan tentara Belanda. Mereka masih menunggu perintah tuan Batin, apakah sudah boleh masuk atau belum?” Tanya Ibat.
“Ya…boleh…Ibat, katakanlah, mereka boleh masuk, aku menunggu di sini!”
Ibat dan Abu segera keluar diiringi dua orang prajurit kepercayaan Tilim. Namun di belakang gubuk dalam semak-semak dua sosok tubuh mengendap-endap bersembunyi sambil mendengarkan tiap-tiap patah perkataan mereka. Begitu Ibat serta kawan-kawannya keluar memanggil Letnan Dieman, kedua orang itu tak lain dari prajurit yang mencurigai Tilim segera pula berjalan secepat-cepatnya ke Bangkakota. Dugaan mereka tepat, Tilim sudah mengkhianati perjuangan. Kira-kira tengah malam sampailah mereka di Bangkakota. Kepada semua wanita yang sudah dilatih mempergunakan senjata disuruh bersiap, melawan tentara Belanda. Anak-anak dan orang-orang tua diungsikan berkumpul dalam satu tempat. Anak istri Tilim dan prajurit kepercayaannya ditawan. Dengan segera mereka berjalan pula melaporkan peristiwa ini kepada Batin Tikal di kuala. Kira-kira pukul tujuh pagi, satu kompi tentara Belanda mulai memasuki Bangkakota. Di depan sekali tampaklah Tilim dengan memakai seragam batin diiringi oleh anak buahnya, membawa bendera putih dan bendera Belanda. Tampaklah Di sini kelicikan Belanda mengingkari janjinya. Mereka (Belanda) memperlakukan Tilim seperti pihak yang kalah padahal dengan sarat berdamai pada mulanya.
Bangkakota lengang seperti padang terkuku, semua rumah tertutup tak ada tanda-tanda didiami manusia. Sesampai di rumahnya, Tilim menyuruh anak buahnya memacakkan bendera Belanda dan bendera putih di halaman.
Anak buahnya tak bersenjata lagi sudah dilucuti Belanda. Dia tidak menemui anak istrinya dalam rumah itu. Semua lengang, sunyi menakutkan. Tentara Belanda pun keheranan, manakah rakyat Bangkakota ini?
Dalam keheranan dan bertanya-tanya itu, berdentumlah serentak letusan pemuras, Lela dan bedil, korban tentara Belanda yang pertama bergelimpangan. Srikandi-srikandi Bangkakota mulai membuka pertempuran dari rumah-rumah yang sengaja ditutup. Tentara Belanda kaget lalu membalas serangan itu maka pertemuan yang berkecamuk terjadilah. Rumah demi rumah digempur. Tiap-tiap rumah yang dapat direbut oleh Belanda mereka temui mayat-mayat wanita bersama senjatanya. Srikandi-srikandi yang memilih mati daripada terjajah. Pertempuran itu bertambah hebatnya sebab anak buah Tilim yang tadi dilucuti sekarang mengambil kesempatan merampasi senjata Belanda, membantu srikandi-srikandi yang pantang menyerah itu. Siapa yang tidak tergerak hatinya walaupun sepenakut orang jika melihat gadis-gadisnya bertempur tanpa takut? Teriakan tentara Belanda agar menyerah dianggap sepi. Setelah hampir setengah hari perlawanan srikandi-srikandi Bangkakota mulai lemah, sebab sudah banyak diantara mereka yang gugur sebagai kesuma bangsa tapi belum juga mereka menyerah. Asap api dari rumah-rumah yang dibakar Belanda membumbung ke atas, sebuah rumah besar tempat berkumpul orang-orang tua yang sudah lemah dan anak-anak kecil turut dibakar oleh tentara Belanda. Maka terbakar habislah mereka yang ada dalam rumah itu, terbakar hidup-hidup.
Letusan senjata hanya sekali-sekali terdengar, perlawanan sudah lemah. Di tepian sungai Bangkakota masih terdengar letusan pemuras berdentam-dentam. Seorang Srikandi bertahan dalam sebuah rumah, di samping tubuhnya terbujur mayat ibu dan adiknya. Rumah itu dikepung tentara Belanda, tetapi tiap-tiap mereka yang berani mendekat rebah tersungkur kena peluru. Tetapi sayang letusan itu berhenti, Srikandi kita kehabisan pelor, Belanda menyerbu rumah itu. Srikandi itu menghunus sundangnya terjul keluar rumah, maka terjadilah perang anggar antara dia dengan tentara Belanda yang ingin menawannya.
(Bersambung)
Catatan: tulisan ini merupakan karya Amiruddin Djakfar yang ditulis tahun 1966 yang penulis peroleh dari Bujang KN (alm) saat Festival Batin Tikal 2019 di Desa Gudang.
Penulis sudah mendapat izin dari keluarga almarhum Amiruddin Djakfar untuk mempublikasikan tulisan ini.